Berharap Jogja Tidak Hilang Akar

Salah satu nama yang kini mungkin menjadi tak asing bagi publik kota Yogyakarta adalah Dodok Putra Bangsa. Pria berambut panjang ini beberapa waktu lalu melakukan aksi teatrikal publik di depan kantor Walikota Yogyakarta. Dia mandi dengan kembang tujuh rupa dan air dari tujuh sumber mata air sebagai bagian dari upayanya meluncurkan protes terhadap maraknya pembangunan hotel di Yogyakarta yang tidak mengindahkan kepentingan dan kebutuhan warga.

12642473_10207145057177502_7620935618141778259_n
Dodok Putra Bangsa, saat melakukan aksi mandi kembang di depan kantor Walikota Yogyakarta, Jumat (5/2). Foto : Facebook Dodok Jogja

Dodok bukan baru sekali ini melakukan aksi semacam itu. Pada Agustus 2014 lalu, dia sudah melakukan hal serupa di halaman Hotel Fave yang terletak di Jalan Kusumanegara, Yogyakarta. Saat itu dia melakukan aksi mandi dengan menggunakan pasir sebagai bagian dari gerakan Jogja Asat (Jogja Kering).

“Bedanya kalau yang di Fave itu sifatnya teritorial di Miliran, nah yang di kantor walikota itu lebih luas.” Kata Dodok saat dijumpai oleh Satunama.org di di bilangan Timoho, Yogyakarta.

Sebagai salah satu warga yang tinggal di Miliran, wilayah yang berdekatan dengan Hotel Fave, Dodok merasakan dampak pembangunan dan operasional hotel bertingkat itu. Sumur di sekitar Miliran menjadi kering. “Dulu Jogja tidak pernah krisis air. Tapi sekarang itu terjadi.” Kata dia.

“ Dulu Jogja tidak pernah krisis air. Tapi sekarang itu terjadi. ”

Sejak 2014 Dodok menjadi salah satu orang yang berada di balik gerakan Jogja Ora DiDol (Jogja Tidak Dijual), sebuah gerakan yang mengkritisi semakin berkembangnya pembangunan Kota Yogyakarta ke arah yang komersil. Bersama kawan-kawannya, dia konsisten melakukan gerakan mengkritisi perkembangan kota yang tidak memihak kepada warganya. Jogja Asat (Jogja Kering) yang dinisiasinya merupakan bagian dari gerakan Jogja Ora Didol dan aksi yang dilakukannya di Hotel Fave dan di Kantor Walikota itu adalah caranya untuk melakukan kritik. Dodok memang dikenal bisa berkiprah dengan siapa pun. Dalam waktu dekat dia juga akan merancang sebuah aktivitas bersama Shaggydog, salah satu band yang memiliki akar di Yogyakarta.

Makna sukses

Sebagai penggerak masyarakat, Dodok sudah memulai gerakan aktivisme warga sejak tahun 1996-1997 lewat Kaum Jalanan Merdeka di Yogyakarta yang berhasil melakukan advokasi KTP untuk anak jalanan. Dia juga sudah pernah melanglang hingga ke Porong di Jawa Timur untuk melakukan pendampingan warga yang intensif selama sekitar 2 tahun.

Pria kelahiran 1977 ini memiliki pemikiran bahwa mendampingi masyarakat tidak bisa hanya dengan sekali dua kali mendatangi mereka. “Sekarang kebanyakan gaya pendampingan itu cenderung mencabut masyarakat dari akarnya. Ada satu yang vokal sedikit, langsung dibawa-bawa ke mana-mana. Harusnya kita yang stay di sana. Kalau perlu sampai lama. Bukan datang cuma tiga hari buat pertemuan terus ditinggal tiga bulan baru datang lagi. Itu terbalik.” Ujarnya.

“ Sekarang kebanyakan gaya pendampingan itu cenderung mencabut masyarakat dari akarnya. Ada satu yang vokal sedikit, langsung dibawa-bawa ke mana-mana. “

Falsafah pendampingan itu juga yang dijadikan Dodok sebagai falsafah hidupnya. Dia memperhatikan keseimbangan dalam hidup. “Pengorganisir yang baik itu yang sukses di masyarakat, dan juga sukses mengorganisir keluarganya. Kalau ada yang vokal di luar, menjadi oposisi, sukses di masyarakat tapi keluarganya berantakan, banyak yang seperti itu dan saya nggak usah sebutkan, tapi bagi saya itu tidak asyik.” Kata pria yang sudah memiliki anak berusia 8 tahun.

Terkait masa depan Kota Yogyakarta, Dodok berharap suatu saat Jogja dan juga kota-kota besar lainnya di Indonesia tidak berkembang menjadi kota yang tercerabut akarnya dan bisa tetap menjaga kekhasannya. “Waktu aku kecil dulu Jogja sangat santun, kalau tiap panen ada orang membagi sego wiwitan. Itu impianku.” Harapnya. [*]

Tinggalkan komentar