Lokalatih Jurnalisme Empatik Untuk Media Organisasi Masyarakat Sipil

Satunama.org – Akhir-akhir ini kita dicemaskah oleh media-media massa, baik cetak maupun elektronik, yang membuat pemberitaan yang kian tidak sensitif terhadap etika jurnalisme. Kemajuan teknologi informasi telah pula memunculkan sosial media, yang memungkinkan partisipasi publik untuk ikut serta dalam menghasilkan berita, atau apa yang dikenal sebagai citizen journalism. Dalam hal ini, media sosial telah memaksa jurnalisme berubah. Informasi kini tak bisa lagi dimonopoli oleh industri media arus utama yang ditopang industri bermodal kuat. Tetapi kini konsumen, warga kebanyakan dan individu, juga menjadi produsen informasi melalui media sosial. Media tidak lagi bersifat tunggal berupa cetak, tapi juga media-media daring yang terus merangsek dan memberi kita luapan informasi.

Hari ini kita mengalami banjir informasi. Orang dengan mudah membuat “berita” dan informasi dari sisinya sendiri, bahkan tanpa cek dan recek. Berburu berita dan narasumber yang bombastis, sering membuat pertikaian, dan perselisihan menjadi andalan dan langganan. Perseteruan menjadi bahan utama pembahasan dan pemberitaan. Makin seru ketika kekerasan fisik seperti mengguyur lawan bicara, perkelahian biasa terjadi. Tontonan irasional asal penonton suka dan banyak mendatangkan iklan akan terus dibuat. Gosip, perceraian, keglamouran, dan kemewahan menjadi santapan penonton setiap saat. Kadang hal-hal yang bombastis tidak bernilai itu menjadi sajian utama dan memiliki konsumen yang fanatis dan luar biasa banyak.

Dampak bagi cara menyusun berita semacam itu tentu tidak tunggal. Jika berkaitan dengan kasus-kasus kekerasan, berita-berita justru akan menjadi teror psikologis bagi keluarga korban. Bagi Indonesia yang tingkat komunalitas masyarakatnya tinggi, sebuah pemberitaan akan menjadi sebuah bahan obrolan yang mengasyikkan, dan perbincangan-perbicangan yang tidak memiliki akurasi yang ketat ini adalah sebuah teror psikologi bagi keluarga Korban. Kedua, stigmatisasi, yang sudah dicapkan melalui pemberitaan. Media semacam ini tidak membangun empati kepada korban, justru sebaliknya korban ditimpa dengan beban berat. Ketiga, menciptakan kegaduhan sosial, dan membiaknya prasangka-prasangka yang berakibat buruk pada kohesivitas warga. Keempat, mempopularitaskan pelaku kejahatan, termasuk pihak-pihak yang berkelindan didalamnya, termasuk “pengasak” keuntungan dari sensasionalitas berita. Mereka inilah yang dalam banyak kasus mendompleng popularitas, untuk kepentingan ekonomi juga eksistensi diri. Kelima , reproduksi residu informasi, klobotisme, berita tentang Engeline ada banyak pengulangan yang tidak bermakna. Yang penting bagi jurnalis adalah oplah atau klik berita. Keenam, menginspirasi modus kejahatan.

Anggota Dewan Pers, Nezar Patria, menyatakan perkembangan media online atau daring yang sedang tumbuh pesat tak diimbangi dengan kepatuhan pada kode etik jurnalistik. Ia menyebut sebanyak 30 persen media online di Indonesia mempraktekkan jurnalisme tanpa akurasi dan melanggar kode etik jurnalistik. Nezar menyatakan 30 persen media online itu didirikan terkadang bukan dengan niat untuk kerja jurnalistik dan kepentingan publik. Sebaliknya ada banyak orang mendirikan media online dengan tujuan kepentingan politik, ekonomi, kekuasaan, hingga tujuan untuk melakukan pemerasan.

Empati hilang dalam jurnalisme. Benar bahwa masyarakat perlu berita terbaru, aktual, dan langsung dari tempatnya, namun sayang ketika etiket komunikasi dan jurnalistik terlupa. Bagaimana bisa seseorang yang sedih, menangis sesenggukan, masih ditanya bagaimana perasaannya yang jelas sedang sedih. Atau malah menghalangi petugas yang hendak memberikan bantuan, mengusik orang yang bersedih, menampilkan apa adanya korban kecelakaan atau pembunuhan tanpa ada penanganan sama sekali dengan alasan aktualisme.
Hal-hal semacam itulah yang hari ini menjadi gairah dalam pemberitaan media-media kita. Jurnalis ditekan oleh redaksi untuk menyuguhkan berita-berita yang sensasional untuk menaikkan rating, atau jumlah klik pada media daringnya. Sehingga upaya untuk menuntut berita yang berkualitas juga tidak begitu mudah. Jurnalis seolah mengalami titik henti mempraktikkan jurnalisme.

Jurnalisme yang harusnya selalu berkaitan dengan laporan yang sifatnya faktawi, sesuatu yang harus diperlakukan secara objektif, dan karenanya harus dilaporkan dengan apa adanya, dan dipisahkan dari opini, luntur. Objektivitas, yang dijaga oleh doktrin akurasi, menjadi alat utama jurnalisme untuk mendekati kebenaran seolah disepelekan. Para jurnalis harusnya tidak boleh memasukkan opininya atas fakta yang dilaporkan, meskipun godaan itu terbuka tetapi tindakan itu akan menodai kesucian fakta, dan meruntuhkan kepercayaan publik akan laporan yang dihasilkannya. “Factis sacred, opinion is free”, ujar CP Scott, editor senior koran Inggris The Guardian pada 1921.

Untuk mengimbangi itu, media-media yang dimiliki oleh Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) sudah selayaknya mengambil peluang untuk turut melakukan pendidikan publik dengan informasi dan berita-berita yang akurat. Data-data yang terhimpun dari berbagai wilayah dampingan harus disuarakan dengan lebih baik, berpihak pada yang lemah, dan turut memperjuangkan keadilan. Bukan sebagai tujuan ekonomi. Media-media OMS, baik cetak maupun media dalam jaringan, harus memberi warna yang baru dalam dunia media. Media OMS perlu mengambil ruang yang luar untuk menyuarakan yang mereka perjuangkan.

Media-media OMS harus mengembangkan dan mendidik diri menjadi jurnalisme empati, yang mengangkat persoalan warga menjadi persoalan bersama untuk mencari cara hidup yang lebih baik. Untuk itu media-media OMS perlu untuk melatih dan membekali diri dengan pengetahuan, keterampilan jurnalistik untuk menumbukan informasi dan berita yang empatik.

Fasilitator dan Narasumber
Pelatihan ini akan dipandu oleh team fasilitator yang kompeten di bidang Penulisan dan Media
1. Ashadi Siregar (Dosen Komunikasi UGM)
2. Nezar Patria (Dewan Pers, CNN Indonesia)
3. Shinta Maharani (Tempo, AJI Yogya)
4. AA. Kunto (Pemred bernas.com)
5. Wiliam E. Aipipidely (SATUNAMA)
6. Ariwan K. Perdana (SATUNAMA)
7. Ryan Sugiarto (SATUNAMA)

Tanggal Pelaksanaan
Pelatihan akan diselengarakan pada tanggal 28 s.d 30 September 2015, batas akhir pengiriman formulir pendaftaran adalah 20 September 2015

Materi Utama Pelatihan
1. Jurnalisme Empati: Sebuah konsep
2. Teknik jurnalistik (reportase, wawancara)
3. Menulis berita
4. Menulis Opini
5. Editing dan tahapannya
6. Manajemen Media
7. Pengembangan Media dalam jaringan

Administrasi

Tempat dan Waktu
Tempat:
Kompleks Pelatihan SATUNAMA,
Jl. Sambisari No. 99, Dusun Duwet RT 07/34 Sendangadi, Mlati, Sleman, Yogyakarta 55285.
Telp. 0274-867745, 867746, 867747
Waktu Pelatihan:
Pelatihan berlangsung dari pagi hingga sore hari, yaitu pukul 08.00 s.d. 17.30 wib

Pendaftaran & Contact Person
Untuk pendaftaran dan informasi lebih lanjut, segera hubungi :
Dian Nuri Ningtyas
085225096611

Unit Training SATUNAMA
Jl. Sambisari No 99 Duwet RT/RW 07/34 Sendangadi, Mlati, Sleman
Telp : 0274 – 867745, 867746, 867747 (500)
Fax. 0274-869044
Email : training@satunama.org

Biaya Pelatihan
Biaya pelatihan Rp. per orang
Pembayaran :
1. Satu Minggu sebelum training minimal Rp 2.700.00,- dan pelunasan pada saat pelatihan. (mohon bukti transfernya dikirim via fax atau email kepada kami)
2. Biaya pelatihan dikirim ke rekening :
CIMB NIAGA Yogyakarta
No. Rek : 01801-00140-17-8
a.n Yayasan SATUNAMA
3. Biaya transportasi dan kesehatan menjadi tanggungan peserta/lembaganya

Fasilitas
• Penginapan dengan Fasilitas AC, TV, Laundry
• Makan (pagi, siang, sore) dan coffee break 2 kali setiap pelatihan
• Training kit (Pensil/ Bulpoin,Buku tulis, ID Card, Tas)
• Sertifikat Hasil Pelatihan
• Lokasi Pelatihan yang Nyaman, Aman serta Sejuk
• Ruang kelas yang nyaman dan peralatan yang Lengkap
• Alat Rekreasi ( Pingpong, Alat Musik, Perpustakaan, Nonton Film/VCD, visit di Radio SATUNAMA, Galeri SATUNAMA).

Waktu Pendaftaran
Pendaftaran akan dibuka sampai H-7 Pelaksanaan Pelatihan

Formulir Pendaftaran : unduh disini

Tinggalkan komentar