Anak, Media, dan Orang Dewasa

Dunia anak adalah dunia keindahan, dunia bermain, dunia yang dipenuhi dengan imajinasi dan pertanyaan-pertanyaan yang menumbuhkan. Dalam ragam permainan, seorang anak tidak terlalu penting melihat apa makna permainan dan fungsi-fungsi permainan yang dilakukan di usia mereka. Oleh sebab kepolosan itu, maka setiap gerak anak sesungguhnya adalah keindahan itu sendiri. Maka sungguh menyedihkan ketika beberapa waktu lalu kita mendapati peristiwa keji terhadap anak. Kasus Engeline, mengingatkan kita bahwa anak tidak “aman” dalam kehidupannya. Dan keindahan seorang anak, keriangan seorang anak, mudah pupus, bahkan oleh orang terdekatnya sendiri. Hal ini terus diperparah dengan sorotan media yang terus-menerus digali sensasionalitasnya.

Bahkan dalam kondisi terburuknya anak, kasus Engeline,  menjadi “komoditas” yang menghasilkan keuntungan dan ketenaran bagi para “pengasak” informasi.  Pemberitaan tentang-kasus-kasus anak jauh dari unsur empatik. Dalam soal empati pula, media, terutama televisi juga tidak menyediakan pendidikan publlik yang berguna bagi tumbuh kembang sang anak secara baik. Dalam kaitan dengan itu, Psikolog terkemuka, Dr. A Joseph Bursteln, dalam bukunya yang sangat popular Dr. Bursteln’s Book on Children (1992), mengisahkan seorang ibu yang mendatanginya dan mengeluhkan pengaruh buruk televisi pada anak-anak. Keluhan Ny. David, sang ibu itu, agaknya mewakili rasa was-was hampir berjuta-juta orang tua di dunia terhadap televisi. Maka, seperti dikisahkan Bursteln, berkembanglah dialog hangat antara dirinya dengan Ny. David ihwal pengaruh televisi dan anak-anak.

Merespon kondisi seperti itulah SATUNAMA bekerjasama dengan Tribun Yogya dan Dongeng Cafe, menggelar diskusi tentang Perempuan dan anak rentan mengalami kekerasan seksual: Belajar dari kasus Engeline. Dan dalam rentang yang tidak lama bersama Kindermission, diadakan pelatihan anak untuk produksi media dan film. Kedua agenda itu paling tidak memberi ruang untuk memperbicangkan dan berkarya bersama anak-anak. Dalam kerangka itulah pendidikan dan penyampaian tentang hak-hak anak perlu mereka (anak) ketahui.

Sebagai orang dewasa, mengetahui hak-hak anak juga menjadi hal penting. Sebab dengan demikian kita tahu bahwa mereka memiliki hak dan kita sebagai orang dewasa tidak berhak memberi beban berat di dalam rentang perkembangannya. Dalam kaitannya dengan perkembangan anak, seorang peneliti dari luar mengungkapkan keheranannya, bahwa anak-anak di indonesia, di Jawa khususnya, tidak pernah memiliki alat-alat permainan secukupnya. Menurutnya, anak-anak Jawa tidak membutuhkan mainan sebab mereka sendirilah mainan itu!? Dalam hal ini, orang tualah yang  kiranya lebih membutuhkan anak-anak sebagai hiburan  mereka.

Maka, memandang anak tetap sebagai anak adalah jalan utama. Yang perlu dilakukan hanyalah mendorong bagaimana imajinasi anak tetap terpelihara dan menumbuh. Imajinasi anak merupakan sumber kekuatan yang bersifat emosional untuk merangsang pemikiran, kreativitas, serta membantu anak untuk tumbuh lebih aktif. Imajinasi, juga merupakan bagian dari aktivitas otak yang mampu meningkatkan kecerdasan.

Dengan begitu, menempatkan anak sebagai anak, bukan sebagai duplikasi dari gagasan-gagasan orang dewasa. Bukan sebagai “garan moncer” yang kelak bisa diunduh ketika dewasa.

Penjaga Dapur Media SATUNAMA

Tinggalkan komentar