Penyikapan Terhadap Pemerintahan Jokowi-JK Terkait Kinerja Pemberantasan Korupsi

Konferensi Pers Memperingati Hari Antikorupsi Sedunia
(9 Desember 2014)

Penyikapan Terhadap Pemerintahan Jokowi-JK Terkait Kinerja Pemberantasan Korupsi

Pada awalnya, terpilihnya Joko Widodo dan Jusuf Kalla sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia periode 2014-2019 dirasa dapat memberi harapan baru agenda pemberantasan korupsi. Reformasi birokrasi menjadi agenda pertama pemerintahan Jokowi-JK. Sistem pengetatan anggaran perjalanan dinas, evaluasi struktur jabatan, perbaikan layanan publik, serta instruksi pola hidup sederhana adalah bentuk kebijakan yang ditempuh dalam mengimplementasi program reformasi birokrasi.

Namun, di sisi lain, pemerintahan Jokowi-JK dinilai tak bisa lepas dari cengkraman politik tawar-menawar. Hal ini dapat dilihat dari penentuan jabatan menteri dan lembaga negara yang berada di bawah kewenangan Presiden. Di sektor penegakan hukum, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia ternyata dipilih dari unsur partai politik. Tidak berhenti disitu saja, penentuan Jaksa Agung—yang sempat mengundang kehebohan—ternyata antiklimaks. Orang nomor satu di korps Adhyaksa
itu ternyata juga diambil dari unsur partai politik.

Langkah pemerintahan Jokowi-JK dalam sektor penegakan hukum, khususnya antikorupsi, mengundang tanda tanya besar. Kemanakah sebenarnya langkah penegakan hukum pemerintahan periode 2014-2019 ini akan berlabuh? Reformasi birokrasi Indonesia yang diukur, salah satunya, dari indeks persepsi korupsi (IPK) saat ini mengecewakan. Target IPK Indonesia pada tahun 2014 adalah 5,0. Faktanya, IPK Indonesia hanya sampai 3,4.

Kondisi penegakan hukum antikorupsi di daerah masih jalan ditempat. Beberapa kasus besar yang ada di daerah tidak dapat ditangani dengan maksimal. Dengan terpilihnya pucuk pimpinan penegak hukum dari unsur partai politik, dikhawatirkan akan semakin memperlambat roda pemberantasan tindak pidana korupsi.

Sebenarnya tidak hanya pemerintahan Jokowi-JK yang memble dengan agenda penegakan antikorupsi. “Bentrok” di parlemen antara Koalisi Indonesia Hebat dan Koalisi Merah Putih sangat merugikan penegakan hukum antikorupsi. Misalnya, seleksi pimpinan KPK tertunda. Pembahasan legislasi sektor penegakan hukum menjadi tidak lancar. Keadaan seperti ini memicu dukungan pemberantasan korupsi yang seharusnya diberikan parlemen tidak dapat dijalankan sebagaimana mestinya.

Oleh karena itu, bertepatan dengan hari Antikorupsi sedunia, 9 Desember 2014, Pusat Kajian Antikorupsi (PUKAT) Fakultas Hukum UGM dan seluruh masyarakat antikorupsi di DIY mengambil sikap untuk mendesak Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla supaya:
1. Membuat dan menjelaskan secara kongkrit kepada publik tentang agenda dan jaminan penegakan hukum antikorupsi.
2. Mendesak para penegak hukum di daerah (Kejaksaan, Kepolisian) dan institusi eksekutif terkait (Inspektorat dan BPKP) bekerja serius serta tidak takut dengan kelompok politik tertentu dalam memberantas korupsi;
3. Memerintahkan kepada Pemerintah Daerah agar membuat inisiatif aksi daerah pencegahan dan pemberantasan korupsi.

PUKAT dan Masyarakat Antikorupsi DIY juga mendesak kepada para elite partai politik Koalisi Indonesia Hebat dan Koalisi Merah Putih dan anggota DPR periode 2014-2019 untuk:
1. Mengakhiri perseteruan politik di parlemen dan mulai fokus melaksanakan tugas dan kewenangannya, sehingga tidak dianggap hanya makan gaji buta; dan
2. Membuat inisiatif perbaikan partai politik yang mendukung pencegahan dan pemberantasan korupsi.

Yogyakarta, 8 Desember 2014

Salam Antikorupsi!

Pusat Kajian Antikorupsi (PUKAT) FH UGM
Masyarakat Antikorupsi DIY

Satu pemikiran pada “Penyikapan Terhadap Pemerintahan Jokowi-JK Terkait Kinerja Pemberantasan Korupsi”

Tinggalkan komentar