Cerita dari Kawan Papua

Satunama.org – Papua, sebuah pulau di ujung timur Indonesia. Di sana kekayaan alam melimpah ruah. Hutan hijau nan lebat, tambang emas dan tembaga bertaburan. Cerita tentang Papua amat beragam dan kaya. Seperti cerita dari warga empat kampung di distrik Bintuni, Papua.

Sebanyak 29 orang perwakilan dari Desa/Kampung Weriagar Induk, Mogotira, Weriagar Utara, Tuanaikin saling berbagi pengalaman di dalam training “Peningkatan Kapasitas Masyarakat dan Pengelolaan PNPM Walegan, Bintuni, yang diadakan di Balai Latihan SATUNAMA tanggal 26 November- 2 Desember 2014.

Di dalam kelas besar mereka duduk melingkar di atas kursi yang berjajar rapi. Wajah mereka sumringah, tak sabar menanti fasilitator SATUNAMA beraksi. Pagi ini, Hardono Hadi, biasa dipanggil akrab Pak Hadi nampak tersenyum, sama tak sabarnya untuk belajar bersama. Kelas pun di mulai.

Pak Hadi menanyakan pertanyaan sederhana, “menurut bapak-bapak, bagaimana selama ini pengelolaann PNPM Mandiri di Bintuni?” Kelas nampak hening, nampak mereka melihat satu sama lain. Lalu seorang mengangkat tangan. Ia bernama Don. Don adalah seorang camat dari Bintuni. Ia mengenakan seragam camat dengan rapi. Pembawaanya tegas dan sigap.

“Di Papua masalah kami melaksanakan PNPM Mandiri ini adalah persoalan sumber daya manusia. Sumber daya manusia kami amat terbatas. Kegiatan kami hanya habis untuk pembangunan fisik. Kalau pun ada pemberdayaan, ya hanya membuat jaring nelayan ikan. Selain itu tidak ada. Pun ditambah ada gap yang besar antara anggaran dan kenyataan di lapangan. Kadang teman-teman yang bikin anggaran, nggak tahu kebutuhan yang ada di lapangan. Padahal PNPM ini bagus untuk pemberdayaan”. ujarnya sembari mengungkapkan bahwa masalah PNPM Mandiri di Papua juga terkendala aspek transportasi Papua yang sulit dijangkau.

Mendengar jawaban Don, Pak Hadi pun meminta para peserta berkumpul berdasarkan kampungnya masing-masing untuk melakukan diskusi kelompok. Pak Hadi memberikan tiga pertanyaan kunci. Pertama, apa yang sudah dilakukan untuk pembangunan desa? Kedua, apa yang masih perlu diperhatikan dari pembangunan desa? Terakhir, langkah-langkah apa yang perlu ditambah atau diambil agar pembangunan desa itu berhasil?

Para peserta kemudian saling berbaur. Mencari kawan satu kelompok dan mencari tempat nyaman untuk berdiskusi. Ada kelompok yang berdiskusi di teras depan hingga ruang makan di wisma Hitchma, SATUNAMA.

Satu jam kemudian, mereka berkumpul kembali. Duduk di kursi masing-masing dan memulai cerita-cerita di kampung mereka. Satu cerita muncul dari kampung Tunaikan. Kelompok ini bercerita bahwa di kampung mereka telah melakukan pembangunan infrastruktur seperti pembangunan sanggar posyandu, balai pertemuan, hingga jalan titian. Sayang, upaya mereka kerap kali terbentur dalam pengembangan SDM dan SDA. Transportasi pun amat sulit. Belum lagi solidaritas antar warga amatlah minim.

Namun, mereka tak patah arang. Dana PNPM Mandiri yang sudah ada, bisa dimanfaatkan untuk menghadapi keterbatasan tersebut. Mereka mengatakan dana itu bisa dikembangkan dengan membentuk simpan pinjam keluarga. Dana-dana yang ada diputar untuk usaha produktif seperti ternak udang dan kegiatan produktif lain. Kegiatan simpan pinjam ini pun juga merekatkan gotong royong dan swadaya dari masyarakat di kampung. Dana produktif ini pun harus transparan pengelolaannya. Sehingga seluruh masyarakat bisa mengawasinya dengan cermat. Mendengar cerita itu, Pak Hadi nampak tersenyum.

Hasil diskusi yang diceritakan teman-teman dari kampung Tunaikan inilah sebenarnya yang disebut prinsip kerja pemberdayaan masyarakat. Mereka, para warga kampung sejatinya bisa menemukan masalah, mengurai masalah dan mencari solusi dari persoalan-persoalan di sekitar mereka.

Di sana, komunitas yang bekerja untuk dirinya, bukan fasilitator dan bukan donor. Ketika kesadaran sudah muncul dan bergerak dalam diri komunitas, semua persoalan akan bisa ditemukan jalan keluarnya. Tanpa tergantung pada siapa pun, melainkan mereka sendiri dengan cara yang berdaya. (Any Sundari)

Tinggalkan komentar