Menghalau Stigma Membangun Toleransi Berbasis Bhinneka Tunggal Ika.

Satunama.org- Yogyakarta merupakan kota yang cukup terkenal dengan berbagai sebutan. Misalnya kota pelajar, kota 1000 angkringan, kota pariwisata, dan beberapa sebutan lain.

Satu fakta yang tak terbantahkan adalah bahwa Yogyakarta memiliki banyak sekali penduduk dengan berbagai suku, ras dan agama. Hal ini tidak lepas dari keberadaan para pelajar, mahasiswa maupun pekerja dari berbagai daerah di Indonesia yang beraktifitas di Yogyakarta.

Sebagai sebuah daerah yang di masa lalu juga kerap disebut sebagai Indonesia mini, Yogyakarta atau sapaan kondangnya adalah Jogja, merupakan kota yang dipandang  memiliki toleransi yang cukup tinggi dimana para generasi muda dinilai sangat berperan dalam mempromosikan toleransi dan membumikan kebhinnekaan di kota ini..

Meski demikian, Jogja juga tidak terlepas dari berbagai problem sosial yang bersinggungan dengan anak muda. Sebutlah Klitih. Klithih adalah kata yang sudah tidak asing bagi masyarakat Jogja. Terlebih karena banyak berita yang telah menjelaskan terjadinya klithih, yang hari ini dilihat sebagai suatu kejahatan yang terjadi di Jogja dan cenderung melibatkan anak muda.

Kegiatan Sinau Bhinneka Tunggal Ika dilakukan guna memberikan pembelajaran kepada generasi muda Indonesia.

Berkaca dari hal tersebut, Yayasan SATUNAMA bekerja sama dengan Kesbangpol DIY mengadakan rangkaian kegiatan Sinau Bhinneka Tunggal Ika yang diikuti oleh para remaja pelajar setingkat SMA sederajat pada 12-16 Juli 2022 di Kabupaten Bantul, salah satunya bertempat di SMKN 1 Sewon Bantul. Kegiatan ini dilakukan guna memberikan pembelajaran tehadap generasi muda yang dianggap agen of chance terhadap kemajuan bangsa Indonesia.

Stigma dan Tindakan Intoleran.

Persoalan sosial yang melibatkan anak muda seperti klitih merupakan fenomena yang patut mendapat perhatian serius. Tidak lain karena klitih telah merambah pada wilayah kriminalitas yang dapat merugikan berbagai pihak.

Arti kata klithih yang sebenarnya adalah orang yang keluar rumah dengan niat mencari suasana baru atau biasa disebut dengan healing. Kegiatan klithih biasa dilakukan pada malah hari. Jajan di warung atau menikmati suasana malam hari.

“Masalahnya sekarang ini klitih lebih dimaknai sebagai tindak kejahatan jalanan yang terjadi di kota jogja yang membuat rasa takut muncul di masyarakat sekitar.” Kata William Aipipidely, Direktur Eksekutif Yayasan SATUNAMA yang menjadi salah satu narasumber Sinau Bhinneka Tunggal Ika di Bantul. 

Menurut Willy, panggilan akrab William Aipipidely, klitih tidak lepas dari persoalan kurangnya perhatian dan penghargaan terhadap orang lain, khususnya yang terkesan memiliki perbedaan.

“Padahal sekarang ini perbedaan tidak bisa ditutupi. Tapi terkesan bahwa perbedaaan adalah hal yang tabu di telinga masyarakat sehingga memunculkan stigma dan kadang memunculkan tindakan intoleran. Namun saya berharap, dengan adanya Bhinneka Tunggal Ika, intoleransi ini lambat laun akan hilang.” Kata Willy.

Klitih hanya salah satu hal yang muncul karena ketidakmampuan mengelola cara pandang terhadap perbedaan. Fakta bahwa Indonesia merupakan negara multikultural dengan banyak budaya, agama, ras, suku dan bangsa membutuhkan pola pikir dan prilaku yang inklusif untuk dapat berkembang sebagai sebuah negara yang solid. Inklusifitas tersebut dapat dicapai dengan memahami sekaligus mengaplikasikan nilai-nilai Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika dalam menjalani kehidupan.

“Harapannya, itu mampu merubah stigma yang muncul di tengah masyarakat. Dengan saling menghargai, toleransi dan saling mendukung satu sama lain akan membangun kebersatuan dalam perbedaan yang ada.” Papar Willy.

Willy kemudian mencontohkan bagaimana stigma dapat menjadi penghalang bagi terwujudnya pola kehidupan yang harmonis. Mengambil contoh pemilihan ketua OSIS di sekolah, Willy melemparkan sebuah situasi bagaimana jika dalam sebuah pemilihan ketua OSIS terdapat calon ketua OSIS yang berasal dari agama, ras, suku hingga orientasi seksual yang berbeda.

“Ini bisa saja muncul dan dihadapi oleh siapapun dalam situasi apapun. Memang akan terdapat pro kontra, namun  Bhinneka Tunggal Ika yang memiliki arti berbeda-beda tapi tetap satu seharusnya dapat menjadi dasar prilaku untuk saling merangkul satu sama lain, bukan malah menempelkan stigma buruk dan meminggirkan satu sama lain. Intinya adalah bagaimana kita memandang orang lain secara utuh.” Kata Willy. [Kontributor : Fani Suci Kurniawati (Pemagang dari IAIN Kudus)/Penyunting : A.K. Perdana/Foto : Bima Sakti]

Tinggalkan komentar