Resensi Buku : Pendidikan yang Memerdekakan – Transformasi Ki Hadjar Dewantara dan Y.B. Mangunwijaya untuk Milenial Baru

Judul buku    :  Pendidikan yang Memerdekakan – Transformasi Ki Hadjar Dewantara dan Y.B. Mangunwijaya

                           Untuk Millenial Baru

Penulis             :  Francis Wahono

Penerbit           :  Yogyakarta : Cinde Books

Tahun terbit     :  2021

Tebal halaman :  xxx + 518 hlm.

Ukuran buku   :  15 x 21 cm

Bahasa             :  Indonesia

Koleksi            :  Perpustakaan Yayasan SATUNAMA Yogyakarta

Dunia pendidikan di Indonesia saat ini seakan jalan di tempat karena adanya pandemi Covid-19, yang juga melanda seluruh dunia. Pembelajaran secara jarak jauh (dalam jaringan) sudah lebih dari satu tahun berlangsung. Sampai saat ini belum seluruh sekolah melakukan pembelajaran secara tatap muka demi keamanan para guru dan peserta didik. Juga untuk memutus rantai penularan Covid-19. Para siswa belajar di rumah.

Para guru dan sekolah berinovasi membuat pembelajaran jarak jauh dengan mengandalkan teknologi internet. Selama anak-anak peserta didik belajar di rumah, tentu saja peran orang tua sebagai pendamping dan pembimbing berkontribusi terhadap kesuksesan proses belajar jarak jauh ini. Mau tidak mau dunia pendidikan di Indonesia dan tentu saja juga di belahan dunia lain harus beradaptasi dan berinovasi menghadapi dampak pandemic Covid-19 ini.

Terkait dengan proses belajar mengajar, jelaslah bahwa buku berjudul “Pendidikan yang Memerdekakan“ ini sangat relevan untuk menjadi acuan dan panduan baik bagi guru maupun bagi orang tua, untuk memahami sejarah, seluk beluk, strategi dan juga proses belajar mengajar yang “merdeka” bagi peserta didik sekolah, khususnya di Indonesia.

Secara garis besar buku karangan Francis Wahono ini  bicara tentang tokoh-tokoh pendidikan di Indonesia yang sudah mengembangkan gagasan pendidikan sekaligus kritik terhadap dunia pendidikan kita yang masih kurang “memerdekakan”. Banyak fakta yang memperlihatkan betapa dunia pendidikan, praktik belajar mengajar saat ini seperti menjadi “ladang bisnis ekonomi” bagi para pihak yang berada di lapis kekuatan yang dominan di masyarakat.

Terhadap pola pendidikan di Indonesia yang kadang sarat dengan kekerasan dan ketidakadilan namun lazim dianggap normal, Francis Wahono menyampaikan catatannya dalam buku ini, kritik dan reformasi pendidikan lazimnya hanya bekutat pada persoalan teknis-manajerial, jarang menyentuh dimensi ekonomi –sosial yang lebih luas (hal.42-43).

Cukup banyak ranah yang menjadi tema bahasan dalam buku setebal 518 halaman ini. Penulis menyampaikan gagasan hasil penggalian dari konsep pendidikan yang pernah digagas oleh para tokoh pendidikan di Indonesia dari tahun 1870-an sampai tahun 1950-an, antara lain, Ki Hadjar Dewantara, HS Hasyim Asy’ari, KH Ahmad Dahlan, Romo Frans van Lith, R.A Kartini, R.A Dewi Sartika, Maria Walanda Maramis dan Hajah Rangkayo Rasuna Said yang masih kental memengaruhi konsep pendidikan.

Tentang konsep pendidikan ini, ada satu hal yang perlu dicatat dari tahun 1950-an, adalah adanya konsep dan praktek  “Sekolah Rakyat Pancasila”. Konsep itu telah di ‘up date” kembali oleh sekolah SD Kanisius Eksperimental Mangunan yang dirintis oleh Romo Y.B.Manguwijaya dan juga oleh Sri Wahyaningsih dan Toto Rahardjo dengan Sekolah Sanggar Anak Alam. Kedua sekolah ini ada di Yogyakarta dan sampai saat ini masih aktif menjalankan fungsinya sebagai tempat pendidikan.

Menurut Francis Wahono selaku penulis, buku ini sangat terinspirasi oleh buku Paulo Freire, yang berjudul “The Pedagogy of the Oppressed”, tulisan-tulisan Ki Hadjar Dewantara maupun buku Sutedja Bradjanegara dan L. Kartasubrata, yang berjudul “Sekolah Rakjat Pantjasila”. Sekolah Romo Mangunwijaya dan sekolah Sri Wahyaningsih serta Toto Rahardjo dengan konsep pendidikan yang memerdekakan juga menjadi inspirasi penulisan buku ini.

Buku setebal 518 halaman ini terbagi dalam empat belas bab. Pokok bahasan antara lain tentang konsep pendidikan yang memerdekakan, konteks sejarah pendidikan, bahasan tentang kurikulum pendidikan, guru yang memerdekakan murid. Dibahas juga tentang organisasi dan manajemen sekolah merdeka serta praksis pendidikan organisasi keagamaan. Selain itu untuk melengkapi pengetahuan dan pemahaman pembaca, dalam buku ini juga ada kolom guru, yang berisi tulisan pengalaman dan perjalanan penulis, yang ditampilkan secara lugas, sederhana namun bermakna.

Meskipun dapat dibilang tebal, namun secara layout penampilan, buku ini tidak mengecewakan, Buku juga dilengkapi dengan tabel dan gambar/foto untuk memperjelas tulisan maupun tema bahasan. Penggunaan bahasa Indonesia tentu saja menjadi faktor kuat buku ini mudah untuk dibaca dan dipahami. Namun demikian ada juga istilah-istilah yang dituliskan dalam Bahasa Inggris, namun itu istilah yang umum dan sering kita dengar.

Buku ini tentu diharapkan dapat menjadi tambahan pengetahuan pembaca tentang konsep pendidikan yang memerdekakan bagi peserta didik. Seperti yang disampaikan penulis bahwa ke depan tantangan bangsa Indonesia – sebagai bagian dari peradaban manusia bangsa-bangsa sedunia –  akan semakin besar dan nyata.

Oleh karena itu penting kita menyiapkan generasi yang arif bijaksana, berilmu maju dan terampil teknologi, sekaligus generasi yang beretika, bereligiositas dan terlibat pada kemanusiaan dan penyelamatan bumi alam semesta. Dan setiap orang dapat berpartisipasi untuk usaha-usaha pendidikan yang memerdekakan ini. Selamat membaca. Semoga bermanfaat.

Resensi Buku oleh : Tatik Sulistyaningsih (Pustakawan SATUNAMA Yogyakarta)

Buku ini merupakan koleksi Perpustakaan SATUNAMA

Tinggalkan komentar