Dari Patriarki Hingga Queen Bee, Tantangan Kesetaraan Gender dalam Kepemimpinan

Satunama.org – Hingga hari ini, masih banyak tantangan yang dihadapi terkait dengan peluang dan kesempatan perempuan dalam kepemimpinan. Konstruksi sosial budaya patriarki dipandang sebagai faktor tantangan terbesar dalam mewujudkan peluang kepemimpinan yang setara bagi kaum perempuan. Padahal keadilan dan kesetaraan gender menjadi salah satu komitmen utama Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDG’s) yang diadopsi oleh banyak negara termasuk Indonesia.

Hal tersebut mengemuka dalam agenda pelaksanaan Sekolah Politisi Perempuan yang diadakan oleh Yayasan SATUNAMA Yogyakarta dan Kaukus Politisi Muda SPM pada Rabu, 2 Juni 2021 di Balai Pelatihan SATUNAMA dan dihadiri peserta dari lintas partai politik di Daerah Istimewa Yogyakarta dan beberapa perwakilan CSO.

Sekolah Politisi Perempuan merupakan bagian dari upaya untuk meningkatkan perspektif, pengetahuan, dan keterampilan alumni SPM tentang keadilan dan kesetaraan gender dalam politik dan kerja-kerja pengarusutamaan gender dalam kebijakan publik dan pengelolaan partai politik. Agenda ini diadakan dalam wadah Kaukus Politisi Muda yang dibentuk dalam wadah Sekolah Politisi Muda (SPM) yang merupakan aktivitas utama Program Civilized Politics for Indonesian Democracy (CPID) yang digarap SATUNAMA sejak 2015.

“Patriarki jadi tantangan yang besar sampai saat ini. Belum lagi munculnya tafsir agama yang kadang-kadang bernuansa membatasi peluang perempuan, juga kebijakan dan program negara yang belum melembagakan kesadaran dan kepekaan gender.” Demikian disampaikan Alimatul Qibtiyah, Komisioner Komnas Perempuan yang menjadi salah satu narasumber dalam Sekolah Politisi Perempuan.

Padahal, menurut Alimatul, perempuan memiliki kapasitas dan pemikiran yang setara dengan laki-laki, bahkan lebih baik dalam beberapa hal. Alimatul kemudian mencontohkan ketika dunia dilanda pandemi Covid-19, beberapa negara yang terhitung baik dalam merespon pandemi adalah negara-negara yang dipimpin oleh perempuan, antara lain Selandia Baru, Finlandia, Taiwan dan Jerman.

Kehadiran perempuan, menurut Alimatul, tidak hanya semata untuk memberikan pengakuan bahwa perempuan memiliki kapasitas sebagai pemimpin. Namun juga untuk mendorong keadilan dan kesetaraan serta hadirnya pemenuhan kebutuhan perempuan. “Perempuan memiliki pengalaman yang tidak dapat dirasakan oleh laki-laki. Akan ada banyak manfaat yang didapatkan jika perempuan terlibat dalam organisasi atau negara.” Ujar Alimatul

Sayangnya, hal tersebut belum terwujud secara ideal. Alimatul membeberkan data keterlibatan perempuan dalam politik di Indonesia. Menurutnya, dalam Pilkada 2020, terdapat 1.329 calon laki-laki dan hanya 157 calon perempuan. Hasil Pemilu 2019 juga  belum mencapai 30% keterwakilan perempuan. Anggota legislatif (DPR RI) perempuan adalah 14,3% di tahun 2014 dan 20,5 % di tahun 2019.

Padahal, Alimatul yang juga menjadi pengajar di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta ini, menyebutkan bahwa dasar hukum pelibatan perempuan dalam pembangunan di Indonesia setidaknya dapat menjadi pijakan bagi terwujudnya kehadiran dan partisipasi perempuan di ranah kepemimpinan.

“Ada UU No.7 Tahun 1984 Tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan Diskriminasi Terhadap Perempuan. Kita juga punya Instruksi Presiden No.9 Tahun 2000 Tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional. Di level daerah ada Permendagri No.15/2008 Tentang Pengarusutamaan Gender di Daerah. Itu dasar hukum partisipasi perempuan dalam pembangunan.” Terang Alimatul.

Tantangan lain yang juga muncul dalam upaya mewujudkan keadilan dan kesetaraan gender serta kepemimpinan perempuan adalah tantangan internal yang muncul dari dalam diri perempuan itu sendiri. “Peningkatan kapasitas, rasa percaya diri dan sumber daya perempuan adalah beberapa hal yang harus mendapat perhatian.” Ujar Alimatul.

Terlebih saat ini juga muncul fenomena bernama Queen Bee Syndrome atau Sindrom Ratu Lebah. Termuat dalam Kumparan (16/12/19), Queen Bee Syndrome merupakan fenomena di mana seorang perempuan yang memiliki posisi tinggi memperlakukan sesama perempuan lain secara tidak peka. Mereka juga cenderung melakukan diskriminasi pada perempuan yang posisinya lebih rendah.

“Kehadiran dan partisipasi perempuan menuju demokrasi harus didorong, kapasitas dan daya dukung perempuan perlu dimunculkan dalam lingkungan perempuan itu sendiri. Perempuan harus saling memberdayakan.” Demikian Alimatul.

Terlebih,  akar penyebab ketidakadilan yang dialami oleh perempuan tidak jarang juga berasal dari faktor ekonomi. Dalam berbagai ranah kehidupan, perempuan cenderung tidak memiliki akses terhadap sumber ekonomi. Hal ini menyebabkan mereka menjadi bergantung kepada orang lain misalnya kepada pasangannya atau suaminya.

Karenanya, Alimatul melihat perlunya terus didorong upaya-upaya untuk melibatkan perempuan dalam berbagai aktivitas, organisasi, lembaga maupun komunitas di masyarakat untuk meningkatkan kapasitas dan sumber dayanya. “Menghadirkan budaya keluarga yang egaliter, ramah, mendukung pasangan, anggota keluarga laki-laki dukung anggota keluarga perempuan dalam dunia politik atau ekonomi misalnya. Itu harus menjadi budaya dalam kehidupan sehari-hari.” Jelasnya.

Sementara dalam konteks tafsir agama, Alimatul menyoroti pentingnya sosialisasi tafsir-tafsir agama yang moderat, progresif dan tidak misoginis atau menyudutkan perempuan. Kebijakan negara juga perlu mendorong secara nyata kesetaraan dan keadilan gender baik dalam perspektif, sikap maupun perilaku.

Alimatul kemudian menyebutkan bahwa untuk mewujudkan kepemimpinan yang adil dan demokratis, semua pihak perlu mempunyai kesadaran diri dan berempati pada orang lain. “Memberdayakan semua orang, tidak maju sendiri, memberikan kritik tanpa merendahkan, membangun relasi kolektif kolegial kebersamaan serta inklusif, tidak melakukan diskriminasi kepada siapapun.” Tutupnya. [Penulis : A.K. Perdana/ Penyunting : Bima Sakti/ Foto : A.K. Perdana]

Tinggalkan komentar