Undang-Undang Desa (UU No. 6/2014) membawa arah baru bagi kemajuan dan pemberdayaan masyarakat desa. Salah satu arah penting dalam kemajuan dan pemberdayaan desa adalah tentang kewenangan desa yang diatur dalam pasal 19. Salah satu kewenangan yang dimiliki oleh Desa dalam UU No. 6 /2014 adalah kewenangan lokal berskala desa.
Sesuai engan asas dalam UU Desa, yakni rekognisi dan subsidiaritas, desa memiliki kewenangan berdasarkan hak asal usul dan kewenangan lokal berskala desa. Kewengan lokal berskala desa dimana desa mempunyai kewenangan penuh untuk mengatur dan mengurus desanya.
Berdasarkan Peraturan Kemendesa No. 1 / 2015 tentang Pedoman Kewenangan Berdasarkan Hak Asal Usul dan Kewenangan Lokal Berskala Desa, dijelaskan kriterianya sebagai berikut : (1) Kewenangan yang mengutamakan kegiatan pelayanan dan pemberdayaan masyarakat ; (2) Kewengan yang mempunyai lingkup pengaturan dan kegiatan hanya di dalam wilayah dan masyarakat desa yang memiliki dampak internal desa. (3) Kewenangan yang berkaitan dengan kebutuhan dan kepentingan sehari hari masyarakat desa. (4) Kegiatan yang telah dijalankan oleh desa atas dasar prakarsa desa pemerintah. (5) Program kegiatan pemerintah , pemeritah provinsi, dan kabupaten /kota yang telah diserahkan dan dikelola oleh desa. (6) Kewengan lokal berskala desa yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan tentang pembagian kewenangan pemerintah , pemerintah provinsi, dan pemerintah Kabupaten /kota.
Selain tentang kewenangan desa dalam UU Desa, kebijakan tersebut juga memberikan perhatian terhadap pembangunan kawasan pedesaan, dimana kebijakan ini sebelumnya tidak pernah diatur dalam UU desa era sebelumnya. Menyadari tentang pentingnya pembangunan berbasis kawasan (landscape), dan tidak hanya fokus pada pendekatan berbasis administrasi, UU Desa mengatur secara khusus pendekatan kawasan pembangunan dalam pasal 83 -85. Pembangunan kawasan pedesaan memandang desa sebagai satu kesatuan pengelolaan berdasarkan karakteristik kawasan yang dapat menjadi modal ekonomi, sekaligus juga penataan kawasan berdasarkan masalah yang dihadapi bersama. Dalam dua kebijakan tersebut program adaptasi perubahan iklim diletakkan.
Perubahan iklim merupakan sebuah fenomena perubahan alam yang terjadi secara significant mengenai pola cuaca yang terjadi pada periode waktu tertentu. Tiga pilar perubahan iklim adalah perubahan suhu yang cepat yang ditandai oleh berbagai gejala alam, berubahnya curah hujan dan musim, serta pola angin. Perubahan iklim terjadi karena perilaku manusia terhadap lingkungannya yang cemderung ekstraktif seperti penggundulan hutan, pembukaan kawasan gambut, industrialisasi, penggunaan teknologi yang tidak ramah (tidak terbarukan), dan lain sebagainya.
Upaya adapatasi (dan mitigasi) perubahan iklim seringkali terlepas dari konteks lokal desa. Di desa-desa kalimantan tengah tidak memiliki skema kebijakan adaptasi dan ketangguhan resiko bencana dalam perencanan desa, kebijakan dan penganggaran. Ketika berlangsung banjir pada desa-desa yang berada di daerah aliran sungai – sebagian besar desa di Kalimantan terletak di tepi sungai — tidak ada standart operasional prosedur untuk mengurangi resiko bencana bagi kelompok rentan desa seperti perempuan hami, anak-anak, lansia, kelompok difabel dan lain sebagainya.
Demikian juga misalnya ketika terjadi bencana asap yang sering melanda kawasan ini, tidak ada safe house yang disediakan kepada kelmpok-kelompok rentan sehingga resko bisa diminimalisir. Dengan kewenangan yang dimiliki oleh desa, seharusnya pemerintah menjadi lembaga terdepan yang mampu mengambangkan kemampuan adaptasi dan pengurangan resiko terhadap ancaman perubahan iklim.
Desa memiliki kewenangan dibidang perencanaan dan penganggaran yang dapat digunakan untuk membangun ketangguhan bencana dalam menghadapi perubahan iklim. Kewenangan yang dimiliki oleh desa dapat memperkuat ketangguhan adaptasi melalui perencanaan, program dan kelembagaan. Dalam RPJMDes dapat disusun peta dampak perubahan iklim dan perencanaan apa yang dapat dilakukan oleh pemerintah desa untuk mengantisipasi dampak dari perubahan iklim tersebut.
Dalam konteks anggaran, khususnya berkaitan dengan postur anggaran pemberdayaan masyarakat desa, tidak mencerminkan kebutuhan dan alokasi anggaran untuk adaptasi perubahan iklim. Misalnya berkaitan dengan pengurangan resiko kebakaran hutan, banjir, penyakit dan lain sebagainya. Demikian juga berkaitan dengan program ketahanan pangan, perlindungan untuk kelompok rentan pedesaan, dan lain sebagainya.
Demikian juga berkaitan dengan kelembagaan pemerintah desa. Kelembagaan yang dibentuk oleh pemerintah desa belum memberikan jaminan terhadap pengurangan resiko bencana, misalnya membuat Lembaga Penanggulangan Bencana Desa (LPBD) yang memiliki tugas dan wewenang untuk mengurangi resiko bencana tingkat desa.
Dalam konteks pembangunan kawasan pedesaan, pendekatan pembangunan desa masih berkutat pada persoalan pembangunan ekonomi kawasan, dan belum menyentuh pada upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim pada tingkat tapak (landscape). Kalimantan Tengah sebagai kawasan gambut dan banyak desa yang berada di daerah aliran sungai, sangat penting membangun integrasi perencanaan .untuk adaptasi perubahan iklim pada kesatuan tapak (landscape) dengan mendasarkan pada kesamaan karakteristik resiko yang dihadapi.
Misalnya kesamaan resiko bencana asap dan banjir yang seringkali melanda kawasan desa-desa tersebut. Kerjasama antar desa yang diprogramsikan melalui pengembangan Badan Kerjasama Antar Desa (BKAD) adalah pendekatan pembangunan yang berbasis kawasan dengan mendasarkan pada karakteritik potensi yang tersedia. Selama ini BKAD masih sebatas pada pendekatan ekonomi kesejahteraan, belum masuk pada pendekatan pengurangan resiko bencana dan pendekatan adaptasi.
Himawan Pambudi [Sosiolog Pedesaan, Kepala Departemen Demokrasi Politik Pemerintahan dan Inklusi Sosial Yayasan SATUNAMA]
Foto/Gambar : risehtunong.blogspot.com