SATUNAMA Serius Godog Desain Kurikulum Sekolah Politisi Perempuan

Satunama.org.- Yayasan SATUNAMA melalui Unit Demokrasi dan Politik serius menggodog desain kurikulum untuk pelaksanaan Sekolah Politisi Perempuan (SPP), Selasa-Rabu (29-30/12/2020). Hal itu dilakukan mengingat SPP adalah rangkaian kegiatan anyar yang akan dirilis pada pertengahan tahun 2021 mendatang, sehingga perlu usaha perencanaan matang agar tepat menyasar pada tujuan hakiki yang hendak dicapai.

“Terdapat tiga tujuan utama dalam program SPP, yakni pemberdayaan kuota, peningkatan pendidikan, serta mendorong kuantitas dan kualitas politisi perempuan baik dalam ranah pemerintahan, parlemen, partai politik hingga ke akar rumput, sehingga kurikulum ini perlu disusun secara matang untuk kemudian diimplementasikan dalam program itu,” tutur Muhammad Zuhdan, selaku manager program Civilized Politic for Indonesian Democracy (CPID) SATUNAMA di mana Sekolah Politisi Perempuan menjadi bagian program tersebut.

Menurut Zuhdan, kurikulum ini tidak hanya sebatas model formal belaka, melainkan juga sebagai kerangka acuan apa dan bagaimana yang seharusnya program SPP ini lakukan untuk ke depan, maka dalam proses perumusannya turut mengundang dari beberapa elemen masyarakat. “Perlu mendengar masukan dari berbagai elemen, di antaranya pemerintah, civil society, partai politik, dan akademisi agar pemetaan isu dan kebutuhan politik perempuan lebih komprehensif,” jelasnya.

Dalam proses perumusan desain kurikulum yang dilakukan selama dua hari ini, dilakukan dengan melalui metode-metode khusus yang sudah dipersiapkan. Pertama, yakni melakukan curhat pendapat bersama dari berbagai pihak yang diundang, seperti Ahmad Shidqi, Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) DIY; Bagus Sarwono, Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) DIY; Amalinda Savirani, Ph.d, Monica Eviandaru Madyaningrum Ph.D., Dr. Titin Purwaningsih, S.IP., M.Si., dan Ike Christanti, S.IP, selaku pakar akademisi; Khotimah. H., Ketua Fatayat DIY; Yusnita Ike, Ketua Nasiyatul Aisyah DIY; John S. Keban, Ketua Vox Point DIY; dan sejumlah delegasi dari anggota partai politik.

Kemudian dilanjutkan metode yang kedua, dengan Focus Group Discussion (FGD) untuk membahas tantangan politisi perempuan dalam sistem politik dan pemerintahan. Setelah itu, akan dilakukan proses pemetaan kebutuhan kurikulum SPP melalui mind mapping sederhana dari hasil diskusi yang disusun di lembaran kertas karton besar. “Metode-metode ini dipilih agar proses musyawarah bersama berjalan efektif dan poin-poin utama yang disampaikan oleh para panelis dapat tersaring secara jelas dan merata,” ucap Zuhdan.

Setelah itu, barulah bisa disusun draft desain kurikulum itu pada hari kedua yang tetap menimbang rencana usulan lebih lanjut (bila ada). Tak sampai berhenti di situ saja, Zuhdan mengatakan bahwa setelah draft kurikulum itu sudah jadi, akan diperkaya kembali melalui proses konsultasi dan diskusi lagi dengan para pakar atau praktisi bersama jajaran petinggi Satunama. “Tidak menutup kemungkinan masih akan ada revisi dan itu akan diperbaiki, namun tidak mengubah subtansi dari kurikulum yang sudah disusun pada dua hari ini,” paparnya.

Amalinda Savirani, Ph.d., dalam salah satu usulannya menyampaikan bahwa tidak perlu bermuluk-muluk peran perempuan diorganisir untuk andil besar dalam persoalan general yang menyangkut sistem pilkada atau elektoral. “Yang perlu digaris bawahi adalah bagaimana perempuan bisa bertindak untuk menangani persoalan politik sehari-hari, sekaligus mampu memainkan proses pengambilan kebijakan dalam politik secara kebijaksanaan,” ucapnya.

Oleh sebab itu, Zuhdan berharap melalui keseriusan dalam penyusunan kurikulum ini, pelaksanaan SPP diharapkan dapat mencapai titik tujuan utamanya sebagai wadah pendidikan khusus bagi perempuan yang akan berkarir dan yang sudah terjun dalam dunia politik.

“Keluaran hasil workshop dua hari ini akan diimplementasikan oleh SATUNAMA dalam pelaksanaan SPP perdana, yang kemudian menjadi role model bagi kaukus-kaukus yang tersebar di delapan wilayah di Indonesia untuk menyelenggarakan SPP dengan konsep yang sama,” pungkasnya. [Penulis: Haris (Media Intern/UGM Yogyakarta)/ Penyunting: A.K. Perdana / Foto: Rabin (Dempol Intern/Atma Jaya Yogyakarta]

Tinggalkan komentar