Refleksi Kiprah Perempuan Penghayat dalam Produksi Pengetahuan

Satunama.org.- Tingginya partisipasi masyarakat di media massa saat ini merupakan salah satu bentuk kemajuan demokrasi yang memberikan hak kebebasan berpendapat dan beragama. Kebebasan berpendapat maupun beragama pun tidak membatasi seseorang dari pihak manapun, termasuk kaum perempuan dan penghayat. Namun, bagaimana tingkat partisipasi masyarakat di media massa selama ini? Dan juga, bagaimana peran perempuan penghayat dalam kontribusinya di media massa?

Berangkat dari pertanyaan tersebut, Makrus Ali dari Yayasan SATUNAMA bersama dengan Eka Ningtyas, Staf Pengajar Ilmu Sejarah Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) berusaha mengkaji perkembangan suara perempuan dalam produksi pengetahuan komunitas kebatinan pada masa Orde Baru, khususnya menganalisis ide-ide yang ditawarkan oleh penulis-penulis perempuan di majalah Mawas Diri yang terbit pada masa Orde Baru dan merupakan satu-satunya majalah yang membahas tentang kehidupan spiritual masyarakat Indonesia.

Hal tersebut disampaikan melalui diskusi panel dalam acara The 2nd International Conference on Indigenous Religions (ICIR) yang diselenggarakan pada Senin (14/7/2020). Konferensi tersebut digelar oleh Rumah Bersama, bekerjasama dengan Yayasan SATUNAMA, Program Peduli, PusKAHA PH Universitas Pancasila, Majelis Luhur Kepercayaan, International Consorsium for Religious Studies (ICRS), Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS) Univesitas Gadjah Mada, Puan Hayati, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, LIPI, Komnas Perempuan, Pusat Studi Agama dan Demokrasi Yayasan Wakaf Paramadina, dan IAIN Tulungagung.

ICIR pada tahun ini menekankan pada tema “Centering the margin”, yaitu kerangka kerja untuk kewarganegaraan inklusif yang menyediakan serangkaian inisiatif dan agenda strategis untuk kesetaraan kesempatan bagi setiap anggota masyarakat bagi mereka yang terpinggirkan, seperti pengikut agama adat, harus berada di tengah, sepenuhnya diakui dan diwakili, dihormati dan dilindungi.

Selaras dengan itu, Makrus dan Eka mengambil sub-tema “Gerakan Perempuan dan Gender: Pembelajaran untuk Advokasi Agama Lokal” dan mempresentasikan hasil temuan awalnya mengenai suara perempuan dalam produksi pengetahuan dalam komunitas kebatinan di majalah Mawas Diri.“Dari sini kami berharap semoga ke depannya ada peningkatan peran perempuan penghayat dalam fungsi pendidikan di media masa.” Tutur Makrus.

Perempuan adalah Bagian Masyarakat.

Kontribusi perempuan di majalah Mawas Diri diprakarsai oleh S.K Srimurti sebagai salah satu pendiri Mawas Diri yang berfokus pada isu komunitas kebatinan bersama dengan penulis lainnya seperti Soekirno, Maria Amin, Nyi Sukadyani, dan S. Hariharti.

Namun, bukan hanya dalam isu kebatinan, peran Mawas Diri dalam penempatan perempuan pun berfokus pada isu lainnya seperti politik dan rumah tangga. Lebih dari itu, dalam paparan Makrus dan Eka nampak bahwa peran perempuan bukan menjadi hal yang harus dipikirkan perempuan saja, namun sudah merupakan bagian dari konteks masyarakat. Bagai dua mata rantai yang saling terkait, segala solusi untuk masalah masyarakat juga merupakan solusi masalah perempuan, begitu juga sebaliknya.

Sementara refleksi epistemologis yang dilakukan Makrus dan Eka pada gerakan perempuan dalam komunitas Kebatinan di Indonesia melalui tulisan para perempuan di majalah Mawas Diri mampu menunjukkan dua hal.

“Pertama, bagaimana mereka mengalami double jeopardy pada masa Orde Baru, yakni menjadi penganut kebatinan sekaligus menjadi perempuan. Kedua, menunjukkan bagaimana perempuan praktisi kebatinan terlibat aktif dalam wacana pengetahuan dan diskusi intelektual pada masa Orde Baru.” Papar Eka.

Dengan alur pemikiran yang sama maka hubungan antara perempuan dan media informasi yang ada saat ini berjalan paralel dengan hubungan antara perempuan dengan masyarakat.“Hal ini penting dan karenanya media pendidikan seperti Mawas Diri sebenarnya bisa menjadi media yang mewadahi pemikiran perempuan.” Ujar Eka.

Sayangnya, Makrus dan Eka mengalami sebuah tantangan dalam melakukan analisis mereka. Dokumentasi Mawas Diri sebagai satu-satunya majalah yang membahas tentang kehidupan spiritual masyarakat Indonesia ternyata belum sepenuhnya lengkap. Edisi pertamanya diterbitkan pada tahun 1971 dan edisi terakhir tahun 1995. Di antaranya, terdapat beberapa edisi yang sulit ditemukan,

“Kami masih kekurangan sumber, khususnya pada 3 edisi terakhir yaitu tahun 1992, 1993, dan 1994. Ketiga edisi tersebut sudah kami cari di Yogyakarta, Leiden, maupun Paris tapi tidak ketemu. Terdapat pertanyaan juga apakah pada tahun-tahun tersebut, edisinya terbit atau tidak. Ini masih akan kami cari lebih jauh.” jelas Eka.

Perkembangan media massa yang pesat dan informasi yang diberikan cenderung mempengaruhi kehidupan masyarakat. Peran dan fungsi media massa begitu penting dalam perkembangan komunikasi masyarakat. Media massa mengacu pada teknologi yang digunakan sebagai saluran untuk sekelompok kecil orang untuk berkomunikasi dengan lebih banyak orang.

Demkiian halnya dengan media massa yang digunakan untuk menjangkau perhatian khalayak luas. Begitupun fungsi pendidikan dalam komunikasi massa, Ardianto (2009) menyebutkan bahwa media massa merupakan sarana pendidikan bagi khalayak (mass education), melalui pengajaran nilai, etika, serta aturan-aturan yang berlaku kepada pemirsa atau pembaca. Baik melalui drama, cerita, diskusi, artikel, dan sebagainya.

Oleh karenanya, melalui panel diskusi ini, Makrus dan Eka berharap bahwa semangat perempuan penghayat dalam peran pendidikan penghayat di media massa dapat terus berkembang salah satunya berupa gerakan organisasi perempuan penghayat PuanHayati. Kontribusi penghayat kepercayaan di media massa cepat atau lambat dapat menghasilkan fungsi pendidikan yang dapat memberikan pengetahuan baru untuk masyarakat, sehingga tidak akan ada lagi permasalahan diskriminasi terhadap penghayat kepercayaan maupun perempuan penghayat. [Penulis : Azrina Sabilla/Media Intern UGM Yogyakarta. Editor : A.K. Perdana]

Tinggalkan komentar