Taktik Jitu Komunikasi Politik Tangkal Money Politic

Satunama.org– Kompetisi antar subyek politik elektoral dalam kontestasi pemilihan umum (pemilu) menjadi sesuatu hal yang lazim. Siapa yang berhasil memikat hati rakyat, dialah yang akan menang. Berbagai cara dilakukan demi mewujudkannya, salah satunya dengan melakukan praktik money politic ‘politik uang’ yang sayangnya menjadi satu problem besar yang belum terpecahkan..

Melansir data terakhir Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang menyebutkan bahwa dari 28 kasus pelanggaran Pemilu di tahun 2019, paling banyak adalah persoalan politik uang. Hal itu dilakukan misalnya melalui pemberian amplop secara langsung yang berisikan uang hingga janji-janji manis berupa kupon umrah dan sembako.

Dr. Mada Sukmadjati, Pengamat Politik dan Pemerintahan UGM, dalam Konferensi Pers Rilis Hasil Big Data “Peta Potensi Politik Uang Pemilu 2019” menyampaikan bahwa caleg yang tidak memiliki program unggulan, namun berambisi untuk menang adalah salah satu faktor penyebab politik uang terjadi. Selain itu, juga karena minimnya peran partai politik untuk memberikan dukungan kepada caleg yang diusung.

Lebih lanjut, Dr. Gun Gun Heryanto, selaku Pakar Komunikasi Politik mengamati bahwa kecenderungan untuk melakukan money politic merupakan imbas dari gagalnya caleg dalam mengelola taktik komunikasi politik. Padahal, menurutnya, komunikasi politik bisa menjadi basis kekuatan untuk mempengaruhi massa atau lingkungan politik (the political environment).

“Praktik money politik adalah cara instan caleg yang minim capability, electability, dan acceptability, namun berambisi untuk menang. Sesungguhnya masih ada ruang bernafas dari situasi kepenatan itu, tanpa harus dengan bagi-bagi uang, yakni dengan memaksimalkan taktik manajemen komunikasi politik,” ujar Gun Gun, dalam forum Sekolah Politisi Muda (SPM) IV yang dihelat oleh Yayasan SATUNAMA, Jumat pagi (27/11/2020).

Meminjam teorinya Denton dan Woodward, Gun Gun yang juga merupakan Direktur Eksekutif The Political LiteracyInstituteitu menjelaskan bahwa karakteristik komunikasi politik dalam istilah intention (tujuan) pengirimnya, yaitu untuk mempengaruhi lingkungan politik. Dalam hal ini, faktor penting yang membuat terjadinya komunikasi politik bukanlah semata-mata bersumber dari sebuah pesannya saja melainkan dari isi dan tujuannya.

Oleh karena itu, berkenaan dengan kontestasi elektoral seperti pileg atau pilkada, langkah-langkah komunikasi politik harus dipersiapkan dengan matang, bahkan sebelum masa kampanye datang. Menurut Gun Gun, ada empat elemen utama yang patut diperhatikan dalam tata kelola strategi komunikasi politik yang baik, diantaranya power and authority, marketing politic, manajemen isu, dan penguasaan pemilih.

Pertama, power ‘kekuasaan’ adalah kemampuan entitas untuk mengontrol orang lain, sedangkan authority ‘otoritas’ merupakan pengaruh yang didasarkan pada legitimasi.“Meskipun masuk di dalam persoalan internal partai, namun menjaga power dan authority sangat penting di awal bagi politisi yang akan maju berkontestasi,” tutur Gun Gun. Salah satu usaha yang dapat dilakukan yakni dengan membangun power relation di dalam partai. Sehingga, saat tiba masanya pemilu, partai politik akan memberikan dukungan lebih terhadap caleg yang diusung.

Kedua, marketing politic ‘pemasaran politik’ yaitu proses mempengaruhi perilaku massa dalam situasi kompetitif, yang mana ukuran kesuksesannya berupa pemungutan suara dan kekuatan efektivitas dalam mempengaruhi publik. Dalam hal ini, Gun Gun menyebut nama Budiman Sujatmiko. Meski tidak terpilih di kontestasi Pemilu 2019, tetapi Budiman mempunyai kekuatan efektivitas di bidang Undang-Undang Desa dan kemudian mendirikan gerakan Inovator 4.0 Indonesia.

Gun Gun berpandangan bahwa pemasaran politik juga berkesinambungan erat dengan public relation politic. Yakni kerja atau usaha yang dilakukan kapan saja (any times) melalui hubungan dan pelayanan komunitas, untuk membangun hubungan chemistry, simpati, dan harmoni. Bentuk usaha sederhana yang bisa dilakukan adalah membangun personal branding ‘pemasaran diri’. Jadi, ada kerja dan citra yang dikemas. “Politisi itu perlu pengemasan, dramaturgi, framing, dan citra yang harus dibangun dan dipelihara,” imbuhnya.

Ketiga, manajemen isu yang terkait dengan tata kelola opini, reputasi, relasi media, dan propaganda. Terkadang, seorang caleg atau politisi mempunyai manajemen isu yang bagus, akan tetapi tidak mempunyai kemampuan untuk handling isu. Ketika pimpinan sebuah parpol tertangkap KPK pada 2013, Jokowi yang kemudian menjadi salah satu calon presiden 2014 melakukan manajemen isu dengan mengubah motto dari “cinta, kerja, dan harmoni” menjadi “bersih tanpa korupsi”. “Ini bisa dikatakan sebagai usaha manajemen reputasi isu politik,” jelas Gun Gun.

Terakhir, menyoal penguasaan pemilih. Diperlukan pergeseran penggunaan makna mobilisasi ke partisipasi. “Dari mobilisasi ke partisipasi itu tidak mudah, tetapi mengajak massa untuk memilih dengan partisipasi itu ideal dan bijaksana, caranya dengan civic voluntary model,”jelas Gun Gun. Misalnya, masyarakat berdasarkan tingkat pendidikan dan atau hubungan primordial. Hal-hal tersebut bisa saja digunakan untuk mendapatkan suara, namun harus berhati-hati dalam penggunaannya. Dalam konteks primordial misalnya, jangan kemudian terjebak dalam mobilisasi SARA.

Ketika politisi atau caleg berhasil merumuskan dan menerapkan empat strategi manajemen komunikasi tersebut di atas dengan baik, maka selanjutnya, bersiap untuk bertarung dalam masa kampanye. Gun Gun menegaskan, sejatinya komunikasi politik dan kampanye memiliki peran yang sangat penting dalam dunia politik.

Backbone dari politik itu salah satunya adalah komunikasi politik dan kampanye. Tanpanya, politik akan hambar dan sumbang,” paparnya. Maka dari itu, taktik manajemen komunikasi politik yang baik haruslah didukung dengan strategi kampanye yang baik pula.

Kekuatan Branding, Positioning dan Segmenting.

Berbeda dengan komunikasi politik, kampanye menurut Pfau dan Parrot didefinisikan sebagai suatu proses yang dirancang secara sadar, bertahap, dan berkelanjutan yang dilaksanakan pada rentang waktu tertentu, dengan tujuan mempengaruhi khalayak sasaran yang telah ditetapkan. Dengan batasan waktu tertentu itulah, caleg dituntut untuk merancang strategi jitu demi ambisinya untuk menang. Tiga diantaranya; branding, positioning, dan segmenting.

Seperti yang sudah disinggung di atas, branding bukan hanya sekedar atribut atau merek, tetapi memiliki kekuatan emosi dan values untuk kemudian menjadi ciri khas personal branding dalam diri seorang calon politisi. Misalnya, Presiden Jokowi lekat dengan Budaya Jawa dan memiliki pribadi yang sederhana. Aspek itu kemudian menjadi salah satu nilai jual kampanyedalam diri seorang Jokowi.

Menurut Gun Gun, menciptakan branding di era yang serba digital ini sangatlah mudah. “Beberapa platform media sosial, seperti Instagram, Twitter, dan Youtube dapat dijadikan media untuk membangun personal branding, selain itu ada juga ada website untuk menuliskan ide gagasan tentang isu yang menjadi konsern,” imbuhnya. Ia menambahkan bahwa sekarang ini muncul tren kampanye digital yang berbasis data, di mana tim kampanye harus mempunyai kemampuan akses, analisis, evaluasi, dan komunikasi digital.

Berkenaan dengan positioning, Gun Gun memaparkan bahwa strategi kampanye ini berhubungan dengan cara bagaimana khalayak menempatkan caleg dalam pemilih, sehingga mereka memiliki penilaian tertentu. Namun, menurut Worcester dan Baines, ada satu hal yang membuat positioning ini sulit dilakukan, yakni pengaruh past-record (rekam jejak masa lalu) yang terekam dalam memori kolektif pemilih.

Oleh karena itu, diperlukan consistent image untuk memperbaiki rekam jejak yang buruk di masa lalu. “Perlu consistent image, citra politik yang terdiri dari: kerja politik, isu politik, dan kepemimpinan” ujar Gun Gun. “Ini memang pekerjaan yang melelahkan, namun akan sangat berfaedah bagi caleg saat tiba masa kampanye datang,” ujarnya lagi.

Setelah branding dan positioning, selanjutnya adalah segmenting, proses identifikasi kelompok di masyarakat yang kemudian cocok dengan branding yang telah dibangun. “Perlu juga melihat behaviour atau perilaku. Perilaku anak muda berbeda dengan generasi baby boomer,” tutur Gun Gun. Menurutnya, perlu juga melihat sisi demografis dan geografis masyarakat.

Dalam paparan penutupnya, Gun Gun berpesan bahwa dalam politik tidak ada jaminan kemenangan kalau tidak memelihara political branding, aktivitas politik, dan segmenting. “Alih-alih membagi uang, selain melanggar hukum dan ajaran agama, praktik buruk tersebut nyatanya mencederai demokrasi Indonesia saat ini. Lebih baik berpolitik sehat dengan taktik komunikasi politik yang baik,” pungkasnya. [Penulis: Haris Setyawan (Media Intern/UGM Yogyakarta)/ Penyunting: A.K. Perdana/ Foto: Annisa Dani (Media Intern/ ISI Surakarta)]

Satu pemikiran pada “Taktik Jitu Komunikasi Politik Tangkal Money Politic”

Tinggalkan komentar