Menyibak Demokrasi Indonesia Saat Ini, Firman Noor: Dibajak Oligarki

Satunama.org– Melansir data yang dirilis oleh The Economist Intelligence Unit (EIU) tahun 2019, Indonesia menempati peringkat ke-64 dari 167 negara dalam daftar indeks demokrasi global. Skor yang diperoleh sebesar 6,48 dengan kategori cacat (Flawed Democracy). Kondisi seperti ini patut disayangkan, sebab kehidupan berdemokrasi di Indonesia pada tahun-tahun sebelumnya mengalami tren kenaikan.

Alih-alih mengulik persoalan data dan angka, dalam hal ini, yang lebih substansi adalah apa penyebab demokrasi di Indonesia bisa cacat. Jika mengacu pada riset yang dilakukan EIU di atas, salah satu instrumen yang digunakan untuk penilaian adalah tentang isu budaya politik. Dalam hal ini, budaya politik memperoleh angka terendah kedua dari instrumen-instrumen yang lain yang digunakan, misalnya proses pemilu dan pluralisme.

Ini menjadi sesuatu yang menarik, sebab realitas perkembangan budaya politik Indonesia seakan berjalan baik-baik saja walaupun sesekali terjadi gesekan. Yakni dengan corak ciri khas budaya politiknya yang santri, priyayi, abangan; aristokrasi Jawa dan Islam; nasionalisme, Islam modernis, Islam Tradisional; dan lain-lain. Lantas, budaya politik yang seperti apa yang membuat demokrasi Indonesia cacat?

Dalam forum Sekolah Politisi Muda (SPM) IV SATUNAMA yang digelar Kamis (16/11/2020), Prof. Dr. Firman Noor, S.IP., M.A., selaku Kepala Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2P-LIPI) mengungkapkan bahwa menurunnya demokrasi di Indonesia saat ini akibat dari adanya praktik oligarki yang sudah menjadi rantai budaya politik di pemerintahan saat ini.

“Oligarki sudah membajak demokrasi, memainkan sistem politik yang serba elit dan menopang demokratisasi internal partai. Ia selalu selamat dan tak pernah tersentuh, sebab hukum hanya mencopot orang di permukaan, padahal oligarkilah the real king maker yang bermain di belakang layar,” tutur Firman.

Menurutnya, oligarki adalah suatu kondisi dimana segelintir orang memiliki kekuasaan dan pengaruh untuk menentukan kebijakan dan jalannya pemerintahan yang menjauhi prinsip demokrasi. 

Lebih lanjut, Firman memaparkan bahwa oligarki yang bercokol di Indonesia disebabkan oleh beberapa faktor. Diantaranya, karena adanya ketimpangan sumber-sumber kekuasaan, lemahnya transparansi, dan adanya warisan Orde Baru dalam sistem politik. Selain itu, tidak sedikit dari anggota dewan yang duduk di parlemen adalah pengusaha.

“Pemerintah saat ini berada dalam lingkaran oligarki yang wujudnya adalah pengusaha, seluruh agenda politik didesain hanya untuk kepentingan mereka saja,” ucap Firman. Hal itu dibuktikannya dalam hasil penelitian yang dilakukan oleh LIPI yang menyatakan bahwa 56 persen politisi yang berada di parlemen adalah pengusaha dan mayoritas menguasai posisi strategis parlemen.

Sehingga, Firman, yang juga merupakan akademisi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UI itu sepakat bahwa kehadiran pengusaha dalam kursi parlemen sarat akan kepentingan oligarki. Hal itu, menurutnya, didasarkan pada salah satu agenda utama oligarki, yakni memastikan keberlanjutan eksistensi bisnis, aset, dan kekayaan, serta melindungi sumber-sumber kepentingan ekonomi melalui legalitas hukum.

“Keberadaanya semakin jelas, selalu hadir dalam momen pembuatan kebijakan hukum yang jauh dari prinsip demokrasi, sebut saja dalam UU Omnibus Law Cipta Kerja,” tegas Firman.

Dalam fase politik pun, dari rekrutmen kandidat politik, pembentukan koalisi, pembuatan kebijakan, hingga implementasi kebijakan praktik oligarki menurut Firman, hampir semuanya terjadi di dalamnya. “Eksistensi pelaksanaan Pilkada merupakan rangkaian upaya oligarki untuk menguasai tatanan kehidupan politik dan itu salah satu dari sekian banyak strateginya untuk berkuasa,” jelas Firman.

Maka dari itu, sebelum terlambat, Firman mengajak seluruh masyarakat, khususnya politisi muda yang hadir dalam acara SPM IV SATUNAMA untuk bersama-sama menghilangkan cengkraman oligarki dalam sistem demokrasi Indonesia.

Menurutnya, demokrasi harus dijaga dan dirawat. Kalau tidak akan mengalami pemiskinan makna dan bahkan lambat laun akan mati. Bahkan, bisa terganti oleh demokrasi prosedural, yang mana substansi dan daulat rakyat hilang, tergantikan oleh daulat elit, penguasa, dan oligarki.

Melalui forum SPM IV SATUNAMA ini juga, Firman memberikan beberapa strategi kepada politisi muda untuk memerangi oligarki. Hal itu satu nafas dengan tujuan SPM IV SATUNAMA yang bertujuan untuk membongkar paradoks demokrasi yang menguat pasca-reformasi.

Harapannya, setelah forum ini usai, akan lahir aktor politisi baru di panggung politik Indonesia yang berintegritas dan menjunjung prinsip demokrasi berkat ilmu atau ide yang diajarkan di SPM ini.

Strateginya, menurut Firman adalah peningkatan kualitas pendidikan politik dan pemberdayaan ekonomi rakyat. “Perbaikan regulasi terkait pelembagaan partai dan kualitas lembaga demokrasi juga perlu diperhatikan,” tambahnya.

Selain itu, nilai-nilai dasar demokrasi yang sudah terkikis perlu dilakukan pemeliharaan ulang, yakni dengan penguatan Civil Society dan Rules of Law. “Budaya oligarki politik harus segera dihentikan, sebab, jika tidak, Indonesia akan mengalami demokrasi yang terbajak sehingga keadilan sosial akan sulit terjadi,” pungkas Firman. [Penulis: Haris Setyawan (intern)/ Penyunting: A.K. Perdana/ Foto: Annisa Dani (intern)]

Tinggalkan komentar