Reka Cipta Akal Sehat dalam Kebijakan Publik Pro Rakyat

Satunama.org – Oktober 2020 lalu, pengesahan RUU Omnibus Law Cipta Kerja menjadi Undang-Undang oleh DPR RI mendapat protes keras dari banyak pihak. Ribuan massa yang tersebar di seluruh Indonesia menuntut pemerintah untuk membatalkan kebijakan itu. Pasalnya, UU Omnibus Law Cipta Kerja dinilai merugikan rakyat, baik buruh, lingkungan hidup, dan mengabaikan Hak Asasi Manusia (HAM).

Selain itu, dalam perjalanan proses hingga disahkannya, RUU Omnibus Law dipandang memiliki cacat hukum atau cacat prosedural. Sehingga pengesahan UU Omnibus Law Cipta Kerja dilihat sebagai satu dari sekian banyak kebijakan pemerintah yang dinilai tidak menggubris aspirasi rakyat.

Pengambilan kebijakan yang tidak berpihak kepada rakyat itu ditengarai merusak kehidupan berdemokrasi. Hal itu dapat dilihat dari data yang dikeluarkan oleh Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) pada tahun 2019, yang menunjukkan bahwa dalam aspek kebebasan sipil dan aspirasi pendapat, Indonesia mengalami penurunan 1,26 poin (dari 78,46 menjadi 77,20).

Dalam hal ini, Prof. Drs. Purwo Santoso, M.A., Ph,d., guru besar Departemen Ilmu Politik dan Pemerintahan UGM, mengungkapkan bahwa praktik-praktik yang dilakukan oleh pemerintah dalam public policy itu tidak berdasar pada akal sehat.

“Nyawa dalam public policy adalah soal substansi, untuk memahaminya dibutuhkan suatu kerja analisis. Namun, selama ini kebijakan itu substansinya tidak pernah dianalisis dengan logika akal sehat, melainkan hanya menggunakan akal legal dan teknokrasi yang kurang pro-rakyat,” ujar Purwo Santoso, dalam giat Sekolah Politisi Muda (SPM) IV yang diselenggarakan oleh SATUNAMA, Selasa (24/11/2020). Selain Purwo, hadir juga beberapa peserta politisi muda, yang berasal dari kader partai PDIP, PAN, Golkar, dan PKB dalam agenda kegiatan ini.

Menurut Purwo, kaitannya dengan public policy, kehidupan demokrasi di Indonesia sudah dalam keadaan cacat. Sebab, menurutnya, hakikat demokrasi adalah ranah persoalan publik dan dalam pandangannya, sesuatu yang bersifat kepublikan pasti ada nalarnya. Ironisnya, nalar itu telah dibajak oleh legalitas hukum.

“Jika semua yang dipakai cuma hukum, maka politik hanyalah perjuangan untuk melegalkan keputusan dan inilah yang terjadi dalam demokrasi Indonesia saat ini,” tuturnya.

Lebih dari itu, dalam kacamata Purwo, partai politik nyatanya ikut andil besar dalam memanfaatkan legalitas hukum untuk kuasa. Bahkan, partai politik dalam menyusun kebijakan publik itu tidak melibatkan persoalan ide atau gagasan akal sehat yang berorientasi pada keadilan.

“Partai manapun prioritasnya adalah level pemenangan dan setelah itu tidak ke mana-mana, karena perjuangan idenya itu tidak ada, dan justru dikaburkan oleh cara berpikir legalistik hukum dan teknokratis,” ucap Purwo.

Pada sisi lain, Susanto Dwi Antara, peserta dari PDIP menyampaikan bahwa partai politik memang berkompetisi untuk pemenangan jabatan dan kekuasaan dengan berbagai strategi. “Namun yang saya tekankan, tidak semua partai politik menggunakan legalitas hukum untuk memuluskannya, sebab hal itu tidak semuanya bisa dibuktikan secara jelas,” tambah Susanto sembari menambahkan bahwasannya kebijakan publik yang baik sudah ada dalam masyarakat yang dituangkan bersama ideologi partai. Hanya saja, dalam implikasinya memang masih belum merata dan tidak tersosialisasi dengan baik.

Akan tetapi, meminjam definisi negara menurut Thomas Dye, Purwo lagi-lagi menegaskan bahwa negara itu to do atau not to do demi teratasinya masalah. Ini juga merupakan penggunaan kewenangan pemerintah yang disebut sebagai policy making. Menurutnya, policy making lebih dari sekedar decision making, kebijakan yang not to do tidak membutuhkan legalitas. Dan ini juga policy making yang ada dalam akal sehat.

“Lebih dari sekedar legislasi karena harus mengatasi rasa keadilan, lebih dari sekedar legal drafting dan legalisasi naskah, dan lebih dari sekedar formulasi kebijakan dalam retorika partai,” jelas Purwo.

Sehingga, dalam pandangan Purwo, sudah menjadi sesuatu yang penting bahwa partai politik sebagai mesin kebijakan publik untuk segera menormalkan akal sehatnya. Mengingat, demokrasi yang ada sekarang ini pertarungannya adalah orang dan tubuh tanpa pertarungan ide.

“Maka, perlu dibangun demokrasi yang deliberatif, yakni demokrasi sebagai pertarungan ide dalam akal sehat,” tambahnya. “Normalitas berpikir kritis akal sehat dan berpikir kerakyatan harus diperjuangkan. Dengan demikian, analisis kebijakan akan menjadi sesuatu yang bersifat reflek dan menjadi kebutuhan,” tambahnya lagi.

Lantas, bagaimana mewujudkan kebijakan publik yang berpihak kepada rakyat yang berdasarkan pada akal sehat? Menurut Andika, politisi muda Golkar menyampaikan usulannya untuk mewujudkan kebijakan yang pro-merakyat. Yakni dengan membuat beberapa tim dalam partai; tim untuk menjadikan kader terbaik, tim untuk mengawal kebijakan, dan tim sebagai analisis aspirasi.

“Dalam proses analisis ini, berkaitan dengan agenda setting, harus bisa menghasilkan keputusan yang diugemi karena dipercaya dan masuk akal,” tutur Andika.

Selain itu, diperlukan kelompok lintas partai dan memperkuat kapasitas dalam policy making. Menyepakati pokok gagasan dan aliansi lintas partai merupakan seni. Sembari melampaui ego untuk menang itu, yang penting adalah bagaimana memproduksi pokok bahasan dan perjuangan lintas partai.

Jika partai-partai beraliansi untuk bersama-sama mengawal kepentingan ide rakyat itu tentu akan menjadi sesuatu yang menarik. Dalam hal itu, Sekolah Politisi Muda SATUNAMA dilihat sebagai Purwo sebagai salah satu contoh wadah di mana politisi dari berbagai partai politik yang berbeda dapat bertemu dan saling berinteraksi.

Purwo menambahkannya dengan mengajukan salah satu pandangan dalam studi kebijakan publik, yakni society centric analysis di mana orang partai dan pejuang rakyat duduk bersama, berkompromi, bernegosiasi, dan berkoalisi merumuskan dan merealisasikan kebijakan publik untuk rakyat dengan gagasan atau ide-ide bukan sekedar retorika.

”Sebagus apapun model atau mazhab, yang lebih krusial adalah analisis sosial yang memerlukan kebijaksanaan berdasarkan logika akal sehat bagi para pembuat kebijakan,” pungkasnya. [Penulis : Haris Setyawan (Intern)/Penyunting: A.K. Perdana/Foto : Haris Setyawan]

Tinggalkan komentar