Penghayat Membaca dan Memetik Indonesia

Satunama.org – Memetik Indonesia dari I-N-D-O-N-E-S-I-A dapat ditemukan dalam Masnawi: Kisah- Kisah Fantastis dari Persia karangan Jalaludin Rumi. Lalu digubah kembali “Bagaimana Memetik Indonesia dari I-N-D-O-N-E-S-I-A?” oleh Leila Chudori dalam novel “Pulang” yang menceritakan bagaimana perjalanan seorang tokoh menemukan identitas ke- Indonesiaannya. Narasi membaca dan memetik Indonesia menjadi penting dibahas untuk terus meningkatkan realitas kemajemukan dan kompleksitas identitas di masyarakat Indonesia.

Mengenal dan menjadikan Indonesia sebagai bagian dari identitas merupakan sebuah proses transformatif yang kaya imajinasi. Sebuah bangsa dibentuk melalui imajinasi sekolompok orang yang memiliki ikatan, yang kemudian membentuk identitas bangsa. Sampai disini, harus dimaknai bahwa identitas bangsa Indonesia tidak tunggal. Ia disusun atas ikatan-ikatan yang terserak, yang punya imajinasi menjadi satu bangsa, dan oleh karenanya keberagaman menjadi keniscayaan.

Indonesia seperti rumah, tidak hanya dihuni satu etnis dan suku, termasuk agama masyarakatnya. Dalam konteks ini, yang sering diabaikan adalah keberadaan penganut agama lokal atau penghayat kepercayaan yang ada di seluruh Nusantara. Jika bicara idealitas, semestinya keberadaan penganut agama lokal dan penghayat kepercayaan diakui penuh oleh Negara.

Mereka, sebagai pelaku tradisi dan pewaris budaya telah banyak menghidupi dan mengamalkan Pancasila, tanpa hingar bingar. Namun begitu, perjalanan menuju Indonesia yang utuh harus disadari tidaklah mudah, penuh liku, berbukit-bukit, dengan rute yang panjang dan menantang.

Menjadi Indonesia adalah Kesadaran

Menurut Noor Sudiyati seorang Penghayat Hardo Pusoro, perjalanan menuju Indonesia yang utuh harus diawali dengan pendidikan yang mampu menampilkan Indonesia sebagai realitas beragam. Pendidikan harusnya mampu membuka wawasan dan mengubah persepsi yang selama ini tertanam di masyarakat.

Noor menyinggung bagaimana pendidikan seharusnya kontekstual dengan kodrat sang manusia. Untuk beberapa wilayah, pendidikan tidak bisa dilepaskan dari kemampuan anak membangun pemaknaan holistik mengenai relasi lingkungan sosial dan alamnya. Anak-anak masyarakat adat misalnya, tentu akan sangat berbeda dengan lingkungan anak-anak di perkotaan. Demikian pun di perkotaan, anak-anak harus tahu dan sadar bahwa identitas Indonesia itu sangat beragam: kelas sosial, agama dan kepercayaan, serta tradisi yang dibawa masing-masing.

Bagi Argo Twikromo, menjadi Indonesia sepenuhnya berati ikut merangkul dan melibatkan warga penghayat kepercayaan dengan utuh dalam relasi kewargaan. Harus ada pengakuan, harus ada perubahan dalam penerimaan mayoritas. Agama- agama mayoritas harus terlibat  dalam upaya merangkul dan menjadikan penghayat kepercayaan/ agama leluhur sebagai bagian dari perjalanan menjadi Indonesia. “Tantangannya ke depan adalah untuk menjaga keharmonisan Indonesia dan bagaimana cara kita merengkul mereka, sehingga para penganut agama lokal ini merasa utuh menjadi Indonesia juga” ujar Argo. [Puti Ayu/Valerianus Jehanu/SATUNAMA]

Tinggalkan komentar