Kemandirian Sosial Warga Marapu di Sumba

Satunama.org – Sumba merupakan sebuah pulau di provinsi Nusa Tenggara Timur yang memiliki kekayaan entitas Marapu. Marapu tidak hanya merupakan sebuah kepercayaan lokal, namun juga merupakan nafas dari berbagai aspek kehidupan masyarakat Sumba sejak bergenerasi-generasi sebelumnya.

SATUNAMA memiliki pengalaman bekerja sejak tahun 2015 bersama masyarakat Marapu di empat kabupaten Pulau Sumba, yaitu Sumba Barat Daya, Sumba Barat, Sumba Tengah dan Sumba Timur. Upaya untuk mengangkat martabat orang-orang Marapu sebagai anggota masyarakat Indonesia yang diakui secara legal sekaligus menyediakan akses terhadap ruang-ruang hak sipil mereka yang selama ini tidak optimal menjadi titik fokus kerjasama yang dilakukan.

Kekuatan utama Marapu sesungguhnya berasal dari keterpaduan unsur kehidupan, yaitu Tuhan, alam dan manusia. Cerita ini mengalir dituturkan oleh Pater Mike Keraf dari Yayasan Pengembangan Kemanusiaan Donders di Sumba Barat Day sebagai salah satu narasumber dalam gelaran Webinar Peduli “Belajar Kemandirian Sosial dari Masyarakat Adat dan Kepercayaan Lokal” yang diadakan oleh SATUNAMA.

Tema kearifan masyarakat adat dan kepercayaan lokal perlu diangkat ke permukaan sebagai bagian dari upaya menginspirasi banyak masyarakat lainnya. Ide dasarnya adalah menggaungkan semangat kemandirian yang harus terus dilanjutkan. Konsep inilah yang kuat di masyarakat adat. Mekanisme sosial maupun budaya yang dikembangkan untuk situasi saat ini perlu didorong dan digelorakan agar kemandirian sosial dan pangan dapat terjaga.

Webinar ini sendiri diikuti oleh 88 peserta dari berbagai kalangan secara daring pada Kamis, 30 April 2020, pukul 10.00-13.00 WIB. Webinar dipandu oleh moderator milenial nan handal Valerianus Jehanu, Staf Unit kebebasan Beragama dan Berkepercayaan yang juga merupakan staf Program Peduli SATUNAMA.

Hutan dan Pantai yang Disucikan

Pater Mike memulai ceritanya dengan menjelaskan konsep Umah dalam perspektif orang Sumba. Umah atau rumah yang sejatinya merupakan sebuah bangunan fisik, tidak dibangun secara sembarangan oleh orang-orang Marapu. Dalam membangun umah, mereka mempertimbangkan beberapa unsur holistik yang saling terkait yaitu Tuhan, manusia serta alam.

Dalam penjelasan lebih detil, Pater Mike membagi elemen holistik integratif ini menjadi beberapa bagian, yaitu Wujud Tertinggi, Marapu atau leluhur suci, alam semesta, sesama dan diri sendiri. “Untuk berhubungan dengan Wujud Tertinggi, kita membutuhkan perantara-perantara suci. Bagi orang-orang Sumba, perantara suci yang pertama adalah para leluhur yang memahami segala kebutuhan mereka.” Katanya.

Maka ketika sebuah umah hendak dibangun, keterlibatan para leluhur menjadi tidak terelakkan. Tujuannya adalah untuk menyampaikan doa dan permohonan agar pembangunan umah tersebut dapat berjalan baik dan sesuai dengan arahan para leluhur. Karena sebuah rumah bagi orang Sumba adalah sebuah sarana hidup yang fundamental secara jasmaniah maupun rohaniah.

“Keselarasan, harmoni, ini menjadi hal-hal yang selalu dihitung dengan cermat ketika orang mau membangun rumah.” Ujar Pater Mike seraya menjelaskan beberapa hal filosofis terkait umah orang Sumba. Misalnya, terdapat pintu yang berhubungan dengan permohonan kepada Yang Maha Kuasa. Kemudian ada pintu yang berkaitan dengan kemakmuran. Juga ada lumbung suci yang digunakan untuk menyimpan padi sebagai sumber pangan maupun untuk persembahan dalam ritual-ritual.

Keluar dari umah, orang Sumba memiliki kebun yang menjadi tempat bekerja mereka. Adat yang berlaku dalam mengelola kebun juga tidak lepas dari berbagai pertimbangan keterkaitan dengan Tuhan, alam dan sesama manusia.

“Orang Sumba sangat menghormati setiap benih yang ditanam. Baik itu padi, jagung atau apapun. Pengelolaannya berdasarkan pada inter-korelasi mereka dengan elemen-elemen di seluruh alam, keterkaitan antar subyek.” Jelas Pater Mike.

Ketika seseorang hendak membuka lahan kebun baru misalnya, dia terikat dengan berbagai prinsip yang berlaku dalam kehidupan orang Marapu. ”Tidak bisa sesukanya menebang pohon, membakar hutan dan sebagainya. Melainkan ada ritualnya ada doanya ada caranya.” Kata Pater Mike.

Pun demikian dengan hutan. Di Sumba terdapat hutan yang disebut sebagai hutan keramat atau hutan suci. Ini merupakan hutan yang disucikan dan dijaga dengan baik. “Misalnya ada tindakan pembalakan liar atau peracunan tanah di hutan itu, warga akan langsung bertindak mencari solusi untuk mensucikan kembali hutan tersebut.” Jelas Pater Mike.

Hutan-hutan suci Sumba salah satunya terletak di Wanggameti. Dari hutan ini masyarakat dapat mengambil sumber daya alam yang ada untuk berbagai keperluan, misalnya untuk meracik obat-obatan.

“Hutan ini menjadi semacam lumbung alam. Jadi kalau mereka kehabisan bahan pangan di rumah, mereka dapat ke hutan ini, meminta izin kepada suku yang menjaga hutan dan kemudian bisa mengambil apa yang menjadi kebutuhan mereka secukupnya.” Demikian cerita Pater Mike.

Hutan di Wanggameti adalah hutan lindung yang memberikan kontribusi aliran air kepada berbagai sungai yang ada di Sumba. Pater Mike menyebut bahwa kata “Wanggameti” sendiri memiliki makna mengusir kematian. “Di wilayah itu sumber makanan dan airnya berlimpah, sehingga dapat menjamin keberlangsungan kehidupan.” Ujar beliau.

Sementara terkait laut dan pantai yang juga menjadi elemen alam yang dominan di Sumba, masyarakat di sana sudah sejak lama memiliki keterikatan alami dengan laut dan pantai. Pater Mike menjelaskan bahwa hampir seluruh suku di Sumba memiliki narasi-narasi suci tentang ikan, laut, muara dan berbagai elemen laut.

“Tujuannya agar ikan dan binatang laut lainnya tidak ditangkap atau dibunuh sembarangan. Hal ini juga berlaku untuk binatang-binatang yang ada di darat.”

Pengeramatan wilayah pantai dilakukan misalnya di wilayah Kodi, Sumba Barat Daya. Di sana ada pengeramatan wilayah pantai selama tiga bulan, agar pantai dan seisinya dapat kembali pulih setelah sebelumnya hasilnya diambil oleh manusia.

Dasar filosofis dari pengeramatan-pengeramatan ini adalah bahwa setiap elemen bumi memiliki ikatan dengan yang Maha Kuasa, sehingga manusia juga harus merawatnya dengan baik. 

Kemandirian Pangan Masyarakat Sumba

Karena memperlakukan hutan dan air dengan cara yang suci, maka orang Sumba juga memandang semua makanan dan minuman adalah hal-hal yang suci. Menurut Pater Mike, di antara yang suci-suci tersebut terdapat satu yang bernilai paling tinggi yaitu padi. Maka padi sangat dijaga.

Bahan lain yang juga dijaga adalah sirih dan pinang. Penjelasan filosofis Pater Mike terkait padi sebagai bahan pangan bagi masyarakat Sumba pada dasarnya adalah fondasi bagi kemandirian pangan masyarakat Sumba.

“Padi tidak bisa dibiarkan berceceran, tidak boleh dibuang sembarangan. Padi dipersembahkan kepada yang Maha Kuasa, kemudian dibagi kepada anggota keluarga dan juga kepada masyarakat sekitar. Dengan filosofi ini mereka membangun kemandirian pangan. Ini yang kami sebut dengan narasi kemandirian pangan yang harus terus dijaga.” Paparnya.

Hal ini yang juga nampak saat dunia sedang dilanda pandemi Covid-19. Masyarakat Sumba saling bahu membahu salah satunya dalam konteks pangan. “Solidaritas di kampung-kampung sangat kuat. Memanen bersama, berbagai kepada sesama itu sudah sangat kuat dan menjadi kebiasaan mereka sejak lama.” Pater Mike menutup paparannya. [Ariwan Perdana/SATUNAMA]

Satu pemikiran pada “Kemandirian Sosial Warga Marapu di Sumba”

Tinggalkan komentar