Pelatihan Paralegal untuk Keadilan dan Keberagaman

Sistem politik demokrasi di Indonesia dikelola berdasar hukum. Cita negara hukum jelas termaktub dalam konstitusi.[1] Terma negara hukum (rechstaat) secara konseptual erat dengan perkembangan historis pengelolaan pemerintahan di negara-negara besar dunia, khususnya menggugat esksistensi konsep negara kekuasaan (machstaat) yang sangat erat dengan absolutism raja sebagai pembuat hukum di suatu negara.

Adalah Albert Venn Dicey (selanjutnya disebut AV Dicey) yang mengajukan kritik untuk mengurangi absolutism raja dalam negara dan secara khusus menggagas bentuk negara hukum. Tesis AV Dicey mengatakan bahwa ada tiga ciri negara hukum[2] yakni supremasi hukum (supremacy of law) yang artinya hukum sebagai konsesus bersama harus berdiri di atas segala kepentingan penyelenggaraan negara, tidak lagi boleh ada kesewenang-wenangan dan privilege untuk mengesampingkan hukum. Kedua, penegasan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia melalui konstitusi dan putusan pengadilan. Ketiga, dan yang sangat berkaitan dengan ide kegiatan ini adalah kedudukan yang sama di depan hukum (equality before the law). Teori Dicey kemudian disambut dan dikembangkan oleh pemikir-pemikir setelahnya. Syarat negara hukum dikembangkan menjadi sangat beragam misalnya dengan ide pembagian dan pemisahan kekuasaan dan lainnya.

Prinsip persamaan kedudukan di depan hukum (equality before the law) mengandung konsekuensi bahwa siapapun di negara ini, tanpa memandang kedudukan sosialnya, wajib diperlakukan sama dan setara di hadapan hukum. Dapat dihukum dan memperoleh bantuan hukum jika melanggar. Secara konstitusional setiap orang memiliki hak untuk mendapatkan bantuan hukum (the right of legal access). Jaminan konstitusional mengenai persamaan di hadapan hukum diatur sebagai hak asasi manusia.[3] Perlakuan yang sama dan perlindungan dari perlakuan yang bersifat diskriminatif, khususnya ketika berhadapan dengan hukum dipertegas oleh Undang-Undang  Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum.

Bantuan hukum sendiri adalah jasa hukum yang diberikan oleh pemberi bantuan hukum secara cuma-cuma (pro bono) kepada penerima bantuan hukum. Bantuan hukum pro bono ini menjadi konsekuensi logis dari dianutnya prinsip non diskriminatif dalam hukum. Artinya, siapapun yang berhadapan dengan hukum berhak untuk memperoleh bantuan hukum sebelum diputus bersalah melalui putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Seseorang bisa saja diajukan ke pengadilan sebagai tersangka, namun belum tentu ia bersalah dan melanggar hukum. Dengan asumsi praduga tidak bersalah itulah siapapun berhak untuk didampingi dan memperoleh bantuan hukum.

Bantuan hukum dapat diberikan oleh organisasi advokat dan paralegal. Mengenai paralegal secara khusus diatur dalam Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 01 Tahun 2018 tentang Paralegal dalam Pemberian Bantuan Hukum. Berbeda dengan advokat, paralegal bukanlah sarjana hukum tetapi dapat memberikan bantuan hukum setelah mendapatkan pelatihan dari pemberi bantuan hukum tempatnya bekerja. Perbedaan lainnya juga dalam ruang lingkup layanan. Paralegal terbatas mewakili, mendampingi dan menjalankan kuasa, juga memberikan pembelaan atau tindakan hukum lain di luar sidang pengadilan. Undang Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat menegaskan bahwa bantuan hukum di sidang pengadilan hanya dapat dilakukan oleh profesi advokat.

Untuk konteks Indonesia, eksistensi paralegal masih sangat dibutuhkan. Pertama, paralegal dapat menjadi alternatif perangkat untuk mengisi jarak antara orang-orang tidak beruntung dengan informasi dan layanan hukum yang dibutuhkan sebagai hak setiap warga negara. Kedua, jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 265 Juta Jiwa pada tahun 2018 membutuhkan proporsi berimbang untuk memastikan ketersediaan layanan dan akses terhadap persoalan hukum. Ketiga, problem kebangsaan menuntut semakin banyak partisipasi warga negara untuk terlibat memastikan pengamalan keadilan bagi seluruh warga negara. Bersama kita ketahui bahwa fenomena politik identitas yang mengeras, dan ancaman persekusi terhadap minoritas mengalami trend meningkat seiring mengerasnya dinamika politik elektoral. Terakhir, kasus Meliana di Tanjung Balai yang divonis bersalah hanya karena mengeluhkan suara adzan menjadi perhatian kita bersama. Artinya, di tengah masyarakat yang plural, justru memastikan keadilan menemui tantangannya.

Tentu saja apa yang terjadi pada Meliana, juga pada penyintas lainnya sangat mungkin terjadi pada siapapun dan kapanpun. Memang harus diakui problem ini juga turut disumbang oleh masih eksisnya regulasi bercorak diskriminatif. Namun demikian, bukan berarti masyarakat luas tidak punya pilihan. Lewat paralegal, siapapun yang memiliki concern bisa mengambil peran untuk ikut mengawal tegaknya keadilan di Indonesia. Memperbanyak jaringan paralegal artinya mendekatkan jarak ketidaktahuan akan hukum, bahkan mendekatkan potensi mengalami ketidakadilan bagi kelompok minoritas yang cenderung tidak diuntungkan leh situasi sosial politik yang menang-menangan.

Ada banyak hal yang dapat dilakukan melalui paralegal: melakukan Pendidikan hukum, melakukan Analisa sosial, pengawasan peradilan, pendampingan kasus, bantuan hukum, membangun jaringan kerja advokasi dan pendokumentasian kasus. Pada akhirnya, paralegal adalah sebuah tawaran bagi siapapun untuk hadir menjadi mitra, menjadi teman seperjuangan bagi mereka yang marjinal dan mengalami ketidakadilan.

Materi

  1. Struktur Masyarkat Indonesia (relasi kelas, gender, minoritas, keberagaman dan kelompok rentan)
  2. Sistem Hukum Indonesia
  3. HAM dan Demokrasi
  4. Pengenalan Bantuan Hukum di Indonesia
  5. Analisa Sosial
  6. Pengorganisasian Komunitas
  7. Dasar dan Prinsip Paralegal
  8. Menyusun Kerangka Kerja Advokasi

Fasilitator
Tim Fasilitator SATUNAMA

Pelaksanaan
25 – 27 Februari 2020
Balai Pelatihan SATUNAMA
Jl. Sambisari No. 99 Duwet Sendangadi Mlati Sleman
Daerah Istimewa Yogyakarta

Informasi & Pendaftaran
training@satunama.org
082226887110
……………………

Referensi
[1] Lihat Pasal 1 ayat (3) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 “Indonesia adalah Negara Hukum”

[2] Lihat AV Dicey dalam Introduction to The Study of The Law of The Constitution, London, Macmillan and Co.Limited, 1952

[3] Lihat Pasal 28D ayat (1) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”.

Tinggalkan komentar