Remaja Butuh Ketahanan Diri Hadapi Depresi

Kesehatan jiwa hari ini menjadi masalah global khususnya jika dikaitkan dengan populasi anak dan remaja. UNICEF (2011) menyebutkan bahwa ada peningkatan gangguan jiwa di usia remaja dalam 20-30 tahun terakhir. Setidaknya ada 10-20 % anak dan remaja yang mengalami gangguan jjiwa di seluruh dunia. Kebanyakan gejala gangguan jiwa muncul di usia muda usia 12-24 Tahun.

Untuk wilayah Indonesia sendiri, fenomena gangguan jiwa sejak remaja juga tidak bisa dianggap sepele. Sekitar 21,8% orang Indonesia usia 15 tahun ke atas dilaporkan memiliki gejala depresi dari moderat ke tinggi.

Permasalahannya tidak hanya di sektor kesehatan tapi juga faktor ekonomi, sosial dan sebagainya. Sangat multi sektor. Maka pendekatan penanganannya juga harus multi sektor. Tidak bisa hanya didekati dengan isu kesehatan saja.

Demikian data dan fakta yang diungkapkan oleh Benny Prawira dari Into The Light Indonesia dalam salah satu sesi Seminar Hari Kesehatan Mental Sinergi untuk Edukasi dan Pencegahan Bunuh Diri yang dihelat oleh SATUNAMA pada Selasa, 22 Oktober 2019.

Berkaitan dengan Bunuh Diri.

Dalam forum seminar diuraikan juga bahwa permasalahan gangguan jiwa ini berhubungan dengan kecenderungan bunuh diri yang juga merupakan fenomena yang butuh direspon secara lebih komprehensif.

Benny menunjukkan data bahwa terdapat rata-rata 800.000 orang meninggal bunuh diri setiap tahun di seluruh dunia. Yang tidak bisa dipandang sebelah mata adalah bawah diperkirakan terdapat 71.000 kematian bunuh diri berasal dari usia remaja.

Angka bunuh diri di Indonesia sendiri tergolong cukup tinggi di Asia Tenggara. Remaja menjadi kelompok bereriko tinggi bunuh diri di Indonesia. Yaitu 3,6 per 100.000.

“Kami mendapat data bahwa ada 5% remaja yang berpikir bunuh diri, 6% telah merencanakan bunuh diri, dan 4% pernah mencoba bunuh diri. Ini tentu bukan angka yang menggembirakan.” Kata Benny.

Lebih jauh, Benny memaparkan  bahwa kalangan siswa dan mahasiswa menjadi kelompok resiko tinggi bunuh diri di Indonesia. 4,2% siswa di Indonesia pernah berpikir bunuh diri. Sementara di kalangan mahasiswa, 6.9 % mahasiswa pernah berpikir bunuh diri, Sementara 3% mahasiswa pernah mencoba bunuh diri.

“Kami justru jarang sekali mendapat laporan tentang bunuh diri di kalangan anak dan remaja jalanan misalnya. Justru dari kalangan siswa dan mahasiswa angka-angka itu muncul.” ujar Benny lagi.

Masalah yang umumnya menjadi faktor penyebab anak dan remaja berpikir melakukan bunuh diri antara lain kekerasan seksual masa kanak-kanak, depresi, kekerasan fisik yang dialami, hingga ke persoalan mengalami kinerja akademik yang rendah di kampus atau sekolah.

“Pencegahan perundungan (bullying) misalnya. Itu menjadi salah satu cara pencegahan bunuh diri, karena perundungan adalah salah satu faktor peemicu bunuh diri.” Tambah Benny.

Membangun Dukungan Eksternal.

Oleh karenanya, resiliensi atau ketahanan terhadap kecenderungan bunuh diri menjadi sektor penting yang layak mendapat perhatian serius. Faktor internal dan eksternal cukup memgang peranan dalam membangun ketahanan seseorang dalam menghadapi berbagai permasalahan dalam dirinya. Benny menyebut bahwa faktor eksternal harus dibangun oleh orang-orang terdekat.

“Orang harus mau peduli dengan sekitarnya. Seseorang yang mengalami tekanan dalam hidupnya butuh kehadiran orang lain yang bisa memahami permasalahannya dan mau menjadi pendengar yang baik. Kebersamaan yang menguatkan itu harus dibangun. Sehingga tidak ada orang yang merasa sendirian menjalani hidupnya.” Tutur Benny.

Selain itu, faktor stigma yang muncul terhadap ODGJ atau orang yang sedang mengalami tekanan hidup juga tdak boleh diabaikan. Jika dibiarkan, stigma dapat semakin memberatkan beban orang yang sedang mengalami tekanan. Upaya untuk mengurangi faktor resiko dan meningkatkan faktor pelindung harus dilakukan, agar orang tidak berpikir untuk mengakhiri hidupnya.

“Kita bisa membuat jejaring pengaman atau SOP untuk mencegah orang bunuh diri. Dan yang terpenting, hapus stigma negatif dan diskriminasi terhadap ODGJ dari level masyarakat hingga level kebijakan dan pelayanan pemerintah yang belum sepenuhnya mendukung. Misalnya, belum ada anggaran yang dapat mencegah orang untuk bunuh diri.” Jelas Benny seraya menambahkan bahwa bunuh dri sangat bisa dicegah.

“Bunuh diri itu bukan pilihan. Itu hanya proses ketidakseimbangan kimiawi dalam tubuh, sehingga orang tidak bisa melihat opsi lain ketika menghadapi permasalahan dalam hidup. Padahal solusi permasalahan selalu ada.” Tutup Benny. [Berita : A.K. Perdana / Foto : Oka Gualbertus ]

Tinggalkan komentar