Menanti Perppu KPK

Hari-hari ini publik masih menanti rekayasa konstitusional apa yang bisa dilakukan untuk membawa KPK kembali kuat seperti disuarakan gelombang unjuk rasa hari-hari terakhir ini. Adalah keliru ketika memandang bahwa demonstrasi yang dilakukan Mahasiswa sebagai langkah inkonstitusional, dan kalah bermartabat dengan 18 Mahasiswa yang mengajukan judicial review di Mahkamah Konstitusi (MK).

Keduanya konstitusional dan punya derajat martabat yang sama. Demonstrasi sebagai bagian dari kebebasan berpendapat dijamin oleh Konstitusi, dan tegas diatur sebagai hak sipil dan politik warga negara. Konsep ini ada dalam konteks law making process. Publik boleh menuntut keterlibatan dan mendesak agar sebuah Undang-Undang disahkan atau tidak disahkan.

Pertanyaan yang mengemuka kemudian adalah apakah satu-satunya jalan hanya dengan menanti hasil judicial review yang tengah diajukan. Jika iya, lalu apakah MK bisa menguji Undang-Undang KPK hasil revisi, sementara Presiden belum menandatangani dan belum memenuhi ketentuan 30 hari sejak tanggal ditetapkan untuk diundangkan. Ada dua pilihan selain judicial review yang juga bisa dilakukan sebagai upaya perbaikan.

Legislative Review dan Perppu

Pilihan pertama adalah legislative review. Artinya, Presiden dan DPR bisa mengubah sendiri UU KPK hasil revisi melalui proses pembentukan Undang-Undang yang baru. Pilihan ini relevan dalam keadaan urgensi nasional karena dimungkinkan oleh ketentuan Pasal 23 ayat (2) UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang menyebutkan bahwa DPR dan Presiden dapat mengajukan RUU di luar Prolegnas.

Pasal ini pulalah yang digunakan untuk membahas revisi UU KPK dalam kurun waktu 12 hari saja tanpa melalui Prolegnas. Namun pilihan ini sulit diterapkan mengingat DPR periode ini belum memiliki alat kelengkapan dewan. Dengan demikian butuh waktu masa sidang berikutnya untuk Presiden membahasnya bersama dengan DPR.

Sementara Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) adalah pilihan yang paling relevan untuk diambil Presiden. Ada dua alasan. Pertama, Perppu merupakan jenis peraturan perundang-undangan yang mutlak hak prerogatif Presiden. Secara konsep, Perppu tidak bisa dilepaskan dari konsep “the souvereign executive” yang melekat pada Presiden. The souvereign executive inilah yang sebenarnya merupakan pemegang kekuasaan untuk mengecualikan berlakunya hukum yang biasa (ordinary laws)

Arjun Appadorai berpendapat bahwa konsep “single executive” ini sangat penting dalam sistem Presidensiil manakala Presiden yang dipilih langsung oleh rakyat diperhadapkan dengan situasi krisis,  sehingga diberi wewenang untuk menjalankan independent power dan inhernt power. Sebagai kewenangan yang konstitusional, seharusnya Presiden tidak perlu ragu, apalagi ragu bahwa ini berdampak bagi kelangsungan kekuasaannya.

Alasan kedua, Perppu KPK memenuhi kriteria hal ihwal yang genting dan memaksa. Pasal 22 UUD NRI 1945 menyebutkan Perppu bisa ditetapkan Presiden dalam hal kegentingan yang memaksa. Tafsir keadaan genting dan memaksa ini kemudian mengacu pada Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009 yaitu adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang, namun Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum ataupun ada tetapi kurang memadai, dan kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan membuat Undang-Undang melalui prosedur biasa.

UU KPK hasil revisi secara terang benderang akan menimbulkan kekosongan hukum. Ambil contoh soal batas usia komisioner KPK dalam UU KPK hasil revisi yang harus berusia minimal 50 tahun. Sementara Nurul Ghufron, salah satu dari Pimpinan KPK terpilih usianya belum 50 tahun. UU KPK hasil revisi juga tidak mengatur ketentuan peralihan, padahal fungsi ketentuan peralihan menurut Pasal 127 UU 12/2011 salah satunya adalah menghindari terjadinya kekosongan hukum.

Dua alasan ini cukup untuk menjawab kesimpangsiuran apakah dengan menerbitkan Perppu KPK kemudian Jokowi berpotensi dilengserkan. Secara hukum, pemberhentian Presiden atau impeachment tidak mungkin terjadi jika tidak memenuhi ketentuan Pasal 7B UUD NRI 1945. Pertama, harus ada usul pemberhentian oleh DPR.

Kedua, usul itu diajukan kepada MPR dengan terlebih dahulu meminta MK memeriksa, mengadili dan memutus pendapat DPR bahwa Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau Presiden tidak lagi memenuhi syarat.

Hal yang berbeda dengan Presiden Gus Dur di tahun 2001. Pada masa itu Gus Dur diberhentikan melalui proses politik di MPR karena belum lahir perubahan ketiga UUD NRI 1945 yang memasukkan Pasal 7B dan Pasal 24C tentang MK dalam UUD NRI 1945.

Pertanyaan berikutnya adalah kapan sebaiknya Perppu dikeluarkan. Ketentuan peraturan perundangan tidak ada yang mengatur kapan Perppu dikeluarkan. Pasal 22 ayat (2) UUD NRI 1945 hanya menyebutkan bahwa Perppu harus mendapat persetujuan DPR dalam persidangan yang berikutnya.

Menjawab pertanyaan ini jika hanya menggunakan ukuran mendesak maka sebenarnya Undang-Undang juga bisa dibahas dalam keadaan mendesak, sebagaimana dikemukakan sebelumnya bahwa ketentuan Pasal 23 UU 12/2011 memungkinkan Presiden bersama DPR membahas Undang-Undang yang menjawab urgensi nasional. Maka pembedanya bukan pada soal mendesaknya, tetapi soal dengan siapa Presiden menjawab kemendesakan itu.

Karena Perppu itu dikeluarkan oleh Presiden sendiri, maka secara konseptual sebenarnya Perppu dibuat ketika Presiden tidak punya “mitra” untuk menjawab keadaan yang mendesak itu. Konkritnya adalah ketika DPR sedang tidak bersidang (reses).

Keadaan dimana DPR sedang tidak bersidang atau reses ini kemudian juga perlu dimaknai konteksnya. Hari ini ketika DPR periode 2019-2024 baru dilantik sebenarnya juga masuk dalam klasifikasi ini. Mengapa demikian, karena sekalipun ada serangkaian agenda untuk bersidang akan tetapi DPR periode ini belum memiliki alat kelengkapan dewan yang memadai untuk diajak Presiden membentuk sebuah Undang-Undang yang menjawab kemendesakan tadi.

Walaupun praktik ketatanegaraan menunjukkan bahwa sah saja Perppu dikeluarkan Presiden pada saat DPR sedang dalam masa sidang. Perppu Nomor 1/2013 tentang MK pada jaman Presiden SBY dan Perppu Nomor 2/2017 tentang Ormas pada jaman Presiden Jokowi adalah dua contoh diantaranya.

Judicial Review

Pilihan ketiga adalah melalui pengujian undang-undang di MK. Timbul perdebatan, apakah bisa mengingat UU KPK hasil revisi belum ada nomornya. Menjawab ini, hukum acara MK memberi ruang untuk itu. Putusan MK Nomor 16/PUU-XVI/2018 yang menguji UU Nomor 2/2018 tentang MD3 adalah preseden bahwa MK bisa memeriksa UU yang telah disepakati bersama Presiden dan DPR meskipun belum ada nomornya.

Pasalnya, saat ini menguat desakan agar Perppu KPK segera diterbitkan oleh Presiden. Sementara judicial review juga tengah dilakukan. Bilamana dalam proses di MK kemudian dikeluarkan Perppu dengan materi muatan yang sama, maka gugatan akan kehilangan objeknya.

Sebaliknya jika Presiden tetap tidak mengeluarkan Perppu, maka sebenarnya harapan rakyat dengan sendirinya berpindah, bukan lagi pada Presiden, melainkan pada Hakim MK sebagai penjaga konstitusi, walaupun belum tentu juga Putusan MK akan menyatakan UU KPK hasil revisi inkonstitusional. Perlu diingat bahwa MK juga punya keterbatasan sebagai negative legislator. MK hanya akan menyatakan apakah pasal-pasal yang diuji bertentangan atau tidak dengan UUD NRI 1945.

Presiden Jokowi berada di persimpangan. Ketiga pilihan tadi sama-sama konstitusional. Bedanya, pilihan legislative review dan menerbitkan Perppu memberi ruang bagi Presiden sebagai representasi daulat rakyat untuk berbuat sesuatu. Jalan di MK adalah jalan yang di luar kendali Presiden.

Jalan di MK adalah perjuangan rakyat sendiri untuk menyelamatkan KPK. Saat ini tinggal pilihan Presiden. Kewibaan Presiden justru dipertaruhkan bukan dari seberapa gigih ia mempertahankan keputusannya, tetapi seberapa konkret ia menjawab suara rakyat. []

Valerianus B. Jehanu
Unit Kebebasan Beragama Berkeyakinan dan Inklusi Sosial
Yayasan SATUNAMA Yogyakarta
Mahasiswa Program Magister Hukum Kenegaraan
Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta

Ilustrasi : Merdeka.com

Tinggalkan komentar