Generasi Y dan Z dalam Tren Mahadata

Kemunculan teknologi komunikasi dan informasi internet yang memfanakan sekat-sekat ruang fisik dalam berkomunikasi telah mengubah banyak hal dalam kehidupan tak terkecuali pola dan gaya bekerja manusia. Pola dan gaya bekerja yang tadinya kental dengan pertemuan langsung mulai berubah menjadi pertemuan tidak langsung melalui medium perangkat digital dalam aktivitas pekerjaan. Kita memasuki era di mana pola relasi kerja tidak lagi bersifat konvensional.

Pemaknaan entitas kantor juga mulai bergeser dari kantor fisik di mana para pekerja sebuah perusahaan bekerja bersama, menjadi kantor virtual di mana pengaturan operasional dan fungsional dilakukan dengan menggunakan teknologi komputer seperti PC, laptop, ponsel dan terutama akses internet yang memungkinkan orang-orang untuk bekerja dari mana pun (virtual).

Maraknya gaya kerja virtual ini bahkan telah memunculkan sebutan perantau digital (Digital Nomad). Mohn (2014) menyebutkan bahwa perantau digital adalah orang-orang yang melakukan pekerjaan mereka menggunakan teknologi digital dan dapat bekerja di mana saja (dalam Mouratidis, 2018). Gaya bekerja virtual kebanyakan dilakoni oleh para pekerja kerah putih (white collar) yang memiliki keterampilan khusus atau spesialis dalam bidang pekerjaan tertentu.

Generasi Muda dan Dunia Kerja Digital

Kondisi di atas membuat angkatan kerja Generasi Y (generasi milenial) -dan juga Generasi Z (Gen Z) yang sebagian kecil mulai menapaki dunia kerja- memiliki lebih banyak pilihan dalam karir pekerjaan, khususnya yang berbasiskan internet. Berbagai profesi independen dilakoni oleh mereka seperti vlogger, desainer, programmer, researcher, filmmaker, content creator bahkan gamer. Sebagian lainnya memilih menjadi profesional mandiri dalam sektor wirausaha digital.

Kecenderungan tersebut muncul karena babarapa hal. Pertama, Milenial dan Gen Z hampir mustahil dilepaskan dari teknologi komunikasi dan informasi digital. Tumbuh dalam keluasan komunikasi dan keleluasaan informasi membuat mereka merasa percaya diri dan dapat menjalani hidup secara mandiri.

Kedua, dalam konteks pekerjaan, merasakan pengalaman kerja yang dinamis dan mencari pengetahuan baru menjadi sesuatu yang dicari. Hal tersebut didorong oleh gairah mereka akan pengembangan kapasitas diri yang cukup besar.[1]

Ketiga, kemampuan memproduksi gagasan yang dikonversi menjadi karya, produk atau layanan baru atau inovatif serta bermanfaat menjadi tantangan bagi pekerja anak muda saat ini. Terlebih pekerjaan yang membutuhkan gagasan dan kreatifitas memang semakin dibutuhkan.

Dalam konteks itulah angkatan kerja muda saat ini memiliki peluang dalam mengembangkan diri. Selain melalui pendidikan formal, keterampilan berbasis skil dapat dikembangkan melalui pendidikan non formal berbasis skil. Misalnya melalui pelatihan atau kursus spesialis yang yang tidak hanya mengajarkan skil, namun juga menanamkan nilai-nilai yang suportif.

Sarana ini dapat mengembangkan kapasitas mereka dalam ranah isu atau pekerjaan tertentu. Mereka dapat semakin mempertajam olah pikir (gagasan dan pengetahuan), olah rasa (sikap) dan olah keterampilan (implementasi) dalam ranah pekerjaan yang sesuai kompetensinya. Ekspertisi pada akhirnya menjadi ujung dari pendidikan skil yang dilakoni.

Keterampilan Khusus.

Hal ini menjadi signifikan karena wacana internasional hari ini didominasi oleh kecenderungan-kecenderungan Industri 4.0 dan kemungkinan Society 5.0. Industri 4.0 maupun Society 5.0 digadang-gadang akan banyak bertopang antara lain pada teknologi Kecerdasan Buatan (AI) serta mahadata (Big Data).

Kemungkinannya adalah bahwa proses-proses menuju solusi permasalahan sipil, politik, ekonomi, sosial, budaya (Sipol Ekosob) akan dilakukan menggunakan teknologi digital dengan berbasiskan data. Meski masih berupa kecenderungan, mahadata dapat menjadi salah satu sumber daya bagi pengembangan kapasitas generasi muda.

Maka merebaknya peluang untuk menjadi ekspertisi dan munculnya kecenderungan potensi mahadata dalam dunia kontemporer dan masa depan memiliki korelasi dengan perkembangan dinamika Sipol Ekosob yang membutuhkan respon yang tepat dan sesuai. Peluang berkreativitas dan berinovasi seyogyanya memberikan kontribusi -meskipun berskala kecil- bagi pembangunan berkelanjutan yang adil dan proporsional.

Karenanya, fokus primer keterampilan berbasis skil dan terbukanya peluang pekerjaan baru maupun alternatif sebaiknya diarahkan kepada pemenuhan kebutuhan bagi kelompok masyarakat yang paling membutuhkan. Dengan begitu, potensi anak-anak muda yang kreatif dan inovatif dapat terakomodir sekaligus memberikan kontribusi positif setidaknya kepada anggota masyarakat terdekat mereka. Jika terus berkembang, kontribusi mereka mungkin akan memberikan dampak benefit yang lebih luas.

Maka dapat dikatakan bahwa memiliki keterampilan khusus dalam bidang yang sesuai kompetensi agar mampu berkontribusi bagi sekelilingnya adalah pilihan peran yang bisa diambil oleh generasi muda Indonesia jaman now usia 19-39 tahun yang populasinya cukup dominan, yaitu mencapai sekitar 91,3 juta orang atau 34% dari keseluruhan jumlah penduduk di Indonesia.[2]

Dengan potensi angkatan kerja produktif sebesar itu, kesiapan sumber daya manusia yang adaptif di berbagai sektor tentu menjadi hal-hal yang musti direspon dan diantisipasi dengan bijak dan manusiawi agar dapat memunculkan proses kerja dan hasil yang bermartabat. Karena dalam perkembangan peradaban apapun, manusia tetap menjadi subyek yang bertanggungjawab atas progresivitas teknologi yang berlangsung. []

Ariwan Perdana
Unit Riset Pengelolaan Pengetahuan dan Media
Yayasan SATUNAMA Yogyakarta

[1] Lihat, Perdana, Ariwan. 2019. Generasi Milenial dan Strategi Pengelolaan SDM Era Digital. Jurnal Studi Pemuda Universitas Gadjah Mada Vol. 8. No. 1. 2019.
[2] Diolah dari data Jumlah Penduduk Indonesia Menurut Kelompok Umur (2020E), Badan Pusat Statistik, 2019.

Ilustrasi : mnews.co.id

Tinggalkan komentar