Perkuat Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan, SATUNAMA Siapkan Paralegal Komunitas

Masyarakat marjinal memiliki beberapa kendala pada gerakannya dalam rangka perwujudan keadilan. Beberapa kendala tersebut disebabkan karena terdapatnya asumsi-asumsi sosial yang mengarah pada perlu terpenuhinya prasayarat-prasayarat untuk memperoleh keadilan itu sendiri. Prasayarat tersebut antara lain adalah kesadaran akan hak-hak dasar, serta kecakapan dan ketangguhan untuk memperjuangkan hak-haknya itu.

Sayangnya, yang telah terjadi asumsi-asumsi sosial tersebut tidak sepenuhnya serta merta. Pada titik inilah paralegal difungsikan. Paralegal memiliki peran dan fungsi untuk memenuhi asumsi-asumsi sosial sekaligus menjadi mitra bagi marjinal dalam memperjuangkan hak-hak dasarnya.

Paralegal berkembang di Amerika Serikat dan Inggris. Di Amerika paralegal adalah legal assistant yang mensyaratkan pendidikan dan keterampilan untuk melakukan pekerjaan terkait dengan hukum. Di Inggris, paralegal adalah seorang yang dididik dan dilatih untuk membantu menyelesaikan masalah hukum. Intinya sama, paralegal membantu seorang legal dalam pemberian saran dan bantuan hukum.

Sementara di Indonesia, istilah paralegal pertama kali dipergunakan dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum. Sebelumnya, istilah yang digunakan adalah “relawan pendamping” (Undang Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga) atau “pekerja sosial” (Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak). Artinya, di Indonesia sendiri istilah paralegal juga digunakan untuk merujuk subyek yang menjadi bagian dari pemberi bantuan hukum.

Permenkumham Nomor 01 tahun 2018 menyatakan paralegal haruslah memenuhi prasayarat formal, yaitu terdaftar sebagai pemberi bantuan hukum dan memperoleh kartu identitas. Dari sinilah, SATUNAMA hadir dan membidik paralegal untuk menyiapkan sebuah pelatihan guna mengarahkan paralegas berdasarkan fungsinya tersebut.

Signifikansi Pelatihan Paralegal

Kebutuhan akan munculnya kapasitas CSO dan komunitas dalam kerangka kerja paralegal pun menjadi penting. Maka SATUNAMA pun mengadakan pelatihan paralegal yang dilaksanakan pada hari Rabu-Jumat tanggal 3-5 Juli 2019 di Yayasan SATUNAMA, dengan mengundang beberapa CSO dan mitra komunitas di beberapa wilayah, seperti Medan, Purwokerto, Yogyakarta, Sumba Barat Daya, dan Sumba Timur sebagai peserta.

Diskusi Kelompok menjadi salah satu metode pelatihan paralegal komunitas. Dalam sesi ini para peserta menemu kenali fakta dan dinamika yang muncul di internal maupun eksternal komunitas mereka. [Foto : Valerianus B Jehanu]
Proses pelatihan mengadopsi metode ceramah, diskusi kelompok, kunjungan lapangan dan juga permainan. Tujuannya agar materi yang disampaikan dapat dipahami secara mendalam oleh para peserta, karena materi yang disampaikan memang cukup komprehensif.

Tidak kurang dari Sejarah Rekognisi Penghayat Kepercayaan, Paralegal Berbasis Komunitas, Strategi Advokasi, Teknik Investigasi dan Pendokumentasian Kasus, Analisa Sosial, Peran Media dalam Advokasi Issue KBB, Advokasi Kebijakan dalam Perspektif Inklusi, Membangun dan Merawat Jejaring Advokasi KBB dijadikan materi dalam pelatihan. Dimaksudkan sebagai sebuah pengetahuan yang transformatif, materi-materi tersebut memang tidak terpisahkan satu sama lain.

Kemampuan peserta menyusun strategi advokasi untuk pemenuhan hak-hak dasar bagi penghayat kepercayaan di masing-masing wilayah, kemampuan peserta melakukan analisa sosial dengan pendekatan aktor dan kepentingan dalam kasus kebebasan beragama di masing-masing wilayah, dan munculnya sarana bagi peserta untuk membentuk jaringan kebebasan beragama dan berkepercayaan menjadi keluaran yang dihasilkan dari pelatihan ini.

Hal ini tidak lepas dari pengalaman kerja Program PEDULI SATUNAMA di beberapa daerah seperti Medan, Deli Serdang, Banyumas, Kulonprogo, dan Sumba. Pijakan untuk mengadvokasi warga penghayat kepercayaan menjadi salah satu aspek penting program.

Maka perlunya keterlibatan warga sebagai aktor lain di luar komunitasnya untuk turut mendukung perjuangan kesetaraan, pemenuhan hak dasar dan kebebasan beragama berkepercayaan di masing-masing wilayah menjadi tidak terelakkan untuk keberlanjutan proses advokasi. [Berita : Albertus Novendra / Foto : Valerianus B. Jehanu  / Editor : A.K. Perdana]

Tinggalkan komentar