GNH dan Politik Keutamaan

Oleh : P. Hardono Hadi, Ph.D.

Pembicaraan mengenai politik yang berkembang di negeri ini tidak terlepas dari partai politik, kampanye, pemilu, posisi dan kekuasaan, korupsi dan penderitaan rakyat. Tentu, itu bukan pemahaman standard tentang politik, tetapi merupakan fakta yang dibaca dan dialami oleh masyarakat. Dari pembacaan yang lalu, pemenang pemilu membangun struktur kekuasaannya dengan pertimbangan agar kekuasaannya tidak berhenti di tengah jalan. Karena jumlah partai peserta pemilu banyak, sangat sulit bagi sebuah partai untuk meraih 50% kursi DPR. Kalau kekuasaan eksekutif mau aman, perlu adanya koalisi dengan partai lain, supaya DPR tidak menjegal jalannya pemerintahan. Terjemahan koalisi adalah sharing power, pembagian kekuasaan. Pendukung berat dalam koalisi mendapat posisi strategis dan penting dalam kabinet. Penting dan tidaknya posisi ditentukan oleh besarnya anggaran kementerian bersangkutan. Demikian pula di DPR, partai pemenang dan koalisinya memegang posisi penting di dalam komisi yang dekat dengan polese yang melibatkan jumlah anggaran yang lebih besar daripada komisi lainnya.

Sayangnya, peta semacam ini menjadi gamblang justru dengan terbongkarnya praktek korupsi yang melibatkan sejumlah anggota DPR dan kementerian. Kalau kita mendengar jumlah uang yang dikorupsi, sungguh di luar kemampuan mayoritas penduduk Indonesia untuk membayangkannya. Yang mengherankan, dari kalangan eksekutif dan legislatif tidak ada yang mengaitkan uang yang dikorupsi dan akibatnya, apalagi bela rasa atau compassion dengan kaum kecil, lemah, miskin, terpinggirkan, dan diffable (LMTD). Coba kita bayangkan. Uang yang dikorupsi oleh seorang punggawa penting negara, baik eksekutif maupun iudikatif, dapat mencapai miliaran, bahkan ratusan milyar. Padahal kalau ada rumah sakit yang menolak pasien yang tidak mampu menyediakan uang Rp. 12-20 juta, yang mengakibatkan kematian si pasien, banyak pihak termasuk yang eksekutif maupun iudikatif heboh. Tidak sadar bahwa kalau dihitung dengan itu, uang yang dikorupsi oleh satu orang saja sebenarnya dapat menyelamatkan nyawa minimal 50 orang setiap milyarnya. Kalau ratusan milyar? Tinggal mengalikan saja, berapa ratus atau ribu peluang hidup yang terampok oleh koruptor kelas kakap itu?

Yang membuat gusar masyarakat, justru KPK yang diancam-ancam akan dibubarkan, bukannya pembenahan diri dan rasa salah korps legislatif atau iudikatif yang anggotanya terlibat korupsi. Kalaupun terlanjur “kebobolan” karena anggotanya yang korup ditangkap dan diproses KPK sampai pengadilan, kehebohan dan kegaduhan yang terjadi hanya terkait dengan pengamanan nama baik pribadi maupun masa depan partainya. Sedangkan kepentingan rakyat dan masa depan bangsa sama sekali tidak tersentuh dan bukan prioritas. Menyedihkan! Demokrasi yang mengandaikan keterlibatan rakyat dengan indikator adanya pemilu …. hasil yang dituai hanyalah korupsi dan keributan antarpartai dan internal partai, sementara rakyat hanya dijadikan gincu pemanis kata yang seolah-olah prihatin atas penderitaan rakyat. Itukah politik?

Lebih menyedihkan lagi bahwa para pelaku korupsi bukanlah orang yang bodoh dan tidak ada yang komunis atau ateis. Justru mereka mengklaim diri, implisit atau eksplisit, sebagai agamis yang saleh. Berarti pendidikan sekolah dan pendidikan agama tidak mampu membentengi diri para anak didik dan kaum beriman cukup kuat terhadap godaan korupsi. Mungkin kita dengan perasaan ngeri bertanya: “Kekuatan apakah yang begitu perkasa menyerobot anak manusia dan hamba Allah ini terjerumus dalam jurang nista yang begitu memalukan?” Rasa pribadinya sebagai manusia yang bermartabat dan sebagai ciptaan Tuhan yang mulia digadaikan untuk memuaskan kerakusan akan harta dan kekayaan yang bukan haknya.

Mungkin pertimbangan seperti itulah yang menyebabkan Raja Jigme Singye Wangchuck pada tahun 1972 menegaskan bahwa negaranya Bhutan lebih memilih GNH (Gross National Happiness) daripada GNP (Gross National Product) sebagai panduan untuk mengarahkan perkembangan bangsanya. Baginya, sukses dalam bidang ekonomi saja tidak dengan sendirinya memberi kebahagiaan. Sebab ekonomi hanyalah salah satu aspek kehidupan manusia dan hanyalah sarana untuk mencapai tujuan akhir, yakni kebahagiaan. Dewasa ini, banyak orang yang keliru menganggap kemakmuran material yang merupakan hasil kegiatan ekonomi merupakan tujuan terakhir. Inilah yang mengakibatkan banyak masalah, termasuk kerakusan yang mendasari terjadinya banyak korupsi, runtuhnya nilai-nilai religius, sosial, kultur, moral, dst., serta hancurnya lingkungan hidup manusia. Malapetaka kemanusiaan seperti inilah yang mau dihindari oleh Bhutan dengan melepaskan diri dari mainstream paradigma yang dianut oleh banyak negara.

Kata “kebahagiaan” bukanlah kata asing bagi semua orang. Memang ada tingkatan-tingkatan pengertian dan penerapan arti kebahagiaan, sehingga sering kali kata ini diartikan melulu bersifat subjektif dan sulit dipegang arti universalnya. Padahal kalau kita lihat perbenbaharaan pemikirian dunia, kita dapat merunutnya sampai masa sebelum Masehi. Aristoteles di dalam bukunya Nicomachean Ethics berbicara cukup komprehensif mengenainya. Baginya, etika tidak pernah lepas dari kehidupan sosial dan politik, sebab dia menyatakan bahwa buku etikanya mengenai politik, dan pengertian politik sama dengan yang sekarang kita kenal sebagai hidup sosial. Baginya Eudaimonia merupakan tujuan akhir hidup manusia. Eudaimonia, yang umumnya dimengerti sebagai kebahagiaan, bagi Aristoteles bukan sekadar bahagia atas sesuatu, tetapi menyangkut keseluruhan hidup dan. tidak dapat dilepaskan dari keutamaan (virtues). Disebut tujuan akhir, pertama, karena kebahagiaan dipilih demi kebahagiaan itu sendiri, bukan sebagai tahapan menuju tujuan lebih lanjut. Kedua, kebahagiaan merupakan kebaikan-yang-cukup-diri, dalam arti kebahagiaan bukan hanya salah satu kebaikan. Justru semua kebaikan keutamaan yang lain seperti kekuasaan, kekayaan, kenikmatan, keberanian, dst., mempunyai tujuan akhir kebahagiaan. Dengan kata lain, kebahagiaan sejati merupakan muara dari segala macam keutamaan.

Jadi, politik bagi Aristoteles identik dengan politik keutamaan. Aristoteles hidup pada tahun 384 BC – 322 SM. Bhutan menyadari kemerosotan hidup dunia ini, sehingga mengambil langkah mengutamakan GNH daripada GNP/GDP. Bagaimana dengan para politisi Indonesia? Apakah masih mau meneruskan gaya berpolitik seperti yang sekarang? Ataukah mau belajar dari Aristoteles dan mencari alternatif seperti Bhutan? Mungkin itu yang akan menentukan kualitas kepemimpinan yang mereka suguhkan di negeri ini.

Tinggalkan komentar