Korupsi, GNH, dan Yogyakarta

Korupsi merupakan hasil dari pola pikir yang secara sesat mengkultuskan kemewahan dan kelimpahan harta sebagai pendongkrak martabat pribadi sebagai manusia. Kenyataannya, hampir setiap hari kita disuguhi berita korupsi yang dilakukan oleh sejumlah elit negeri ini, yang seharusnya dengan posisi dan peran strategis mampu mengendalikan dan mengarahkan bangsa menuju hidup yang lebih cemerlang, di mana rakyat merasa bahagia dan optimis menyongsong masa depan. Dengan maraknya korupsi, yang terjadi justru sebaliknya: masa depan menjadi suram dan terasa berat, disertai frustrasi yang sangat mendalam. Pahitnya, kaum elit itu dipilih oleh rakyat karena mereka menjanjikan hal-hal baik di dalam visi-missi yang mereka promosikan pada waktu kampanye. Tidak pernah ada yang mencantumkan korupsi di dalam visi-missi mereka.

Korupsi, menurut dalih yang dirasionalisasikan, dianggap menjadi cara mengembalikan modal yang telah mereka tanam selama kampanye yang berbalut “money politics”. Apakah itu berarti bahwa pada waktu pemilihan legislatif dan eksekutif, seperti yang akan terjadi di tahun 2014 nanti, rakyat menandatangani kontrak untuk “menggadaikan masa depan bangsa” selama lima tahun mendatang?

“Money politics” hanya terjadi kalau masyarakat rela menjual suaranya. Pertanyaannya, “begitu dominankah uang dalam kehidupan masyarakat kita?” Tidak butuh waktu panjang untuk menjawabnya dengan positip. Bukankah untuk mendapatkan sekolah, layanan kesehatan, pembelaan hukum yang baik, kenikmatan hidup, dll., memerlukan banyak uang? Bukankah untuk dianggap eksis sebagai orang yang sukses sangat tergantung pada harta dan kekayaan yang ditimbun? Sepertinya, ada hubungan lurus antara pola pikir atau mindset di dalam masyarakat dengan tingkah laku elit politik kita terkait dengan korupsi. Bukankah para elit muncul dari masyarakat, dan tingkah laku para elit ikut membentuk pola pikir masyarakat? Diperlukan langkah radikal untuk menyembuhkan penyakit endemik, yang sering kali secara menyakitkan dikatakan “korupsi sudah membudaya di Indonesia”.

Masalahnya, hampir semua negara di dunia ini, termasuk Indonesia, memfokuskan pembangunan terutama pada bidang kesejahteraan material dengan menerapkan GNP/ GDP sebagai paradigmanya. Dan hasilnya pun sangat kasat mata dan mudah dirasakan. Meskipun begitu, Bhutan sejak tahun 1972 menegaskan untuk memisahkan diri dari kecenderungan umum itu dengan memilih GNH (Gross National Happiness), bukannya GNP/ GDP, sebagai tolok ukur kemajuan bangsanya. Alasannya, sementara GNP/ GDP hanya menekankan salah satu aspek kehidupan manusia, yaitu ekonomi, GNH melihat pembangunan manusia secara holistik. Baginya, kemajuan ekonomi hanyalah sarana untuk mencapai kebahagiaan utuh manusia. Tekanan berlebihan pada GNP/ GDP menyebabkan orang menganggap sarana sebagai tujuan akhir. Menjadikan kemakmuran material sebagai tujuan akhir menyebabkan tergerusnyanya nilai-nilai lain, seperti nilai-nilai religius, moral, sosial, kultural, dst., yang digadaikan dan diabdikan demi keuntungan ekonomis belaka. Alhasil, kerakusan tanpa batas, termasuk korupsi, mudah terjadi. Untuk mencegah itu semua, Bhutan ingin keluar dari mainstream tersebut.

Di setiap liburan, entah panjang entah pendek, Yogyakarta selalu kebanjiran turis, sehingga jalan-jalan menjadi macet. Tambahan lagi, banyak orang yang pernah kuliah di Yogyakarta kangen untuk kembali. Padahal, Yogyakarta bukanlah tempat kemewahan dan modernitas yang mempesona selera kontemporer. Bahkan sering terdengar ungkapan “Yogya bukan tempat orang mencari uang, tetapi tempat orang mencari hidup tenang, bahagia, penuh damai”.

Mungkin secara global Bhutan dikenal lebih dulu merumuskan GNH, tetapi Yogyakarta telah lama dikenal sebagai pusat kehidupan multikultur dan multiagama, penuh kedamaian dan kehangatan. Modal ini perlu dikembangkan untuk menjadikan Yogyakarta sebagai model kota bahagia di Indonesia, yang bukan karena kelimpahan materi rakyatnya bahagia dan menebar pesona. Untuk apa korupsi?

KORUPSI, GNH, DAN YOGYAKARTA
Oleh
P. Hardono Hadi, Ph.D.Korupsi merupakan hasil dari pola pikir yang secara sesat mengkultuskan kemewahan dan kelimpahan harta sebagai pendongkrak martabat pribadi sebagai manusia. Kenyataannya, hampir setiap hari kita disuguhi berita korupsi yang dilakukan oleh sejumlah elit negeri ini, yang seharusnya dengan posisi dan peran strategis mampu mengendalikan dan mengarahkan bangsa menuju hidup yang lebih cemerlang, di mana rakyat merasa bahagia dan optimis menyongsong masa depan. Dengan maraknya korupsi, yang terjadi justru sebaliknya: masa depan menjadi suram dan terasa berat, disertai frustrasi yang sangat mendalam. Pahitnya, kaum elit itu dipilih oleh rakyat karena mereka menjanjikan hal-hal baik di dalam visi-missi yang mereka promosikan pada waktu kampanye. Tidak pernah ada yang mencantumkan korupsi di dalam visi-missi mereka.

Korupsi, menurut dalih yang dirasionalisasikan, dianggap menjadi cara mengembalikan modal yang telah mereka tanam selama kampanye yang berbalut “money politics”. Apakah itu berarti bahwa pada waktu pemilihan legislatif dan eksekutif, seperti yang akan terjadi di tahun 2014 nanti, rakyat menandatangani kontrak untuk “menggadaikan masa depan bangsa” selama lima tahun mendatang?

“Money politics” hanya terjadi kalau masyarakat rela menjual suaranya. Pertanyaannya, “begitu dominankah uang dalam kehidupan masyarakat kita?” Tidak butuh waktu panjang untuk menjawabnya dengan positip. Bukankah untuk mendapatkan sekolah, layanan kesehatan, pembelaan hukum yang baik, kenikmatan hidup, dll., memerlukan banyak uang? Bukankah untuk dianggap eksis sebagai orang yang sukses sangat tergantung pada harta dan kekayaan yang ditimbun? Sepertinya, ada hubungan lurus antara pola pikir atau mindset di dalam masyarakat dengan tingkah laku elit politik kita terkait dengan korupsi. Bukankah para elit muncul dari masyarakat, dan tingkah laku para elit ikut membentuk pola pikir masyarakat? Diperlukan langkah radikal untuk menyembuhkan penyakit endemik, yang sering kali secara menyakitkan dikatakan “korupsi sudah membudaya di Indonesia”.

Masalahnya, hampir semua negara di dunia ini, termasuk Indonesia, memfokuskan pembangunan terutama pada bidang kesejahteraan material dengan menerapkan GNP/ GDP sebagai paradigmanya. Dan hasilnya pun sangat kasat mata dan mudah dirasakan. Meskipun begitu, Bhutan sejak tahun 1972 menegaskan untuk memisahkan diri dari kecenderungan umum itu dengan memilih GNH (Gross National Happiness), bukannya GNP/ GDP, sebagai tolok ukur kemajuan bangsanya. Alasannya, sementara GNP/ GDP hanya menekankan salah satu aspek kehidupan manusia, yaitu ekonomi, GNH melihat pembangunan manusia secara holistik. Baginya, kemajuan ekonomi hanyalah sarana untuk mencapai kebahagiaan utuh manusia. Tekanan berlebihan pada GNP/ GDP menyebabkan orang menganggap sarana sebagai tujuan akhir. Menjadikan kemakmuran material sebagai tujuan akhir menyebabkan tergerusnyanya nilai-nilai lain, seperti nilai-nilai religius, moral, sosial, kultural, dst., yang digadaikan dan diabdikan demi keuntungan ekonomis belaka. Alhasil, kerakusan tanpa batas, termasuk korupsi, mudah terjadi. Untuk mencegah itu semua, Bhutan ingin keluar dari mainstream tersebut.

Di setiap liburan, entah panjang entah pendek, Yogyakarta selalu kebanjiran turis, sehingga jalan-jalan menjadi macet. Tambahan lagi, banyak orang yang pernah kuliah di Yogyakarta kangen untuk kembali. Padahal, Yogyakarta bukanlah tempat kemewahan dan modernitas yang mempesona selera kontemporer. Bahkan sering terdengar ungkapan “Yogya bukan tempat orang mencari uang, tetapi tempat orang mencari hidup tenang, bahagia, penuh damai”.

Mungkin secara global Bhutan dikenal lebih dulu merumuskan GNH, tetapi Yogyakarta telah lama dikenal sebagai pusat kehidupan multikultur dan multiagama, penuh kedamaian dan kehangatan. Modal ini perlu dikembangkan untuk menjadikan Yogyakarta sebagai model kota bahagia di Indonesia, yang bukan karena kelimpahan materi rakyatnya bahagia dan menebar pesona. Untuk apa korupsi?

KORUPSI, GNH, DAN YOGYAKARTA
Oleh
P. Hardono Hadi, Ph.D.

Satu pemikiran pada “Korupsi, GNH, dan Yogyakarta”

  1. I am currently in Bhutan senvrig as a professor at GCBS. I thought given the posts above you might like to see an article that I wrote on this topic. It is a version of one that will appear in the Observer. -I vigorously scanned the internet, literature, and media reports concerning Bhutan’s attempt to implement the noble idea of GNH prior to my family and I arriving in Paro. I still can’t say what I was expecting to find. However, a media campaign promised that “Happiness Is A Destination” and Bhutan was the final stop. The angst this campaign has generated for me, my family and others currently in Bhutan are instructive.First, in marketing “it is always better to under promise and over deliver than to over promise and under deliver.” The “Happiness” campaign over promises. Stories documenting political corruption, alcoholism, teen violence, economic insecurity, child/spouse abuse, and environmental degradation appear daily in Bhutan’s news sources. This is not the last “Shangri La.” Bhutan is as dysfunctional as the rest of the world. The “Happiness” campaign has the potential to intensify dissatisfaction at home and increase skepticism globally about the merits of GNH. Word will spread at the speed of the internet that all is not as is proclaimed in the Land of the Thunder Dragon which will only drive away tourists, exchange scholars and investors.Second, “we judge ourselves by our INTENTIONS but the world judges us by our ACTIONS. I am advocating that GNH should be quietly pronounced, pursued and enacted as a daily reality before it is promoted or advocated to others. A Kuensel editorial cartoon understood the danger of over promoting GNH by depicting a Bhutanese leader advocating GNH at a United Nations summit while behind him was a picture of the ‘real conditions” faced by a typical Bhutanese. A stinging indictment! Yet, it corroborated much of the “disappointment” and sadnness I feel when obsenvrig the working and living conditions in and around Gedu – Paro – Thimphu – Phuentsholing. In Maslow’s Hierarchy, happiness is the third tier – it follows basic needs of security, health, nutrition and clean sanitary conditions – much of which appear to be lacking in my experience of Bhutan thus far.Third, Thomas Jefferson wrote that all people have the inalienable right to life, liberty and the PURSUIT of happiness. The key word is pursuit not happiness. People internally and abroad must realize that GNH promotes and measures but does not guarantee happiness. The pursuit of GNH economic model should empower but it does not entitle people to happiness.I am by no means critical or pessimistic. However, I am challenging the Gaeddu students to question the role of “happiness” in a model of economic development. In my experience, happiness is a transient emotional state based on spiritual and intellectual fitness Happiness, in my opinion, does not emanate from a program developed by a Government, an ideology promoted by a religion, or a product produced by a company. Happiness takes discipline and hard work. It results from giving not from obtaining. I hope my students will become the awakened, enlightened and transformational self-leaders and ethical change agents that Bhutan needs and deserves. If so, Bhutan will have even more happiness than the slogan promises. About the author. Dr. David Luechauer is currently visiting Bhutan as a Professor at the Gaeddu College of Business Studies. He is an internationally published author on leadership, self-development, and educational practices. He is an international award winning college professor, speaker and a consultant to executives and organizations around the world. He can be contacted at

    Balas

Tinggalkan komentar