Advokasi Harus Berdasarkan Bukti Nyata

Ada beberapa hal yang penting dalam melakukan kegiatan advokasi, salah satunya adalah bahwa adovasi penting dilakukan karena menyangkut kepentingan publik semua elemen warga negara. Pada fitrahnya, melakukan pelayanan publik adalah tugas negara yang memang perlu untuk terus dikawal dalam pelaksanaannya.

Kegiatan advokasi juga harus menghindari cara – cara yang kontra poduktif (represif), yang pada hasilnya justru akan membangun relasi yang tidak baik antara negara dan warga negara, advokasi yang benar harus dilakukan dengan cara yang cerdas antara lain dengan pengumpulan evidance base advocacy (pengumpulan praktik menyimpang dari penyelenggarakan pelayanan publik) hingga merujuk ke revisi perundangan terkait. Koordinasi antar stakeholder sangatlah penting dalam mengawal proses advokasi hingga dinyatakan berhasil.

Atas dasar itulah, bekerja sama dengan SATUNAMA Yogyakarta, Yayasan Pelayanan Kesehatan Kristen (PILKESI) menyelenggarakan Pelatihan Dasar Advokasi Kesehatan bagi staf-staf internalnya. Pelatihan yang berlangsung pada Kamis-Sabtu, 26-28 Oktober 2017 di SATUNAMA Yogyakarta.

PELKESI mempunyai fokus isu tentang kesehatan di daerah terpencil yaitu difabilitas dan juga gender. Oleh karenanya PELKESI ingin menyelenggarakan pelatihan intensif selama 3 hari untuk staff internalnya di pusat maupun regional tentang advokasi.

“Harapannya para staff bisa melakukan kegiatan advokasi bahkan lebih jauhnya mampu mendidik masyarakat lokal untuk mampu melakukan advokasi secara mandiri.” Kata Banu Badrika, dari Unit Training & Konsultansi SATUNAMA.

Bapak Methodius Kusumahadi berdiri, menunduk) berdialog dengan para peserta pelatihan. Proses pelatihan dilakukan secara partisipatoris, menggunakan metode dialog interaktif, role play, praktik, brainstorming-reframing, game, kerja kelompok dan berbagi pengalaman, Kamis-Sabtu (26-28 Oktober 2017) di Yayasan SATUNAMA. (Foto: Banu Badrika_SATUNAMA)

Bersama fasilitator Methodius Kusumahadi dari SATUNAMA, pelatihan dilaksanakan dengan metode pembelajaran yang bersifat partisipatoris. Metode ini meliputi daur belajar dengan dialog interaktif, live-in, role play, praktik, brainstorming-reframing, game, kerja kelompok dan berbagi pengalaman. Setiap partisipan diharapkan menyumbangkan ide, gagasan, kritik, pendapat dan refleksinya atas pengalaman mereka. Input, refleksi, dan diskusi merupakan bagian integral dari seluruh proses pelatihan.

Meth Kusumahadi menekankan pentingnya advokasi yang evidence based atau berdasarkan bukti nyata. Sebagai sebuah cara untuk mengkomunikasikan dan memperjuangkan kepentingan publik, advokasi membutuhkan pengumpulan bukti-bukti praktik menyimpang dari penyelenggara pelayanan publik menjadi salah satu elemen penting dalam kerja-kerja advokasi.

Oleh karenanya dalam pelatihan ini, para peserta mendapatkan sesi tentang Instrumen Analisis Sosial dan Asesmen sebagai alat awal untuk melaksanakan evidence based advocacy. Selanjutnya para peserta juga mendapatkan materi tentang Advokasi dan Kebijakan Publik ditinjau dalam perspektif hukum dan politik. Materi ini dimaksudkan untuk membekali lebih kuat para peserta tentang makna advokasi dan kebijakan publik dalam kacamata hukum dan politik. Karena kerja-kerja advokasi tidak bisa dilepaskan dari elemen hukum dan politik yang akan selalu mempengaruhi.

Fasilitator juga mengajak para peserta untuk masuk lebih dalam kepada pembahasan isu difabilitas dan gender. Advokasi kebijakan publik terkait pelayanan kesehatan untuk kedua isu ini menjadi penting untuk melibatkan berbagai pihak dalam kerangka kerja pelayanan yang inklusif.

Secara umum, fasilitator menjelaskan tentang beberapa metode advokasi yang bisa diterapkan sesuai dengan kondisi, yaitu Soft Strategy, Medium Strategy dan Hard Strategy. “Harus tahu kapan menggunakan salah satu dari ketiganya” Ujar Pak Meth, sapaan akrab Methodius Kusumahadi.

Pada sesi akhir di hari ketiga, para peserta membuat rencana aksi yang akan mereka lakukan pasca pelatihan. Para peserta dalam pelatihan ini diharapkan nantinya dapat semakin paham tentang konsep, taktik, strategi dan tahapan-tahapan dalam melakukan advokasi publik di bidang kesehatan, khususnya untuk kelompok difabilitas dan gender.

Kemampuan fasilitasi yang baik juga diharapkan dapat diserap oleh para peserta usai pelatihan ini, agar mereka mampu mengajak masyarakat lokal untuk bisa mengadvokasi dirinya sendiri. Optimalisasi pelayanan kesehatan di beberapa daerah terpencil, khususnya di Indonesia bagian Timur diharapkan juga akan semakin baik lewat berjalannya program-program PILKESI yang terkait dengan isu kesehatan. (A.K. Perdana/Foto : Banu Badrika/SATUNAMA)

Tinggalkan komentar