Berkreasi Wayang di Candi Sojiwan

Klaten, 22 Oktober 2017. Matahari belum lagi menunjukan wajah utuhnya ketika beberapa anak dari Dusun Watutumpeng mulai mendatangi Balai Desa Kebondalem Kidul, Prambanan, Klaten. Bukan tanpa alasan mereka mendatangi tempat itu. Hari itu, Minggu, 22 Oktober 2017 akan diselenggarakan Anjangsana Guyub Bocah #11 bertempat di Candi Sojiwan dan Balai Desa Kebondalem Kidul.

Tidak dapat dipastikan bahwa mereka telah mengetahui “apa itu Guyub Bocah?” dan “apa itu Anjangsana?” Mereka hanya datang dengan tujuan untuk bermain bersama dan berjumpa dengan teman-teman lainnya yang berasal dari daerah berbeda dan mereka belum kenal sebelumnya.

Hal itu cukup wajar, karena ini adalah kali pertama Guyub Bocah mengajak anak-anak dan pemuda Watutumpeng bergabung dalam Anjangsana. Bagi mereka yang sudah lama menjadi bagian dari Guyub Bocah akan dengan lancar menjawab apa itu Guyub Bocah. Ia adalah jejaring komunitas anak wilayah DIY-Jateng.

Mereka bergerak secara bersama untuk mendorong pemenuhan hak-hak anak di Indonesia. Berbagai kegiatan telah mereka lakukan sebagai bentuk upaya agar seluruh anak-anak di Indonesia mendapatkan hak-haknya. Tidaklah mudah untuk mendorong berbagai pihak memenuhi hak-hak anak. Untuk menerangi jalan agar tepenuhinya hak-hak anak di Indonesia, dan berjejaring adalah pilihan Guyub Bocah.

Tidak dapat dipungkiri bahwa dengan berjejaring semangat bersama sebagai kekuatan untuk bergerak bersama-sama akan muncul. Maka, Anjangsana adalah cara Guyub Bocah untuk memperkuat jaringan antar komunitas-komunitas anak wilayah DIY-Jateng untuk mengkampanyekan pemenuhan hak-hak anak.

Bhineka Tunggal Ika, Menginspirasi!

Panggung Anjangsana Guyub Bocah XI. (Foto: Ruri Kriswanto_GB)

Sebelas kali sudah Anjangsana Guyub Bocah diselenggarakan. Anjangsana ini dilaksanakan secara rutin setiap 3 bulan sekali dengan beragam tema seperti Hentikan Kekerasan Terhadap Anak, Permainan Tradisional, FCTC  dengan menggunakan berbagai kesenian serta karya anak sebagai medianya.

Mengkampanyekan pemenuhan hak-hak anak adalah poin utama dari berbagai tema dari seluruh Anjangsana Guyub Bocah. Bekerjasama dengan Beatrix, sebuah komunitas anak-anak muda berbasis keagamaan, mereka aktif dalam gerakan mengkampanyekan nilai-nilai toleransi dan multikultur.

Sebagai salah satu fondasi yang harus diperkuat untuk pemenuhan hak-hak anak, multikultur menjadi tema yang diangkat pada Anjangsana Guyub Bocah #11 hari Minggu itu. “Bhineka Tunggal Ika, Menginspirasi!”, begitulah bunyinya tema yang dipilih tersebut.

Candi Sojiwan dan Relief  di Kakinya

Peserta mengamati dan berkeliling Candi Sojiwan (Foto: Ruri Kriswanto_GB)

Tumpukan batu membentuk bangunan tinggi dan ramping. Di atasnya terdapat tiga susunan atap. Pada setiap tingkatannya, terdapat jajaran stupa kecil, sedangkan pada tingkatan puncak terdapat stupa yang besar. Begitulah sedikit gambaran mengenai Candi Sojiwan, tempat dilaksanakannya Anjangsana Guyub Bocah #11.

Dipilihnya Candi Sojiwan sebagai tempat pelaksanaan dilatarbelakangi oleh semangat memperkenalkan budaya Indonesia kepada anak-anak sejak dini.

Dilihat dari bentuknya, candi ini memiliki gaya bangunan yang sama dengan Candi Prambanan. Namun, ada satu hal mendasar yang membedakannya, jika Candi Prambanan merupakan candi Hindu. Sementara Candi Sojiwan merupakan perkawinan antara candi Hindu dan Budha.

“Perbedaan itu Indah” demikian kata-kata yang ingin disampaikan oleh Candi Sojiwan kepada setiap orang yang mengunjunginya. Begitu jugalah dengan pesan yang ingin Guyub Bocah sampaikan kepada peserta dalam Anjangsana itu. Cerita seekor kera yang menyiasati buaya untuk dapat menyebrangi sungai sampai perlombaan antara kura-kura dengan garuda adalah cerita-cerita yang terukir dibagian kaki Candi Sojiwan.

Dengan semangat memperkenalkan budaya Indonesia dan mengkampanyekan nilai-nilai multikulturalisme dan semangat toleransi, Beatrix mengajak seluruh peserta Anjangsana untuk mengamati relief  yang terukir pada bagian kaki Candi Sojiwan.

Ceritakan Wayang Kreasimu!

Selesai bermain sevenup dan menikmati serunya permainan drum band dari Karangtaruna Watutumpeng, para peserta Anjangsana diajak memasuki halaman Candi Sojiwan. Dengan bekal kardus yang dibawa masing-masing peserta dan arahan masing-masing pendamping, mereka akan berkreasi sesuai imajinasi mereka masing-masing.

Wayang! Siapa yang tidak kenal? Budaya asli Indonesia, seni pertunjukan asli Indonesia yang berkembang pesat di Jawa dan Bali. Wayang adalah pertunjukan bayangan tersohor dari Indonesia. Sebuah warisan mahakarya dunia yang tidak ternilai dalam seni bertutur. Begitulah UNESCO menetapkan wayang sebagai bagian warisan budaya dunia dari Indonesia. Selain candi, wayang menjadi bagian budaya yang ingin diperkenalkan kepada peserta Anjangsana.

Satu per satu peserta memasuki halaman Candi Sojiwan, menginjakan kaki mereka di atas rumput dan berkumpul dalam satu kelompok. Mata mereka mencari-cari tempat yang tidak terpapar oleh sinar matahari lalu duduk melingkar dan menunggu ajakan pendampingnya; buatlah wayang dari kardus yang kalian bawa!

“Tidak harus membuat Bima atau Arjuna atau tokoh punakawan, cukuplah membuat wayang yang menjadi imajinasimu sendiri.” begitulah ajakan beberapa pendamping kelompok kepada para pesertanya.

Bukan karena susah membuat wayang seperti bentuk aslinya. Tetapi, untuk mendorong tumbuh kembang anak-anak dalam iklim kreativitas yang tinggi. Kita tahu kalau anak-anak memiliki hak-hak yang sudah diakui dunia. Salah satunya adalah hak untuk tumbuh dan berkembang.

Anak-anak dari Komunitas Kancing, Deles sedang membuat wayang dari kardus bekas (Foto: Ruri Kriswanto_GB)

Bukan cuma tumbuh dan berkembang biasa, tetapi tumbuh dan berkembangnya kreativitas anak-anak yang menjadi alasan kenapa pembuatan wayang itu tidak mengharuskan membuat tokoh-tokoh wayang.

Bersiap dengan pensil masing-masing, kardus mereka bentangkan dan mulai menggambar berbagai macam bentuk sesuai dengan imajinasi mereka masing-masing. Beberapa lama kemudian, mulai terlihat berbagai gambar diatas kardus.

Saatnya alat lain bergerak, satu per satu mulai mengambil gunting di tangan masing-masing pendamping. Gambar utuh mereka gunting lalu diberi warna dengan krayon yang disediakan oleh panitia. Jadilah berbagai macam bentuk wayang kreasi. Mulai dari hewan, tokoh kartun, dan beragam bentuk lainnya.

Seperti pertunjukan wayang pada umumnya, ada dalang yang menceritakan kisah-kisah kepada penontonnya. Selesai menciptakan wayang dan berkeliling Candi Sojiwan, satu per satu kelompok menaiki panggung untuk menceritakan kisah dengan tokoh wayang mereka masing-masing.

Kisah-kisah menarik hasil dari kreativitas anak-anak, kisah mereka saat mengikuti Anjangsana itu sampai kisah ancaman bencana Merapi diceritakan dengan antusias oleh mereka kepada seluruh penonton di bawah panggung. (Indra Sanjaya_SATUNAMA/Foto : Ruri Kriswanto_Guyub Bocah)

Peserta sedang menceritakan kisah dari wayang yang mereka ciptakan. (Foto Ruri Kriswanto_GB)

Tinggalkan komentar