Memahami Penghayat Agama Leluhur dari Aspek Budaya

“Rahayu!!”

Purwokerto, 12 September 2017. Demikian sapaan awal yang kerap digaungkan para narasumber dan rekan penghayat dalam membuka dan menutup sesi acara Partners Meeting Program Peduli Fase ll yang diselenggarakan oleh Yayasan SATUNAMA.

Para peserta Partner Meeting Program Peduli SATUNAMA berfoto bersama di Hotel Santika Purwokerto, Selasa, (12/9). (Foto : Melya)

Acara yang digelar Selasa (12/9) di Hotel Santika, Purwokerto ini menghadirkan Ahmad Tohari, sastrawan dan budayawan asal Banyumas, Herman dari MLKI (Majelis Luhur Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa Indonesia), Mispan, perwakilan dari Dinas Pariwisata Kabupaten Banyumas, dan sejumlah organisasi penghayat.

Di Kabupaten Banyumas saat ini terdapat 28 kelompok penghayat yang terdaftar. Namun eksistensi mereka belum cukup terlihat. Hal ini dikarenakan kecenderungan menutup diri yang dilakukan kelompok penghayat di tengah masyarakat.

“Maka di sinilah peran MLKI sebagai wadah dalam memayungi seluruh organisasi penghayat dalam membina kerjasama antar anggota agar bisa menjalin komunikasi dan beradaptasi dengan lingkungan masyarakat,” ujar Herman, MLKI membuka forum diskusi dengan memberikan gambaran keberadaan penghayat saat ini.

Penerimaan terhadap keberadaan penghayat saat ini memang masih belum sepenuhnya sesuai dengan harapan. Oleh karenanya dibutuhkan berbagai upaya untuk mengakomodir hak-hak mereka.

Hal tersebut disampaikan oleh Mispan, selaku perwakilan pemerintah dari Dinas Pariwisata Kabupaten Banyumas. “Ada rencana dari pemerintah untuk mengumpulkan ketua paguyuban penghayat di Kabupaten Banyumas sebagai upaya dalam mengakomodir hak-hak warga penghayat.” Ujarnya.

Hal menarik dalam forum ini adalah Ahmad Tohari mengajak peserta untuk melihat posisi penghayat agama leluhur dari kacamata budaya. Manusia cenderung bersifat inferior untuk menyembah sesuatu yang lebih hebat dan besar. Hal inilah yang kemudian menjadikan agama sebagai media dalam kaitannya dengan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.

“Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa adalah inti dari semua ajaran agama, tanpa terkecuali. Seringkali orang saat ini berkutat pada rangka luarnya saja, sementara inti atau isinya tidak diperhatikan, bahwa sudah seharusnya selain taat kepada Tuhan YME, kita juga harus berlaku baik kepada semua manusia tanpa membeda-bedakan,” ujar Ahmad Tohari.

Sebagai budayawan, dia melihat kondisi yang dialami oleh rekan penghayat tidak bisa dilihat dengan menunjuk pemerintah maupun warga mayoritas semata sebagai penyebab adanya potret eksklusi di tengah masyarakat.

Pada dasarnya masyarakat kita sangat toleran, yang membuat adanya tindakan eksklusi adalah lebih kepada sikap dari setiap individu. Apabila seseorang berlaku baik terhadap semua orang, orang lain pun tidak akan melihat dirinya sebagai penghayat namun lebih kepada individu.

“Sehingga hal ini perlu menjadi intropeksi bagi semua dari kita, tidak hanya bagi pemerintah, namun kita semua sebagai penghayat.” Tambah Ahmad Tohari.

Partners Meeting Program Peduli Fase ll berlangsung sampai Kamis, 14 September 2017. Acara yang dibuka dengan pertunjukkan Lengger Banyumas ini dihadiri sebanyak dua puluh dua anggota mitra CSO sebagai implementor Program Peduli bersama dengan Yayasan SATUNAMA dan The Asia Foundation sebagai fasilitator.

“Rahayu!”

(Berita dan Foto : Melya Findi/SATUNAMA)

Tinggalkan komentar