Penandatanganan Komunike Tertunda, Perlu Dialog Lanjutan

Yogyakarta. Sabtu, 26/08/2017. Naskah Komunike (pengumuman atau pemberitahuan resmi dari pemerintah (biasanya dikeluarkan sesudah selesai pertemuan diplomatik atau dialog multipihak –red) yang dirumuskan oleh Jaringan Organisasi Masyarakat Sipil yang rencananya akan ditandatangani bersama dengan para pemangku kepentingan yang terlibat dalam Jambore Sungai Yogyakarta ke -2 tertunda penandatanganannya.

Pihak pemerintah dan perguruan tinggi menyatakan perlu mengkaji lebih jauh lagi terkait isi serta hak dan kewajiban yang muncul bagi para pihak yang menandatangani.

Seperti yang disampaikan oleh Raditya Djati, Direktur Deputi Pencegahan, Badan Nasional Pengurangan Risiko Bencana (BNPB) dalam seminar nasional “Membangun Komitmen antar Stakeholder dalam Pengelolaan Sungai” di Jogja National Museum, Yogyakarta.bahwa kalau komunike harus dirumuskan bersama sebagai kesepakatan bersama.

“Kalau kami sebagai yang mewakili pihak pemerintah diminta untuk menandatangani komunike, maka kami juga harus terlibat dalam perumusan isinya,” terang Djati.

Terkait hal tersebut, Ema Vidiastuti Utami dari SATUNAMA Yogyakarta menyatakan bahwa naskah komunike tersebut dirumuskan oleh jaringan organisasi masyarakat sipil dan jaringan komunitas sungai Yogyakarta dan sifatnya adalah seruan untuk mengikat komitmen para pemangku kepentingan secara moril dalam perumusan kebijakan soal pengelolaan sungai ke depannya.

“Komunike ini sebagai komitmen publik tentang seruan soal pengelolaan sungai yang terpadu dan berkeadilan yang diwakili oleh pihak-pihak yang bertandatangan, rumusan isinya juga dirancang bersama jaringan masyarakat sipil, jadi seharusnya bisa langsung ditandatangani bersama, tidak perlu ada kekhawatiran”, tegas Ema.

Direncanakan, yang menandatangani komunike bersama tersebut adalah pihak-pihak yang dipandang oleh jaringan masyarakat sipil dapat memenuhi representasi minimum (keterwakilan minimum –red) dari para pemangku kepentingan yang terpaut soal pengelolaan sungai di Indonesia.

Lembaga yang mewakili Jaringan Organisasi Masyarakat Sipil dan Jaringan Komunitas Sungai diantaranya, Asosiasi Komunitas Sungai Yogyakarta (AKSY), Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Yogyakarta, SATUNAMA Yogyakarta, dan Program on Humanitarian Action (PoHA).

Perwakilan dari jaringan masyarakat sipil (AKSY, Walhi Yogyakarta, PoHA, dan SATUNAMA) saat berdialog dengan perwakilan pemerintah (Kementerian LHK, Kementerian PUPR, BNPB), serta perwakilan dari perguruan tinggi (UGM) untuk pendandatangan komunike bersama terkait komitmen para pemangku kepentingan dalam pengelolaan sungai, di Gedung Garuda, Jogja National Museum. (Foto : Frysa)

Sedangkan pihak pemerintahan diwakili oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), serta perwakilan dari Perguruan Tinggi adalah Universitas Gadjah Mada.

Hermono Sigit, dari Kementerian LHK menambahkan, bahwa jika dirinya dan koleganya dalam jajaran pemerintahan diminta untuk menandatangani komunike atas nama pribadi, bukan mewakili kementerian, lembaga, dan badan pemerintahan, maka akan langsung bersedia dan dalam bentuk deklarasi bersama.

“Kalau deklarasi bersama akan lebih memungkinkan saya dan rekan-rekan dari pemerintahan menandatangani, dan bukan secara resmi mewakili unsur pemerintahan di kementerian, lembaga, dan badan masing-masing”, terang Sigit.

Damar Dwi Nugroho dari SATUNAMA Yogyakarta juga menyampaikan bahwa tidak perlu ada kekhawatiran dari pihak pemerintah karena isi dari komunike bersama itu merupakan rangkuman dari persoalan pengelolaan sungai selama ini dan kebutuhan solusi jangka panjang.

“Tidak perlu ada kekhawatiran dari mereka (perwakilan pemerintah –red), karena isi komunike bersama itu merupakan rumusan dan rangkuman terkait persoalan pengelolaan sungai selama ini dan kebutuhan solusi jangka panjangnya, ya seharusnya bisa ditandatangani langsung”, tegas Damar.

Terjadi dialog singkat antara jaringan masyarakat sipil dan perwakilan pemerintah soal penandatanganan komunike bersama. Seperti yang diungkapkan Endang Rohjiani, Ketua AKSY, bahwa para pihak perlu duduk bersama untuk mengurai kekhawatiran masing-masing, kemudian berdiskusi untuk menjawab kekhawatiran tersebut sampai tuntas, lalu menandatangai komunike bersama yang menjadi tindak lanjut usai penyelenggaraan Jambore Sungai.

“Kami jaringan masyarakat sipil sepakat kalau komunike itu harus dirumuskan bersama oleh semua pihak yang akan menandatangani, walaupun sudah jelas kalau komunike itu sifatnya komitmen bersama, ikatan moril pada publik, tapi kalau tidak ditandatangai hari ini (saat seminar nasional –red) ya harus kita agendakan pertemuan lanjutan untuk mengurai kekhawatiran masing-masing, kemudian berdiskusi untuk menjawab kekhawatiran tersebut sampai tuntas, lalu menandatangai komunike bersama ini”, tegas Endang. (Prabu Ayunda Sora/SATUNAMA. Foto : Frysa/Fisipol UGM)

Apa sebenarnya judul dan isi dari komunike bersama itu? berikut adalah isi  komunika bersama  tersebut, terkonfirmasi dari penyelenggara Jambore Sungai ke -2 Yogyakarta, melalui Endang Rohjiani, Ketua Asosiasi Komunitas Sungai Yogyakarta (AKSY) :

KOMUNIKE BERSAMA

PEMERINTAH DAN MASYARAKAT SIPIL

KOMITMEN PENGELOLAAN SUNGAI DAN KEADILAN TATA RUANG

Bersamaan dengan terlaksananya Jambore Sungai Indonesia ke -2, satu forum dialog yang mempertemukan para pemangku kepentingan dan publik dalam mengurai peluang dan tantangan untuk merumuskan langkah strategis dan praksis terkait pengelolaan sungai dalam kerangka keadilan tata ruang. Maka, Pemerintah dan Masyarakat Sipil bermufakat dalam satu komitmen.

Perihal pengelolaan sungai dalam kerangka keadilan tata ruang, Pemerintah bersama para pemangku kepentingan berkomitmen,

  1. Dalam setiap proses pengambilan kebijakan, baik regulasi, program strategis, dan kegiatan, Pemerintah harus selalu melibatkan masyarakat sipil dengan sistem representasi efektif dan terstruktur dan tertuang dalam regulasi dan program;
  2. Merancang satu sistem informasi data terpadu terkait pengelolaan sungai dan tata ruang yang menjamin terciptanya setara informasi (simetri informasi) antar pemangku kepentingan dengan metode partisipatif;
  3. Merancang program terkait tersedianya media-media alternatif yang menjamin terciptanya ruang dialog antar pemangku kepentingan secara berkala dan sistematis;
  4. Merumuskan dan merancang regulasi dan/atau program terkait prinsip, konsep, dan kerangka kerja operasional dimana ada jaminan terhadap proses pengambilan kebijakan yang berbasis bukti;
  5. Menyelenggarakan satu forum Dialog Nasional tahunan untuk refleksi dan evaluasi serta merancanag program kebijakan terkait penguatan kedudukan dan peran komunitas (organisasi warga) dalam proses perencanaan dan penganggaran pembangunan secara sistematis dan terstruktur yang menjamin terpenuhinya aspek akses, partisipasi, kontrol, dan manfaat bagi komunitas terhadap sumber daya pembangunan pengelolaan sungai dalam kerangka keadilan tata ruang;
  6. Pengarusutamaan pengelolaan risiko bencana dan pengelolaan sumber daya alam yang lestari, dan penataan permukiman dalam proses perencanaan pembangunan;
  7. Merancang skema programatik untuk menjawab tantangan pembenahan regulasi terkait kewenangan pusat dan daerah soal pengelolaan sungai dalam kerangka keadilan tata ruang;
  8. Merancang program strategis dan praksis terkait Gerakan Konservasi Fisik dan Biotis pada sektor hulu, tengah, dan hilir untuk Keseimbangan Ekosistem dan Pengelolaan Risiko Bencana;
  9. Peran dan partisipasi media sebagai upaya penguatan advokasi kebijakan dan edukasi publik;

Demikian Komunike bersama ini kami sepakati dan sampaikan kepada Pemerintahan Pusat dan Daerah serta para pemangku kepentingan untuk dapat menjadi bahan pertimbangan dalam upaya  bersama terkait pengelolaan sungai yang menyeluruh dan terpadu dalam kerangka keadilan tata ruang.

Tinggalkan komentar