Membangun Demokrasi Bersama

Hak Asasi Manusia dan demokrasi menjadi topik bahasan di hari ketiga Civic Education for Future Indonesian Leaders (CEFIL) Basic 2017 yang diadakan di Yayasan SATUNAMA, Kamis, (18/5). Sejauh mana bangsa Indonesia memaknai dan mengambil pelajaran dari lintasan sejarah perkembangan implementasi HAM dan demokrasi pun didiskusikan bersama oleh para peserta dan fasilitator. Demokrasi berbasis HAM menjadi sesuatu yang krisial untuk diterapkan di Indonesia.

“Pertanyaan reflektifnya, apakah perjalanan demokrasi kta yang berlangsung sejak 1998 ini sudah memiliki makna terhadap pemenuhan dan penegakan HAM? Sementara agenda demokratik kita seharusnya adalah membuat demokrasi memiliki makna di mata masyarakat dengan terpenuhinya hak-hak mereka.”  Ujar Insan Kamil, fasilitator materi HAM dan Demokrasi..

Jika menilik sejarahnya, kelahiran HAM telah disertai beberapa perspektif yang berpengaruh pada penerapannya. Pertama adalah hak politik masyarakat sipil. Ini yang terus diyakini di negara-negara berhaluan liberal. Kedua adalah hak ekonomi dan sosial yang lebih mainstream di negara-negara yang berhaluan sosialis. Sementara gerakan rights of solidarity muncul di kalangan mereka yang menganggap  bahwa hak-hak komunal harus diperjuangkan.

“Jadi di ruang HAM sendiri ada pertarungan ideologi. Hak politik sangat mengagungkan kebebasan individu. Semua orang harus bebas dari penindasan, kelaparan, bebas untuk memilih keyakinan, untuk orientasi seksual dan sebagainya. Sementara hak ekonomi sosial lebih menekan dalam hal ekonomi. Tidak cukup hanya soal kebebasan, jika eksploitasi masih dimana-mana.” Kata Kamil.

Sementara soal Rights of Solidarity, Kamil menyebutkan bahwa kemunculannya menjadi entitas untuk melawan indutrialisme yang membawa komunitas kepada penghancuran politik rakyat. “Waktu Orde Baru, masyarakat adat diberangus sehingga mereka tidak bisa mengelola potensinya sendiri. Hal ini perlu diperjuangkan agar tidak terulang.“ katanya.

Namun Kamil juga mengingatkan bahwa jika perjuangan tersebut berhasil, perlu adanya undang-undang yang mengatur semua yang berkaitan dengan hal tersebut, agar tidak kembali menyebabkan ketimpangan. Kamil pun menekankan pentingnya melakukan pendidikan kritis ke basis masyarakat untuk mengawali membangun demokrasi yang lebih baik.

“Kita bisa memulainya dengan membangun jaringan di ranah masyarakat sipil, meski memang tantangannya tidak kecil karena di sana ada fragmentasi dan tersegmentasi.” Ujarnya.

Ideologi non diskriminasi diharapkan menjadi salah satu dasar negara dalam menjalankan perannya terhadap warga negara, disertai dengan kesadaran untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak-hak masyarakat.

“Negara tak boleh ikut campur langsung dengan orang-orang yang mewujudkan hak-haknya, Negara justru harus melindungi mereka, agar pelaksanaan haknya tidak diganggu atau dicampuri oleh orang lain sekaligus juga negara wajib menghentikan segala usaha yang menghalang-halangi terpenuhinya hak-hak masyarakat. Kemudian negara juga harus membangun UU institusi norma utk mewujudkan hak-hak masyarakat.” Demikian Kamil.

CEFIL merupakan kiprah kontributif SATUNAMA dalam komitmennya untuk memperkuat Civil Movement pada arena masyarakat sipil melalui Civic Education. CEFIL adalah bagian penting dalam sejarah panjang SATUNAMA yang telah dimulai sejak 1998 dengan para alumni yang tersebar di seluruh Indonesia serta berkomitmen pada nilai-nilai demokrasi. Mereka memiliki peran dalam civil society dan tidak sedikit pula yang bergeser ke political society. (A.K.Perdana/Foto : Banu Badrika)

Tinggalkan komentar