Masyarakat Punya Kewajiban Mengingatkan Media

Media massa sebagai institusi penyalur informasi harus mampu menjadi entitas sosial yang hasil kerjanya memiliki konsekuensi dampak sangat masif terhadap perkembangan peradaban dan sejarah. Karena dari merekalah sebagian besar informasi-informasi yang dikonsumsi oleh masyarakat muncul. Menjadi tidak indah ketika media massa meletakkan kepentingannya lebih kepada semesta hitungan untung rugi dalam konteks ekonomi, meski diakui mereka juga harus berjuang untuk bisa tetap berdiri membiayai dirinya sendiri. Sebuah dilema bisa jadi.

Namun bagaimana pun kewajiban untuk mendidik masyarakat tetap tidak bisa lepas dari pundak mereka. Dan itu tentunya membutuhkan sikap keberpihakan terhadap masyarakat yang kuat. Karena pada masanya kelak, kedewasaan sebuah bangsa akan bisa dilihat dari seberapa terdidik masyarakat dan medianya menggunakan kanal komunikasi dan menyikapi informasi. Apakah digunakan untuk membangun bangsa dan negaranya atau justru digunakan sebagai alat pemenuhan kepentingan pribadi.

Dalam era selaksa digital yang terjadi hari ini, kita tidak bisa menghindar dari terjangan informasi. Kecerdikan dalam menyikapi informasi menjadi sesuatu yang tidak bisa ditawar demi membangun masyarakat yang tidak mudah terhanyut begitu saja dalam banjir informasi. Senin, 10 April 2017, bertempat di Kantor Aliansi Jurnalis Independen Yogyakarta, kepada dua staf media SATUNAMA, Ariwan K, Perdana dan Bima Sakti, Anang Zakaria menuturkan banyak hal dari soal kecenderungan cara kerja jurnalis masa kini, literasi media hingga soal konvergensi media kontemporer guna memberikan bekal pengetahuan bagi kita semua. Berikut petikan obrolannya.

Kita melihat media saat ini menjadi rujukan masyarakat dalam mengakses informasi. Dan dari informasilah masyarakat memliki pengetahuan untuk menunjang kehidupannya. Sebagai pihak yang bekerja untuk menyediakan informasi, apa tantangan terbesar para pekerja media hari ini?

Tantangan terbesarnya adalah bagaimana menyajikan informasi seakurat mungkin. Kalau lihat trendnya sekarang, memang ada pergeseran teknologi hari ini. Dulu orang mengandalkan televisi, Koran, radio sebagai sumber informasi utama, sekarang media sosial bahkan lebih cepat menjangkau masyarakat daripada media massa. Tapi kecepatan itu membawa konsekuensi informasi yang terkadang kurang akurat. Ini sumber tantangan jurnalis hari ini.

Tantangan lain adalah semestinya media massa menjadi semacam filter atau penjernih informasi yang simpang siur. Tapi sekarang ada gejala media massa justru mengekor kepada media sosial. Jadi bukannya menjernihkan, tapi justru ikut menari dalam irama media sosial. Saya tidak mengatakan bahwa media sosial tidak penting, tapi saya pikir jurnalis itu membawa misi publik sebagai kanal informasi yang terpercaya. Ini yang seharusnya tidak boleh diabaikan.

Publik berharap bahwa kalangan jurnalis dapat memegang esensi jurnalisme. Memproduksi dan menyalurkan informasi yang akurat kepada masyarakat. Sejauh mana proses dan tahapan dalam menjalankan ketugasan itu masih dipegang oleh jurnalis hari ini?

Jurnalis sebagai verifikator itu ketugasan yang melekat. Hanya saja banyak kawan-kawan yang kurang kuat dalam melakukan verifikasi. Ambil contoh misalnya kasus penistaan agama yang menimpa Ahok. Saya kira kondisinya tidak akan menjadi seperti sekarang kalau para jurnalisnya melakukan verifikasi dengan kukuh. Itu awalnya dari sebuah video yang menjadi viral dan kawan-kawan jurnalis ikut larut dalam irama itu. Media massa memberitakan media sosial.

Media sosial memang kerap menjadi sumber utama informasi, tapi media massa harus melakukan verifikasi terkait kebenaran informasi itu. Tidak cukup hanya memberitakan apa yang sedang viral itu. Tapi harus datang ke lokasi langsung, menanyakan kepada orang-orang yang mengetahui peristiwa itu untuk memverifikasi apa yang sebenarnya terjadi. Nyatanya kan tidak. Media justru kemudian menggoreng apa yang muncul di media sosial. Jika aktifitas verifikasi dilakukan, publik akan mendapatkan informasi yang berasal dari sumber asalnya. Jadi ketidakdisiplinan dalam melakukan verifikasi ini sangat dapat merugikan publik.

Contoh lain dari ketidakdisiplinan verifikasi adalah kasus Gafatar. Kasus itu muncul dari sebuah unggahan di media sosial bahwa ada seorang ibu dan anaknya hilang. Dan itu menjadi viral. Kemudian wartawan mendapat informasi bahwa ibu dan anaknya itu diculik oleh sekelompok orang yang menamakan diri sebagai Gafatar. Media lalu memberitakan itu secara besar-besaran.

Yang menjadi ironi adalah bahwa tidak ada media yang menanyai si ibu apakah benar dia diculik. Akhirnya setelah memasuki persidangan, si ibu mengaku bahwa dia tidak merasa diculik. Dia pergi ke Kalimantan atas keinginannya sendiri. Tapi sudah terlanjur terjadi bahwa ada ribuan orang yang rumahnya hilang serta kerugian lainnya. Saya tidak bilang ini kesalahan media seluruhnya. Tapi memang ini berawal dari ketidakdisiplinan dalam melakukan verifikasi atas sebuah peristiwa.

Bagaimana bisa jurnalis tidak melakukan verifikasi atas sebuah peristiwa? Apakah ada hal-hal khusus yang menyebabkan mereka bertindak seperti itu? Misalnya penggunaan teknologi yang sudah semakin menggila sehingga seperti yang tadi anda sebutkan media massa cenderung cukup memberitakan media sosial, karena praktis dan cepat.

Yang pertama tentunya soal sisi profesionalitas si wartawan itu sendiri. Profesionalitas itu kan erat dengan kode etik. Bisa jadi mereka kurang memahami kode etik atau justru mengabaikan. Misalnya di kode etik ada ditulis media harus berhati-hati dalam memberitakan sesuatu yang sensitif. Mungkin mereka kurang teliti membacanya atau kurang memahaminya atau yang paling parah sudah tahu tapi mengabaikannya. Sementara teknologi di satu sisi pada dasarnya memudahkan kerja-kerja manusia. Tapi sayangnya justru kemudahan-kemudahan itu juga yang membuat manusia lalai, terjebak di dalamnya.

Kalau begitu apakah bisa disimpulkan bahwa dalam era teknologi komunikasi digital seperti sekarang, kecepatan mendistribusikan informasi memang menjadi primadona?

Tidak juga. Kalau sampai media sekarang berpedoman cepat dulu ralat kemudian, itu bahaya. Atau bahkan cepat dulu dan tidak ada ralat kemudian, itu lebih gawat lagi. Tapi mungkin dulu di awal era internet, kecepatan memang menjadi sesuatu yang euphoria bagi kita. Siapa yang tidak membaca Detik, misalnya. Mereka yang waktu itu informasinya paling cepat. Tapi sekarang tidak hanya Detik. Anda bisa lihat Facebook atau Twitter itu bahkan lebih cepat lagi.

Tapi apakah setiap informasi yang muncul di media sosial itu pasti akurat? Tentu tidak. Tapi saya melihat beberapa tahun terakhir mulai ada pergeseran pemikiran untuk tidak lagi menganggap yang lebih cepat itu lebih bagus di era digital seperti sekarang. Karena sekarang ada juga yang menyajikan liputan yang lebih lengkap dengan ragam multi medianya, dengan video, audio atau grafik misalnya. Bahkan Detik sekalipun yang dulu mengunggulkan kecepatan, sekarang punya laman khusus yang menyajikan artikel yang lebih panjang, sehingga orang membacanya juga lebih kenyang. Saya pikir semua media yang berplatform daring hari ini sudah mulai menyediakan halaman khusus untuk model-model liputan semacam itu dan saya kira ini cukup menggembirakan.

Kita tahu bahwa ada berbagai kepentingan seperti kepentingan pemilik modal yang bisa mempengaruhi independensi media yang bersangkutan hingga kepada para pewartanya. Apakah ada strategi atau cara yang dianut oleh AJI dalam berhadapan dengan situasi seperti ini?

AJI ini organisasi profesi. Kita punya anggota yang salah satunya adalah wartawan, karena di AJI anggotanya tidak hanya wartawan. Tapi ada juga akademisi, kolumnis, karikaturis, bahkan saat ini jurnalis warga juga bisa menjadi anggota AJI. Memang sulit ketika jurnalis bekerja di ruang redaksi sementara ruang redaksinya diintervensi oleh pemilik medianya. Biasanya kalau ada kawan anggota kami yang hasil pemberitaannya tidak ideal menurut kami, kami akan lakukan dialog dengan yang bersangkutan.

Yang lebih punya kebutuhan untuk membatasi kepentingan pemilik modal masuk ke ruang redaksi adalah masyarakat. AJI kemudian mencoba menggandeng masyarakat untuk mengontrol kepentingan pemilik modal terhadap redaksi. Wartawan ini kan sebenarnya hanya pintu keluar masuknya informasi. Kalau kemudian informasi itu terintervensi sehingga menjadi bias, ya masyarakat juga yang dirugikan. Itu sebabnya masyarakat harus ikut mengontrol kepentingan-kepentingan yang potensial menghasilkan informasi yang bias.

Kalau di SATUNAMA misalnya, pernah ada program Melek Media di Radio SATUNAMA. Kami melihat bahwa kebutuhan utama masyarakat hari ini adalah meningkatkan kesadaran bermedia. Mereka tahu bahwa berita di Koran A atau Koran B mungkin tidak sesuai dengan yang ada di lapangan. Tapi mereka tidak tahu bagaimana menyikapi informasi yang dirasa tidak benar itu. Melek Media mengarahkan mereka untuk tahu hak dan kewajibannya terkait informasi yang mereka terima. Misalnya punya hak jawab, hak koreksi, juga bisa mendorong kebebasan pers, serta mengingatkan media. Media mungkin tahu banyak hal, tapi mereka belum tentu benar. Masyarakat punya kewajiban untuk njawil atau njewer (mengingatkan) media. Ini tidak hanya SATUNAMA, AJI juga punya perhatian yang sama dalam hal ini.

Bisa diceritakan apa saja bentuk literasi yang dilakukan oleh AJI?

Kami mencoba aktif di banyak aliansi di masyarakat. Banyak aliansi di Jogja, untuk kasus Udin misalnya, ada koalisi masyarakat untuk Udin dan AJI ada di sana. Saya pikir organisasi-organisasi yang ada di sana datang dengan berbagai gagasan. Di sanalah salah satunya kita menyebarkan gagasan soal literasi media.

Ada satu hal yang baru-baru ini terpikirkan dan beberapa langkah sudah kita lakukan, yaitu bahwa sekarang AJI mulai berpikir untuk memberikan sesuatu kepada warga di sekitarnya. Dulu di kesekretariatan yang lama kami juga sudah mulai melakukannya. Dalam pertemuan-pertemuan warga, kami menyisipkan pesan-pesan tentang literasi media. Meski mungkin belum terlalu luas, karena baru di tataran kampung-kampung, saya kira hal semacam ini penting dilakukan. Kami juga kadang terlibat dalam pelatihan-pelatihan melalui beberapa LSM.

Bagaimana anda melihat kecenderungan sebagian besar masyarakat dalam menyikapi informasi?

Rasa skeptis dan ingin tahu lebih lanjut dari masyarakat bisa menjadi modal. Ada juga yang sinis dalam melihat produk media. Misalnya karena tahu media A punya si anu, maka informasi-informasinya menjadi tidak independen. Saya pikir ini alami. Tapi bagaimana menyikapi kesinisan ini yang harus diedukasikan. Wartawan juga kadang sinis, dan karena sinis atau skeptis itu, kita mencoba menggali informasi lain untuk membantu memahami suatu peristiwa secara utuh. Tapi kalau masyarakat di luar kalangan wartawan -karena wartawan juga masyarakat- cara menyikapi kesinisan ini yang perlu dibentuk menjadi lebih baik.

Kecenderungannya kan kita membaca berita yang kita inginkan. Kita mempercayai sesuatu yang kita inginkan, bukan yang kita butuhkan. Saya sebagai pendukung capres A misalnya. Saya akan lebih banyak membaca informasi yang mendukung capres saya, meskipun mungkin tidak kredibel, tidak akurat. Ketika ada informasi yang menampilkan tentang capres B, saya cenderung tidak bercaya, sekalipun yang diinformasikan adalah hal-hal baik. Ya itu tadi. Kita membaca sesuai keinginan kita.

Padahal kalau orang mau mencari kebenaran, seharusnya lepaskan dulu semua asumsi yang dia pikirkan baru kemudian melihat faktanya. Jadi saya pikir cara menyikapi informasi itulah yang kita masih perlu banyak belajar. Intinya jangan langsung percaya sebuah informasi dari satu sumber. Misalnya kita membaca sebuah berita di sebuah media, kita harus mencari juga bagaimana peristiwa itu diberitakan di media lainnya. Bisa jadi setelah membaca dari banyak sumber, kita masih belum akan menemukan kebenaran faktanya. Tapi setidaknya itu sudah bisa memberikan perspektif yang lebih kaya tentang peristiwa itu.

Media massa sekarang menggunakan banyak perangkat teknologi untuk mendistribusikan informasi. Konvergensi terjadi, Informasi jadi bisa ditemui di mana-mana. Bagaimana dampaknya terhadap masyarakat dan bagaimana pula sebaiknya media memanfaatkan hal ini secara lebih luas untuk kepentingan masyarakat?

Perkembangan media sejak dulu sampai sekarang memang tidak bisa dilepaskan dari teknologi. Kalau media tidak beradaptasi dengan teknologi, ya tamat. Dulu ada teknologi mesin cetak dan muncullah koran, kemudian ada radio, suara di sini bisa didengarkan di tempat lain, muncul jurnalisme radio. Lalu tidak hanya suara, tapi juga gambarnya bisa dibikin, muncullah televisi. Sekarang ada internet yang menggabungkan semua itu dalam satu wadah. Dan trendnya sekarang kan orang membaca berita melalui telepon seluler. Jadi tinggal bagaimana media menyesuaikan diri dengan teknologi untuk memberikan manfaat yang lebih baik dan luas kepada masyarakat.

Bagaimana dengan konvergensi kontennya? Tidak hanya teknologinya saja kan?

Nah ini menarik. Sampai saat ini, yang dimaksud dengan konvergensi media itu yang seperti apa? Saya melihat masing-masing media berbeda dalam menterjemahkan konvergensi itu. Ada yang namanya grup media yang terdiri dari beberapa media. Maka konten dari satu media bisa ditampilkan di media lainnya dalam grup tersebut. Atau mereka membuat satu keranjang (berita) dan media di dalam grup itu bisa mengambil berita yang mana saja dari sana. Ada lagi yang memandang konvergensi dari sisi medium penyampaian informasinya, misalnya ada tulisan, foto dan sebagainya kemudian disuguhkan semuanya kepada masyarakat.

Lalu sekarang ada yang namanya aggregator. Dia menyediakan platform medianya tapi kontennya comot sana comot sini, meski dengan tetap mencantumkan sumber asalnya. Lalu ada yang bikin satu wadah media, lalu nanti orang lain yang akan mengisi kontennya. Dan yang paling kita kenal adalah media yang memang dia punya sumber daya sendiri. Ada wartawannya. Nah lalu yang ideal itu yang seperti apa? Ini memang menjadi tantangan bersama agar bisa bermanfaat bagi masyarakat.

Yang terakhir, netralitas media apakah juga menjadi tantangan?

Sangat. Karena sebenarnya tidak ada media yang netral. Kalau independen dari segala kepentingan itu harus. Tapi media tidak netral. Ada yang bilang bahwa media gives voice to voiceless. Media adalah kanal bagi mereka yang tidak bisa bersuara. Media bekerja untuk kepentingan publik. Maka keberpihakan media ya harus kepada publik. Ini yang menjadi persoalan dan tantangan. Memilih antara bandul kepentingan diarahkan ke publik atau ke orang yang punya duit. Dalam UU No. 40 Tahun 1999, ada empat fungsi media. Pendidikan, hiburan, kontrol sosial dan ekonomi. Bandul kepentingan ekonominya cuma satu. Tiga lainnya merupakan fungsi sosial. Jadi kalau bicara media, maka yang tiga fungsi inilah yang harusnya diutamakan.[]

Tinggalkan komentar