Gerakan Perempuan : Mencari Arah Gerakan

Gerakan Perempuan : Mencari Arah Gerakan

Any Sundari[1]

Setiap tanggal 8 Maret, seluruh negara di dunia memperingati Hari Perempuan Sedunia. Para aktivis perempuan turun ke jalan, membuat aksi guna mendengungkan kembali semangat untuk menuntut kesetaraan dan keadilan bagi seluruh perempuan di dunia. Memperingati Hari Perempuan Sedunia, momentum ini tentu erat kaitannya dengan gerakan perempuan yang menjadi motor penggerak dari seluruh gerakan. Jika kita tilik ke belakang, gerakan perempuan merupakan gerakan yang memiliki nafas dan sejarah yang cukup panjang dalam dinamika politik dunia.

Kurang lebih dari mulai awal abad 20, gerakan perempuan mulai mewarnai perjuangan untuk melakukan perubahan kondisi perempuan di seluruh dunia. Di kota New York, kaum buruh perempuan dari pabrik pakaian dan tekstil mengadakan protes pada 8 Maret 1857. (Murniati, 2004) Para buruh perempuan turun ke jalan guna menuntut upah yang setara dengan laki-laki.

Mereka juga berdemonstrasi untuk menuntut kondisi kerja yang lebih layak. Tuntutan ini mereka gaungkan di tengah maraknya industrialisasi dan ekspansi ekonomi pada masa itu. Gaung gerakan ini kemudian menyebar ke seluruh dunia tak terkecuali di Indonesia. Hingga hari ini kompleksitas persoalan gerakan perempuan di Indonesia pun juga amat beragam.

Perjalanan Liku Perempuan

Catatan tahunan tahun 2017 yang dikeluarkan oleh Komnas Perempuan menunjukan terdapat 259.150 kasus kekerasan yang dialami oleh perempuan, yang diperoleh dari perkara yang ditangani dari 359 Pengadilan agama dan 233 lembaga mitra pengada layanan di 34 provinsi. [2] Dari data tersebut, kekerasan yang paling tinggi terjadi diwilayah personal, yakni kekerasan terhadap istri sebanyak 245.548 kasus yang ditangani oleh Pengadilan Agana da 10.204 kasus kekerasan terhadap istri yang ditangani oleh lembaga pengada layanan di seluruh Indonesia.

Sementara jenis kekerasan ranah personal ini mencakup kekerasan fisik 42% (4281 kasus), kekerasan seksual 34% (3495 kasus), kekerasan psikis 15% (1451 kasus) dan kekerasan ekonomi 10%  (978 kasus). Selain kekerasan di ranah personal, ada kasus kekerasan pula di ranah komunitas dengan jumlah 3092 kasus di mana kekerasan seksual menempati posisi paling tinggi yakni 2.290 kasus dengan detail 1036 kasus perkosaan dan 838 kasus pencabulan.

Jika melihat data diatas, sangat jelas bahwa kasus kekerasan seksual menjadi kasus yang paling darurat dan menjadi perhatian untuk diselesaikan. Selama beberapa tahun terakhir, seluruh aktivis perempuan dan berbagai elemen pendukung isu perempuan, menyuarakan agar draft RUU tentang Kekerasan Seksual segera disetujui oleh DPR[3]. Namun demikian RUU ini hingga detik ini tidak segera disetujui. Munculnya wacana darurat tentang kekerasan seksual ini bukannya tanpa alasan. Serangkaian serangan seksual maupun perkosaan hampir selalu mengintai perempuan dan menjadi headline di berbagai media.

Tempat terjadinya kekerasan seksual pun tidak hanya di tempat umum tetapi juga terjadi di rumah. Pelakunya pun bisa dari sosok yang paling dekat dengan korban. Kekerasan seksual sendiri pun bisa saja terjadi tidak hanya dalam relasi pacaran saja, bahkan kekerasan seksual berupa perkosaan juga bisa terjadi dalam relasi pernikahan atau biasa disebut marital rape. (Marlia, 2007)

Jika kita masih ingat, publik tentu masih ingat beberapa kasus kekerasan seksual yang menggegerkan publik. Masih lekang di dalam ingatan, kasus yang menimpa seorang perempuan yang berinisial RW. RW adalah seorang perempuan yang baru duduk di bangku kuliah. Ia merupakan korban dari seniman SS. SS merupakan seorang sastrawan ternama dan berpengaruh dalam dunia sastra Indonesia. Kejadian ini membuat geger karena kekerasan seksual yang dilakukan oleh SS membuat korban mengalami kehamilan yang tidak dikehendaki.

Kasus kekerasan seksual yang dialami RW sampai hari ini tidak ada penyelesaiannya. Berkas-berkas pemeriksaan tidak pernah sampai ke meja pengadilan meskipun SS menjadi tersangka. [4] SS hingga  hari ini masih tetap melenggang bebas tanpa ada hukuman, sementara korban RW, kini telah melahirkan  tetapi keadilan yang ia perjuangkan sampai kini tidak ada kejelasan. Padahal ia mengalami trauma luar biasa pasca mengalami kekerasan seksual.

Kasus kekerasan seksual yang lain yang cukup menghebohkan adalah kasus yang dialami seorang anak bernama YY. Ia merupakan seorang anak perempuan yang masih duduk di bangku SMP. Saat ia dalam perjalanan pulang sekolah, ia dihadang oleh sekelompok laki-laki yang seumur dengan YY dan kemudian diperkosa sampai meninggal[5]. Kasus ini menggemparkan mengingat semua pelakunya adalah anak-anak.

Selain angka kekerasan di ranah domestik dan di ranah komunitas yang semakin naik setiap tahun, gerakan perempuan juga menghadapi tantangan serius berupa kekerasan dari negara, yakni tercerabutnya perempuan dari ruang hidup di mana ia tinggal. Tercerabutnya perempuan dari ruang hidup ini erat kaitannya dengan pembangunan yang digadang-gadang oleh pemerintah dengan dalih untuk peningkatan ekonomi.

Namun sayangnya, pembangunan ini kerap meminggirkan keseimbangan ekosistem lingkungan dimana air, tumbuhan, dan hewan sebagai bagaian dari semesta alam (Shiva, 2016). Konsep lingkungan dan ekosistem yang terjaga, tidak pernah dipisahkan dari kehidupan perempuan. Perempuan adalah air dan tanah. Semenjak seseorang lahir di dunia, yang ia butuhkan adalah air dan tanah. Di dalam rahim ibu, seorang manusia berenang-renang dalam ketuban ibu. Ketika ia lahir, maka ia membutuhkan tanah untuk menanam tumbuhan yang akan ia makan. Di dalam tanah juga terdapat sumber-sumber air yang menjadi penghidupan manusia di dunia.

Kondisi krisis lingkungan, air dan tanah sebagai dampak dari pembangunan yang dihadapi oleh gerakan perempuan paling terasa jika kita menilik kasus pegunungan Kendeng di Rembang. Pegunungan Kendeng yang merupakan pegunungan karst yang menyimpan air, kini terancam hancur akibat ekspansi modal dengan didirikannya pabrik semen (Dwicipta and Ardianto, 2015).

Munculnya ekspansi korporasi yang kemudian mengeksploitasi alam termasuk di dalamnya perempuan seperti di Pegunungan Kendeng bukanlah barang baru. Sudah sejak zaman kolonial, ekspansi modal telah merambah ke Jawa, utama pasca perang Jawa- Belanda yang terjadi pada rentang waktu 1830-1835. Pasca perang Jawa, Pulau Jawa menjadi arena perebutan sumber daya alam dan eksploitasi bagi negara-negara kolonial.

Kondisi ekspansi modal ini setelah kemerdekaan pada 17 Agustus 1945 juga tidak mengalami perubahan yang berarti. Periode Orde Lama dibawah pemerintahan Soekarno, Indonesia berusaha menancapkan kembali pengaruhnya dan berupaya memperbaiki kondisi ekonomi pasca terjadinya perang kemerdekaan (Syafiie, 1999).

Namun, upaya memperbaiki kondisi pasca kemerdekaan sering kali terbentur oleh tidak adanya stabilitas politik nasional. Ketidakstabilan politik ini terjadi karena kuatnya segregrasi ideologi partai politik dan identitas di tingkat akar rumput hingga tingkatan elit. Pemilu yang diselenggarakan tahun 1955, menjadi puncak kuatnya segregasi basis massa dan ideologi politik (Soyomukti, 2008).

Pemilihan pada masa itu menancapkan partai politik dengan kekuatan nasionalis, Islam dan komunisme sebagai pemenang pemilu. Sepuluh tahun setelahnya, tahun 1965 Orde Lama runtuh akibat adanya gerakan 30 September, yang ditandai dengan ditumpasnya aktivis maupun simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI). Puluhan ribu dan bahkan jutaan orang dibantai oleh militer sebagai konsekuensi dari kudeta politik guna melengserkan Soekarno dari tampuk kepemimpinan.

Setelah kudeta militer 1965, Soekarno kemudian lengser dan digantikan oleh Soeharto. Di depan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Soeharto diberikan mandat untuk menjadi presiden ke-2 Republik Indonesia. Mewarisi ekonomi yang compang camping, Soeharto menyokong kebijakan ekonomi yang liberal dengan membuka sepenuhnya modal asing (Mallarangeng, 2002). Pada periode inilah kolonialisme baru kembali menancapkan kaki-kakinya di Indonesia. Bersama militer di bawah kepemimpinan rezim orde baru, modal-modal asing diberikan tempat yang luas. Periode ini merupakan masa-masa paling kelam dengan represi.

Kasus-kasus pelanggaran HAM kerapkali terjadi. Penggusuran atas nama pembangunan sering menjadi dalih meminggirkan rakyat kecil. Beberapa kasus yang cukup menonjol adalah kasus penggusuran warga di sekitar proyek Kedungombo. Tak terhitung intimidasi yang dialami oleh warga agar mereka pergi dari tanah tempat mereka dilahirkan dengan kompensasi harga tanah yang tidak sepadan (Stanley, 1994).

Rezim yang ditopang oleh kekuatan modal dan militer ini pun kemudian jatuh pada tahun 1998. Turunnya Soeharto pun menyisakan kepedihan bagi gerakan perempuan. Kerusuhan demi kerusuhan yang menjadi momentum runtuhnya Orde Baru menimbulkan banyak perempuan korban kekerasan. Kerusuhan Mei 1998 hingga kini menimbulkan luka pedih bagi perempuan-perempuan etnis Tiong Hoa atau etnis keturunan Cina.

Kerusuhan masal yang  terjadi di berbagai kota termasuk di Jakarta memakan banyak korban perkosaan dari golongan etnis Tiong Hoa (Komnas Perempuan, 2002). Pada masa-masa itu, warga etnis Tiong Hoa menjadi kambing hitam atas ketimpangan sosial dan ekonomi yang terjadi akibat ulah rezim Orde Baru. Ratusan korban perkosaan dari etnis ini hari ini masih bungkam. Di antaranya tak ingin mengaku dan identitasnya diketahui. Padahal korban menderita dan terteror sepanjang hidupnya sementara pelaku tidak pernah jelas dan tidak tersentuh oleh hukum.

Tragedi perkosaan yang menimpa perempuan etnis Tiong Hoa inilah yang menjadi cikal bakal berdirinya Komnas Perempuan. Sesudahnya gerakan perempuan melakukan serangkaian konsolidasi untuk menuntut negara menjalankan perannya melindungi perempuan dari berbagai bentuk kekerasan. Tercatat dari tahun 1998 hingga periode 2004, gerakan perempuan berhasil melakukan serangkaian konsolidasi yang solid untuk meng-goal-kan berbagai instrumen kebijakan yang digunakan untuk melindungi perempuan dari berbagai kekerasan seperti Undang-Undang No 23 Tahun 2004 yang berisi tentang Perlindungan Kekerasan dalam Rumah Tangga (Syukrie et al., 2005).

Undang-Undang ini mejadi pertanda dari keberhasilan gerakan perempuan mengkonsolidasikan agenda gerakannya dengan gerakan-gerakan yang lain. Undang-undang ini menjadi pertanda dimulainya babak baru mengingat selama ini kekerasan di dalam rumah tangga dianggap sekedar sebagai isu yang abu-abu. Hal ini dikarenakan sebelum ada UU ini, perempuan tidak memiliki landasan hukum yang jelas ketika ia ingin melaporkan kasus kekerasan yang ia alami.

Terlebih selain tidak ada landasan hukum yang jelas, perempuan korban kekerasan hidup dalam lingkup budaya partriarkhi. Budaya ini memberikan konsekuensi pada minimnya perlindungan pada perempuan. Acap kali perempuan yang melaporkan kekerasan yang dialaminya dianggap sebagai perempuan yang tidak bisa menjaga keutuhan rumah tangga.

Namun demikian, semangat UU untuk melindungi perempuan dari berbagai kekerasan ini tidak mulus dalam implementasinya. Sejatinya UU ini memiliki semangat perlindungan bagi perempuan korban secara formal hukum. Namun, secara sosiologis UU ini mengalami kemandegan. Amat sedikit perempuan yang melaporkan kasus kekerasan karena beban sosial dan ekonomi yang harus mereka tanggung.

Dalam UU ini, penyelesaian kasus kekerasan ini dilakukan di ranah pidana. Ketika pelaku kekerasan yang merupakan pasangan korban dipenjara, maka secara sosial ia akan dicap sebagai pasangan yang tidak tahu diri dan menghormati pasangan. Belum lagi jika perempuan korban memiliki ketergantungan pada pasangannya. Jika pasangannya dipenjara, tidak ada jejaring pengaman secara ekonomi untuk melanjutkan kehidupannya maupun kehidupan anak-anaknya.

Selain itu UU ini juga memiliki celah, di mana semangat keberpihakan kepada korban seringkali berbalik arah menjadi serangan. UU ini juga kerap digunakan oleh pelaku kekerasan untuk melaporkan korban atas tindak kekerasan. Pelaporan balik yang dilakukan oleh pelaku biasanya terjadi ketika korban melawan karena tidak tahan atas kekerasan yang dialami. Di sisi lain tidak semua aparat penegak hukum memiliki perspektif keberpihakan korban (Kodir and Mukarnawati, 2008).

Dalam logika hukum, aparat sering kali melihat kekerasan hanya terjadi dalam bentuk fisik. Bukti dari kekerasan fisik ini dapat diuji melalui visum. Sementara bentuk kekerasan lain seperti kekerasan psikologis yang sulit untuk dibuktikan secara fisik, sulit untuk dilakukan pembuktian didalam proses penegakan hukum.

Keberhasilan perempuan dalam meng-goal-kan agenda perlindungan kepada perempuan dengan UU PKDRT setelahnya menghadapi persoalan yang serius ketika ia harus dihadapkan dengan menguatnya paham-paham keagamaan. Pertentangan cukup keras ini muncul ketika tahun 2006, muncul rancangan tentang Undang-Undang Pornografi. UU ini menandai menguatnya paham fundamentalisme agama. Melalui formulasi agama dan moralitas, UU ini telah menandai segregasi politik identas.

Gerakan perempuan yang menentang UU ini, mengingat UU ini memiliki konsekuensi berat pada otoritas tubuh perempuan (Merayakan kebebasan beragama, 2009). Melalui UU inilah ruang kebebasan sengaja  ditertibkan sesuai dengan kerangka kekuasaan dan dominasi cara pandang mayoritas. Implikasinya tubuh perempuan adalah obyek yang pertama diatur karena tubuhnya bermasalah dan menimbulkan persoalan degradasi moral bangsa.

Padahal jika memakai logika akal sehat, letak kerusakan moral bukan terjadi karena tubuh perempuan tetapi karena ketidakmampuan seseorang untuk mengendalikan pikiran dan cara pandang. UU ini kemudian tetap diketok yang menandai dimulainya formalisasi agama dalam kebijakan negara.

Selama satu dekade reformasi, terutama ketika ada UU Otonomi Daerah dan UU Pornografi disetujui, gerakan perempuan juga menghadapi tantangan dengan makin menguatnya kebijakan formalisasi syariat atau agama di beberapa daerah. Trend ini menguat sejalan dengan makin menguatnya kelompok-kelompok radikal keagaamaan yang memformulasiskan kepentingannya di gelanggang politik formal.

Komnas Perempuan mencatat terdapat 421 kebijakan diskriminatif di Indonesia sepanjang tahun 2009. [6] Sejumlah aturan diskriminatif tersebut mengatur bagaimana cara perempuan untuk berpakaian, berperilaku, larangan keluar malam, hingga aturan untuk melegalkan poligami. Padahal aturan seperti ini tidak perlu diformulasiasikan dalam hukum resmi misalkan dalam peraturan daerah. Aturan ini mengakibatkan perempuan tidak mendapatkan hak asasi atas tubuhnya sendiri.

Gerakan Perempuan : Sebuah Refleksi

Dengan segala kompleksitas tantangan kedepan, memang harus diakui bahwa gerakan perempuan harus mulai kembali menata ulang arah gerakannya. Pasca reformasi, memang gerakan akar rumput mengalami tantangan dilematis. Secara umum, gerakan sosial kehilangan arah karena keterlambatan repositioning ketika Orde Baru terlengserkan. Ibarat kata, para aktivis menginginkan Soeharto turun tetapi ketika Soeharto turun para aktivis kelimpungan karena gagal mengkonsolidasi gerakan. Akibatnya, reformasi yang digadang untuk bisa gelanggang demokrasi yang bersih justru ditunggangi oleh kelompok elite yang korup warisan Orde Baru.

Pasca reformasi, elite-elite dan pemburu rente peninggalan orde baru masih tetap menduduki posisi strategis dan beramai-ramai mencuri uang negara. Mereka berdalih mengikuti dan menjadi aktor reformasi, padahal tujuan mereka tetap pada kekuasaan yang korup. Memori sejarah yang lemah dari bangsa ini, membuat mereka yang dulunya bagian orde baru dapat berkibar. Dalam arti lain, mereka hanya berganti baju tapi motifnya tetap sama, kekuasaan yang korup.

Secara khusus, gerakan perempuan juga mengalami problematisasi yang sama bahkan cenderung lebih kompleks hingga hari ini. Sejarah memperlihatkan bahwa gerakan perempuan mengalami represi yang paling tajam dibandingkan gerakan yang lain. Di masa sebelum kemerdekaan hingga akhir masa orde lama, gerakan perempuan bekerja secara luas untuk membangun kemerdekaan bangsa ini.

Lahir aktivis-aktivis perempuan yang tidak hanya paham tentang ideologi tapi mampu menggalakkan pengorganisasian di tingkat akar rumput. Pada masa-masa tersebut lahir gerakan yang mendorong kesetaraan dan menuntut keadilan dalam berbagai bidang. Seperti upah, hak-hak perempuan dalam perkawinan hingga upaya pemberantasan buta huruf. Pada massa itu, pengorganisasian massa perempuan ditingkat akar rumput berjalan dengan baik. Namun, masa-masa emas perempuan dapat berorganisasi ini berakhir setelah tragedi 30 September 1965.

Orde Baru dibawah kepemimpinan Soeharto membabat habis seluruh organisasi yang berada di tingkatan desa tak terkecuali gerakan perempuan. Soeharto dengan dukungan militer berhasil melakukan stigmatisasi negatif bagi perempuan yang ikut organisasi, khususnya organisasi Gerwani yang pada masa itu merupakan sayap dari Partai Komunis Indonesia.

Organisasi Gerwani mengalami pembungkaman dan penghancuran karena Gerwani bergerak pada wilayah politik (Wieringa, 2010), Wilayah yang selama ini identik dengan dominasi laki-laki. Dalam rentang waktu orde baru, gerakan perempuan dinormalisasi dalam kerangka ibuisme, dimana organisasi hanya boleh berada digaris komando negara, seperti PKK, Dharma Wanita dan Dharma Pertiwi (Suryakusuma, 1988). Namun demikian, dalam situasi terepresi, mereka tetap bergerak meskipun lamban dan kemudian bersama gerakan sosial lain menumbangkan rezim Soeharto.

Sebagai catatan setidaknya ada beberapa hal yang perlu dicermati untuk menjadi pembelajaran bagi gerakan perempuan kedepan. Pertama, tantangan dari gerakan sosial dan khususnya gerakan perempuan adalah masih minimnya pengorganisasian di tingkatan akar rumput yang terstruktur. Ini adalah pekerjaan rumah yang paling berat dari gerakan perempuan. Banyak organisasi sipil yang bergerak di isu perempuan, sebagian besar masih menggantungkan sustainibilitasnya pada pendanaan luar negeri.

Belum muncul kemandirian dan hanya berkutat pada kegiatan yang teknokratis dan administratif proyek. Kondisi ini menciptakan kekhawatiran ke depan tentang masa depan gerakan perempuan. Bagaimana agenda tetap memiliki bahan bakar sekaligus ada konektitiftas antara apa kebutuhan diakar rumput dengan agenda yang diperjuangkan gerakan perempuan. Pengorganisasian akar rumput menjadi penting untuk memastikan bahwa advokasi yang dilakukan oleh gerakan perempuan benar-benar terimplementasikan dan menyentuh kebutuhan perempuan.

Kedua, gerakan perempuan harus memiliki wacana tandingan dalam menghadapi tantangan menguatnya fundamentalisme dan konservatisme agama. Wacana tandingan ini penting untuk merebut ruang diksursus di ranah publik. Selama ini wacana publik lebih cenderung menganggap perempuan sebagai obyek. Narasi yang muncul lebih banyak menertibkan tubuh perempuan. Perempuan belum menjadi subyek untuk berbicara dan membuat wacana tandingan atas kondisi yang ia alami.

Penguatan diskursus ini menjadi penting bagi pendidikan publik  sebagai modal perjuangan gerakan perempuan. Mengingat melakukan pengorganisiasian tanpa stok wacana pengetahuan akan menghasilkan hasil yang minimal. Sehingga mau tidak mau, gerakan perempuan harus merebut tafsir atas dominasi wacana yang didominasi oleh cara pandang patriarkhi.

Terakhir, gerakan perempuan harus mulai kritis untuk berstrategi dalam kondisi makin menguatnya liberalisasi dan makin maraknya korporasi di Indonesia. Rezim liberalisasi yang menguat, membuat gerakan perempuan harus bisa berkelindan dengan gerakan sosial lain. Harus ada konektifitas antar gerakan untuk memastikan orang-orang yang terpinggirkan dan miskin tidak menjadi korban dengan semakin derasnya proses liberalisasi.

Di saat yang sama, gerakan perempuan harus mampu mengkonsolidasikan strategi dengan menjadikan perempuan sebagai subyek atas perjuangan melawan kapitalisasi dan liberalisme. Hal ini bisa kita lihat ketika kita melihat perjuangan petani Kendeng, di mana perempuan adalah subyek yang berjuang, yang berwacana dan melawan untuk kepentingan perempuan dan anak cucunya.[]


Daftar Pustaka

Dwicipta, Ardianto, H.T., 2015. #Rembang melawan: membongkar fantasi pertambangan semen di Pegunungan Kendeng. Ladang Kata ; Literasi Press.

Indonesia), K.P. (Organization :, 2002. Peta kekerasan: pengalaman perempuan Indonesia. Komnas Perempuan.

Mallarangeng, R., 2002. Mendobrak sentralisme ekonomi: Indonesia, 1986-1992. Kepustakaan Populer Gramedia.

Marlia, M., 2007. Marital rape: kekerasan seksual terhadap istri. PT LKiS Pelangi Aksara.

Merayakan kebebasan beragama: bunga rampai menyambut 70 tahun Djohan Effendi, 2009. . Penerbit Buku Kompas.

Murniati, A.N.P., 2004. Getar gender. IndonesiaTera.

Shiva, V., 2016. Staying Alive: Women, Ecology, and Development. North Atlantic Books.

Soyomukti, N., 2008. Soekarno dan nasakom. Garasi.

Stanley, Indonesia), L.S. dan A.M. (Jakarta, 1994. Seputar Kedung Ombo. Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat.

Syafiie, I.K., 1999. Teori Dan Analisis Politik Pemerintahan: Dari Orde Lama, Orde Baru, Sampai Reformasi. Pertja.

Syukrie, E.S., Asnawi, M., Masykur, N.R., P, M.N. ʼUlama P., Agama, I.D., 2005. Perkembangan pemikiran aktual hukum perkawinan di Indonesia dalam perspektif hukum Islam. Pucuk Pimpinan Muslimat Nahdlatul Ulama bekerjasama dengan Departemen Agama RI.

Wieringa, S.E., 2010. Penghancuran gerakan perempuan: politik seksual di Indonesia pascakejatuhan PKI. Penerbit Galangpress.

———————-

[1] Penulis adalah peneliti gender dan penulis isu-isu perempuan.

[2] http://www.komnasperempuan.go.id/siaran-pers-komnas-perempuan-catatan-tahunan-catahu-2017-labirin-kekerasan-terhadap-perempuan-dari-gang-rape-hingga-femicide-alarm-bagi-negara-untuk-bertindak-tepat-jakarta-7-maret-2017/ diunduh 20 Maret 2017

[3] https://ugm.ac.id/id/berita/12688-mendorong.pengesahan.ruu.penghapusan.kekerasan.seksual diunduh 24 Maret 2017

[4] http://news.liputan6.com/read/2114988/polisi-penyair-sitok-srengenge-tersangka-perkosaan-mahasiswi diunduh 24 Maret 2017

[5] http://regional.liputan6.com/read/2499720/kronologi-kasus-kematian-yuyun-di-tangan-14-abg-bengkulu diunduh 24 Maret 2017

[6] https://m.tempo.co/read/news/2016/08/19/078797094/komnas-perempuan-temukan-421-kebijakan-diskriminatif

Tinggalkan komentar