Perempuan Bersatu untuk Indonesia

Pagi itu, Minggu (4/3), jalanan Sarinah-Istana Negara semarak oleh warna pink, ungu, dan putih. Mereka bergerak bersama dalam rangka Women’s March yang digelar oleh Grup Feminis Jakarta. Olin Monterio, salah satu penggagas Women’s March Jakarta mengatakan meskipun acara ini terinspirasi dari gerakan Women’s March di Amerika, Women’s March Jakarta ingin membangkitkan kesadaran masyarakat Indonesia terhadap isu-isu perempuan.

Kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga di Indonesia tercatat 321.752 per tahun. Terdapat 399 kasus perkosaan terhadap perempuan per tahun. Belum lagi data yang menyatakan setiap 2 hari satu perempuan dibunuh. Isu-isu semacam ini tidak banyak diketahui oleh publik. Padahal posisi perempuan di Indonesia masih kerap mendapatkan diskriminasi dan kekerasan.

Women’s March Jakarta melibatkan lebih dari 30 organisasi perempuan dan HAM untuk turut hadir memberikab aksi solidaritasnya terhadap perempuan Indonesia. Masing-masing membawa isu dan seruan aksi yang ditampilkan dalam berbagai atribut dan poster. Walhi misalnya membawa isu “Keadilan Untuk Perempuan Pembela Lingkungan dan Agraria”.

Migrant Care mengusung suara buruh migrant perempuan dengan membawa spanduk besar “Lindungi Buruh Migran Perempuan dan Jamin Hak-Hak Buruh Migran Perempuan”. Berbagai poster yang dibawa oleh partisipan Women’s March tidak lepas dari menyuarakan masalah perempuan. Salah satu peserta mengingatkan bahwa Indonesia sedang darurat kekerasan terhadap perempuan sambil membawa poster “Sahkan RUU Penghapusan Kekerasan Perempuan”.

Seperti diketahui, pembahasan RUU PKS ini mandeg dalam pembahasan DPR. Beberapa waktu lalu Komnas Perempuan telah menyampaikan draft RUU PKS serta mendorong DPR untuk segera membahasnya. Panitia Women’s March Jakarta telah menyusun delapan tuntutan yang menjadi agenda penting yang merespon permasalahan perempuan Indonesia.

Delapan tuntutan tersebut adalah; Menuntut Indonesia Kembali ke toleransi dan keberagaman; Menuntut pemerintah mengadakan infrastruktur hukum yang berkeadilan gender; Menuntut pemerintah dan masyarakat memenuhi hak kesehatan perempuan dan menghapus kekerasan terhadap perempuan; Menuntut pemerintah dan masyarakat melindungi hidup dan pekerja perempuan; Menuntut pemerintah membangun kebijakan publik yang pro-perempuan dan kelompok marginal lain, termasuk perempuan difabel; Menuntut pemerintah dan partai politik meningkatkan keterwakilan dan keterlibatan perempuan di bidang politik; Menuntut pemerintah dan masyarakat menghapus diskriminasi dan kekerasan terhadap kelompok LGBT; Menuntut pemerintah dan masyarakat lebih memperhatikan isu global yang berdampak pada perempuan, serta membangun solidaritas dengan perempuan di seluruh dunia.

Selain menyuarakan delapan tuntutan atas nama perempuan Indonesia, Women’s March juga diwarnai oleh orasi tokoh perempuan. Musdah Mulia, cendekiawan muslim Indonesia mengawali orasi di depan Istana. Musdah Mulia mengingatkan bahwa Indonesia adalah negara yang beragam, perempuan termasuk warga Indonesia yang harus dijamin hak-haknya. Orasi Musdah Mulia ditutup dengan mengajak seluruh peserta Women’s March membaca Pancasila.

Selain Musdah Mulia, aktivis perempuan yang turut berorasi adalah Mariana Amirudin, mantan komisioner Komnas Perempuan. Sementara Helga Worotitjan membacakan puisi yang menggugah di depan peserta. Women’s March yang merupakan bagian dari menyambut Perayaan Hari Perempuan Internasional dimeriahkan oleh penampilan Melanie Soebono, Grup Band Sister In Danger, dan kelompok Bengkel Tari Ayubulan.

International Women Day di Yogyakarta

Sementara itu di Yogyakarta, Jaringan Perempuan Yogyakarta dan Komite Perjuangan Perempuan menggelar aksi bersama di #Titik Nol kilometer Malioboro pada Rabu (8/3). Sejumlah aktivis perempuan Yogyakarta berkumpul dan bergantian orasi. Komite Perjuangan Perempuan mengawali dengan melakukan long march dari Terminal Abu Bakar Ali menuju Titik Nol kilometer. Naomi Srikandi dari JPY membacakan delapan tuntutan yang mendesak terhadap kepentingan perempuan Yogyakarta.

Delapan tuntutan perempuan Yogyakarta sebagai berikut; Menuntut Negara untuk mempertahankan situasi toleransi dan keberagaman; Menuntut Negara untuk memastikan jaminan, perlindungan hak yang seutuhnya atas kebebasan orientasi seksual, identitas dan ekspresi gender bagi setiap warga negara; Menuntut Negara untuk memenuhi hak atas sumber daya alam bagi perempuan; Menuntut Negara untuk menyelesaikan konflik sumber daya alam yang menjadikan perempuan sebagai korban; Menuntut Negara untuk memenuhi akses layanan bagi perempuan sebagai bagian dari warga negara; Menuntut Negara untuk menyelesaikan kasus kekerasan dan pelanggaran HAM terhadap perempuan; Menuntut Negara untuk menghapus kebijakan yang diskriminatif terhadap perempuan; Menuntut Negara untuk segera mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, RUU Perlindungan PRT, dan kebijakan lain yang melindungi hak perempuan.

Dalam orasinya Naomi juga menyinggung beberapa insiden yang menyasar terhadap kelompok perempuan dan situasi perempuan di Yogyakarta. Mulai dari penyerangan IDAHOT 2015, Penutupan paksa Ponpes Waria Al Fatah 2016 penyerangan Ladyfest tahun 2016. Selain itu juga disebut pembuatan Bandara di Kulonprogo dan Sultan Ground yang mencabut perempuan dari tanah dan air.

Peringatan Hari Perempuan Internasional Yogyakarta mengajak peserta untuk menuliskan harapannya kepada perempuan Indonesia yang dibentuk menjadi bangau. Acara ditutup dengan mengajak seluruh peserta menari “Jampi Gugat” yang merupakan tarian perlawanan perempuan. (Makrus Ali/SATUNAMA)

Tinggalkan komentar