Ideologi Feminisme Sebagai Pemersatu Gerakan

Gerakan perempuan selalu mendapatkan perhatian dan ruang diskusi yang ramai di berbagai ranah sektor dan kalangan. Sejak dibukanya kran demokrasi yang lebih praktikal di Indonesia kontemporer pada 1998, gerakan perempuan menjadi salah satu gerakan yang ikut menemukan ruang yang lebih lega dibandingkan ketika era Orde Baru berlangsung.

Hari ini ide-ide, pemikiran dan kiprah gerakan perempuan tidak hanya mewarnai beragam aturan dan kebijakan di Indonesia, tetapi juga mendorong tumbuh dan berkembangnya organisasi-organisasi atau komunitas-komunitas gerakan perempuan, termasuk beberapa individu yang dikenal memiliki motivasi dan dedikasi kuat terhadap perwujudan ideologi gerakan perempuan juga terus berkiprah. Meski diakui, tantangan-tantangan yang dihadapi gerakan perempuan juga bukan berarti tidak ada.

Salah satu figur perempuan yang sangat intens menuangkan segenap sumber daya yang dimilikinya dalam gerakan perempuan adalah Dewi Candraningrum. Selain aktif dalam gerakan, lulusan doktoral Universitaet Muenster, Jerman ini juga menjadi pengajar di Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) dan juga mengisi kajian perempuan di UI dan UGM, serta ikut mendirikan komunitas Jejer Wadon di Solo. Ibu dari seorang anak bernama Ivan Ufuq Isfahan ini juga dikenal sebagai pelukis, sebuah aktivitas yang juga digeluti oleh sang anak.

Bertempat di studio lukisnya yang adem di bilangan Pengging, Boyolali, Dewi bertutur tentang dinamika gerakan perempuan di Indonesia hingga aktifitas melukisnya kepada Ariwan K. Perdana (Satunama.org) dan Makrus Ali (Staf Desk Perempuan dan Politik Yayasan SATUNAMA) pada hari Minggu (26/2). Silakan simak petikan obrolannya:

Gerakan perempuan di Indonesia saat ini di satu sisi terasa intens namun di sisi lain juga terkesan seperti kurang terkonsolidasi. Bagaimana sebenarnya mbak Dewi melihat konsolidasi gerakan perempuan di Indonesia saat ini?

Konsolidasi itu harusnya lebih ke visi. Visi dan konkret materialisasi dari advokasi. Karena tidak mungkin ideologi tidak termaterialisasi. Kalau konsolidasi kelembagaan atau institusional itu sifatnya sebagai alat. Konsolidasi yang paling utama itu ya konsolidasi visi. Kayak gerakan perempuan yang di Kendeng itu, kenapa itu bisa jadi luar biasa karena konsolidasinya adalah konsolidasi visi. Jadi tidak ada misalnya Jurnal Perempuan mempelopori cerita soal Kendeng dari perspektif perempuan kemudian itu menjadi satu-satunya klaim. Jadi tetap konsolidasi visi yang utama. Karena dengan begitu semua lembaga dan institusi bahkan negara juga bisa masuk. Kalau sudah seperti itu sudah tidak bisa lagi disebut bahwa gerakan perempuan di Indonesia terpecah-pecah. Modus gerakannya mungkin berbeda, tapi visinya sama. Semua kan ingin meraih kesetaraan dan keadilan.

Lalu bagaimana strategi untuk mendorong kepada titik temu konsolidasi visi ini?

Titik temu itu tinggal diuji dari materialisasi hasil. Misalnya soal UU yang mengatur 30% perempuan. Itu kan materialisasi dari konsolidasi sebelumnya. Kemudian yang kedua, konsolidasi visi itu kan sifatnya intersectional. Persinggungan. Karena setiap individu memiliki pendekatan yang berbeda. Saya misalnya tidak sama dengan mbak Nursyahbani (Katjasungkana), sumbangan beliau itu ada di ranah mitigasi. Atau Gadis Arivia yang kontribusinya di pemikiran atau Farwiza Farhan yang kontribusinya besar dalam penyelamatan hutan. Jadi setiap individu itu memang harus kita namai secara spesifik. Sementara kalau visi, itu bisa kita buat menjadi sesuatu yang umum. Kita bisa melakukan generalisasi terhadap visi. Tapi kalau materialisasi dari visi tidak bisa digeneralisasi. Itu yang kemudian terkesan seolah gerakan perempuan terpecah-pecah. Padahal secara roh dan semangat kita semua sama.

Terkadang memang ada sedikit pergeseran karena tantangan-tantangan yang dihadapi. Ambil contoh misalnya Kartini. Dia itu kaya, ningrat dan impiannya adalah keluar dari rumah. Sementara para TKW, mereka tidak kaya dan impiannya justru ingin balik ke rumah dari Malaysia dari Saudi Arabia dan lain-lain. Lalu apakah keduanya bisa disebut sebagai feminis? Iya. Karena cita-citanya sama yaitu kemerdekaan. Yang satu ingin merdeka di luar, yang satu ingin merdeka di dalam rumah. TKW itu kan terpisah dari keluarga dan anak-anaknya, harus mencari nafkah di luar, sementara dia lebih menyukai berada di rumah, menurut saya. Jadi memang modusnya tidak harus sama. Tapi visinya sama.

Kalau dalam Butler ada yang namanya mobilitas. Mobilitas ini bisa berbeda. Berbeda itu dicirikan oleh dua hal, yaitu kelas dan krisis. Kalau kita mau menampilkan kelas tapi tanpa menampilkan krisis, maka kelas tak akan terlihat. Contohnya Sukinah. Dia punya tanah di Kendeng, kemudian dia dipaksa menjual tanahnya. Kita harus menunjukkan pada dunia bahwa ada petani yang dipaksa menjual tanahnya di Kendeng. Ini namanya showing the crisis. Dengan memperlihatkan krisis pada dunia luar, maka kelas akan terlihat. Jadi kelas akan terlihat ketika kita memperlihatkan krisis atau problem di situ. Nah, mobilitasnya itu kemudian diarahkan untuk mencari solusi dari krisis masing-masing karena setiap kelas punya krisis yang berbeda-beda.

Kelas bawah, menengah atau atas punya problem masing-masing. Orang seperti Dian Sastrowardoyo misalnya. Setiap kali ada pendatang baru yang lebih muda dalam dunianya, dia akan terancam. Ada yang lebih cantik lagi, dia akan terancam. Dalam dunia mode atau keartisan itu kan sangat sexist. Di atas 30 tahun mungkin udah nggak kepake. Itu sangat jahat. Demikian juga dunia pramugari. Harus tinggi, harus cantik dan sebagainya. Lalu kalau problemnya Sukinah apa? Problemnya adalah ketidakadaan lahan atau kerusakan ekosistem. Perusahaan semen itu kan merusak ekosistem. Sukinah jadi tidak bisa bertani. Nah dengan memperlihatkan krisis di setiap ceruk itu, kita akan bisa melihat usaha-usaha mereka yang kita sebut sebagai mobilitas.

Saya selalu melihat secara positif dalam semua hal. Bahwa setiap perempuan itu sangat kuat dalam memperjuangkan konteksnya masing-masing. Maka perempuan mau jadi peneliti, akademisi, aktivis atau apapun akan semakin baik kalau kita semua bisa melihatnya secara intersectional. Persinggungan yang ada serta kelas sosial dan krisis-krisis yang dihadapinya.

Seberapa kuat ikatan visional itu bisa menentukan arah perjalanan bersama gerakan perempuan?

Saya misalnya pernah ke Surokonto Wetan (Kendal-Jateng). Tiga perempuan yang saya wawancarai di sana pernah kerja di Taiwan dan Hong Kong karena mereka TKW. Dalam wawancara mereka bilang “Kalau saya tidak bisa garap lahan, saya akan jadi TKW saja”. Dalam momen semacam itu saya jadi ingat (aktivis) Anis Hidayah, ingat Melanie Subono. Saya jadi merasa hangat, karena mereka juga memperjuangkan (tentang TKW) itu.

Ingatan-ingatan intersectional atau ingatan-ingatan kebersambungan matra itu penting karena pertama, kita tidak akan merasa sendirian. Kedua, kita tidak merasa jadi sok pahlawan. Ketiga, kita sadar bahwa kita harus selalu bergandengan tangan. Dan keempat, lewat intersectional itu gerakan akan menjadi kukuh. Semua sendi dalam perjuangan perempuan bekerja keras untuk itu. Misalnya saya bekerja untuk mereka (warga Kendeng) agar tidak kehilangan tanahnya, sama nilainya dengan mbak Anis Hidayah yang di Malaysia berjuang agar misalnya Si X tidak dihukum pancung. Tidak bisa kita berpikir bahwa satu individu akan hadir di semua level. Karena kan terbatas ruang dan waktu.

Selain konsolidasi visi, hal atau strategi apa lagi yang harus disadari dan dilakukan untuk mengukuhkan gerakan perempuan?

Kita bisa melakukan inovasi. Saya melukis untuk Kendeng misalnya. Saya menyebutnya sebagai inovasi gerakan. Karena advokasi lewat lukisan nampaknya masih jarang terekspos. Saya tidak bilang tidak ada, pasti ada hanya masih jarang. Mungkin salah satu yang sudah (melakukan) adalah NobodyCorp dan yang lain.

Dalam melukis itu saya tidak mengklaimnya sebagai kerja sendirian karena saya terinspirasi oleh NobodyCorp misalnya. Saya juga terisnpirasi dari karya-karya stensil dan mural teman-teman yang ingin saya beri sentuhan rohnya rahim. Saya ingin membuat ini lebih serius, bukan untuk konsumsi sehari tapi untuk sepanjang jaman. Seperti fine art. Seni rupa serius yang mencari kolektornya juga tidak mudah.

Tapi saya berusaha membuat modus koleksi itu lebih sederhana. Sehingga saya ingin yang mengkoleksi nantinya bisa siapa saja. Harganya bisa berapa saja. Karena saya ingin meruntuhkan mitos bahwa fine art itu mahal. Karena mitos cenderung tidak benar atau kalaupun benar ya hanya sekali saja. Dan itu merusak pengetahuan. Saya ingin meruntuhkan itu. Jadi siapa saja yang datang dengan minat terhadap karya saya dan dengan kecocokan negosiasi, lukisan itu bisa dikoleksinya dengan harga yang bisa sangat mahal atau bisa juga sangat murah. Sifatnya adalah pengasuhan terhadap karya. Mau berapapun harganya, karena ini juga menyumbang kepada proses advokasi, maka karya ini adalah milik mereka yang kita advokasi juga. Karena fungsi dari lukisan saya adalah untuk advokasi dan dokumentasi.

Artinya mbak Dewi bermaksud membuka jalan agar pengetahuan yang terdapat dalam karya-karya itu seharusnya menjadi milik semua orang dan tidak terbatas hanya pada mereka yang mampu secara finansial untuk mengkoleksinya. Lalu bagaimana anda memandang diri anda sendiri saat ini yang aktif di gerakan perempuan sekaligus menciptakan karya-karya seni?

Saya tidak bisa mengklaim bahwa diri saya adalah pelukis. Kalau saya ditanya tentang diri saya apakah dosen, pelukis atau aktivis atau yang lain, biasanya pertama-tama saya akan menjawab bahwa saya adalah manusia. Dan saya tidak bisa bilang saya pelukis, karena saya masih terus belajar (dalam melukis). Karena saya kan tidak (punya latar belakang) belajar seni rupa secara teknis.

Bagi saya, melukis adalah praktik berpikir. Yang saya lukis tidak ada yang abstrak. Yang saya lukis itu ada tokohnya (figurnya). Prosesnya berangkat dari konteks tertentu. Bukan berangkat dari fantasi atau impian yang tidak jelas. Dan setelahnya, karya tersebut akan jadi alat advokasi. Misalnya (lukisan) Udin saya donasikan ke AJI. Atau lukisan-lukisan saya yang lain yang saya hadiahkan begitu saja kepada banyak pihak. Jadi saya ingin meruntuhkan mitos soal lukisan. Karena harga dari lukisan saya adalah cinta.

Kalau soal sejarah gerakan perempuan, bagaimana mbak Dewi melihat perjalanan sejarah gerakan perempuan di Indonesia? Sejak kapan sebenarnya dimulai?

Kalau kita meneropong serakan yang ada, dulu ketika Jepang melakukan aneksasi ke Timor Timur, itu para perempuannya supaya tidak dijadikan Ianfu, mereka memutuskan semua anak perempuan ditato, sehingga satu desa semua selamat. Itu juga merupakan gerakan perempuan menurut saya. Lebih tua bahkan dari (tahun) 1965. Lalu di era Soekarno kita mengenal S.K. Trimurti atau Umi Sardjono. Jadi sebenarnya sudah dimulai sejak lama.

Sebelum Indonesia merdeka, saya kira tokoh-tokoh perempuan kita banyak di berbagai daerah. Misalnya Ratu Shima. Saya akan menerbitkan sebuah buku yang di dalamnya akan ada sub-bab tentang warisan genetik Kartini. Kenapa gerakan di Kendeng itu kuat nafas perempuannya, saya melacak mulai dari Ratu Shima, Nyai Ageng Ngerang, Ratu Kalinyamat, Kartini dan kemudian Sukinah. Ada sekitar 6 generasi. Saya melihat apakah struktur masyarakatnya atau secara sosial historis memang memungkinkan orang seperti Sukinah untuk berani tampil. Karena sebelumnya kan Ratu Kalinyamat juga berani mengusir Belanda sampai ke Sulawesi. Itu sambungannya sangat kuat.

Kemudian saya juga mengkaitkannya dengan semangat feminisme. Kalau dalam terminologi hari ini misalnya ada He For She. Ganjar (Pranowo – Gubernur Jawa Tengah) misalnya tahun lalu dapat award He For She, saya justru berpikir bahwa He For She itu lebih tepat diberikan kepada Joko Prianto atau Gun Retno misalnya. Karena mereka yang selama ini mendampingi ibu-ibu (Kendeng) itu dan bahkan meresikokan nyawanya demi bumi. Mereka orang-orang yang mengibu kepada bumi. Menemukan laki-laki seperti mereka pada jaman sekarang tidaklah mudah. Yang punya rasa hormat tinggi kepada bumi sebagai ibu, yang memandang bumi, air dan sebagainya dengan cara yang memuliakan.

Setelah 1998 terasa ada spirit untuk melakukan gerakan perempuan untuk sampai kepada akumulasi dari pencapaian-pencapaiannya. Namun nampaknya kita tidak menduga akan ada kelompok-kelompok kanan yang muncul dan mendukung usaha-usaha objektifikasi perempuan. Pasca reformasi memang nampak ada peluang-peluang baru yang tercipta bagi gerakan perempuan tapi juga sekaligus muncul tantangan-tantangan yang berhasil masuk ke ruang publik dan politik. Bagaimana mbak Dewi melihat itu?

Itu salah satu ciri dan hadiah dari demokrasi. Dalam demokrasi dan liberalisme semua mendapat tempat, termasuk yang anti kebebasan dan anti demokrasi sekalipun. Solusinya bagaimana agar semua bisa mendapat tempat dan adil? Harusnya aparat atau negara itu hadir. Di Jerman misalnya. Demo garis kanan boleh diadakan, tapi ada aparat yang hadir untuk mengamankan sehingga tidak timbul kerusakan-kerusakan. Tapai kalau di sini, karena kita masih berada di tataran transitional democracy, negara tidak hadir. Justru ada oknum-oknum, saya nggak bilang negara, tapi oknum yang memanfaatkan keberadaan kelompok-kelompok tertentu untuk kepentingannya. Transitional democracy memang punya ciri begitu dan tidak terelakkan. Maka tetap kuncinya adalah negara harus hadir sebagai pihak yang menjamin bahwa yang namanya ideologi boleh diyakini, akan tetapi materialisasinya tidak boleh sampai melanggar cita-cita demokrasi itu sendiri.

Kalau kaitannya dengan prinsip dan gerakan feminisme sendiri, bagaimana mbak Dewi melihat dampak posisi kita yang tengah berada di level demokrasi transisi ini?

Untuk prinsip feminisme sendiri, feminisme itu sekarang juga dibajak. Angela McRobbie menyebutnya sebagai discounted feminism atau price tagged feminism. Feminisme yang tidak utuh. Mengambil beberapa prinsip tertentu dari feminisme tapi membuang prinsip lain yang sekiranya tidak masuk dalam kepentingannya. Jadi kalau menurut McRobbie, feminis yang benar itu adalah yang benar dan clear dari A sampai Z tidak ada discount atau pemotongan ideologi tertentu. Harus memahami dan menyadari lintas matra. Karena ada lho feminis yang menolak isu lingkungan atau isu seperti LGBT.

Nah terkait pemahaman feminisme yang seharusnya jernih namun kemudian muncul yang namanya discounted feminism ini, apa menurut mbak Dewi yang mendorong munculnya remahan-remahan feminisme yang tidak utuh ini?

Paradigma modern kan  spirit utamanya ke arah spesialisasi, fragmentasi, pengasingan. Ada yang orang yang (kuliah) di jurusan agama atau sastra atau yang lain. Kita saling terasing. Oleh karenanya kajian gender atau perempuan itu juga harus berpikir secara intersectional. Multidisiplin. Tidak bisa sendiri-sendiri. Isu seksualitas tanpa dikaitkan dengan isu ekologi, itu sama saja bohong. Kalau kita habis BAB butuh air untuk bersih-bersih, tapi kalau airnya tercemar semen terus bagaimana? Jadi apakah isu seksualitas dengan isu ekologi atau pabrik semen itu dekat? Jelas dekat.

Maka solusinya memang kita harus bisa melihat secara multi-matra atau multi-dimensi. Dan itu hanya bisa dilakukan dengan tenggang rasa, saling kerjasama, komunikasi yang baik antar individu dari berbagai matra, saling apresiasi. Karena sesungguhnya semua orang bekerja keras di wilayahnya masing-masing.

Kalau dalam politik bagaimana? Sekarang kan masih terus didorong munculnya kondisi-kondisi yang memungkinkan perempuan untuk dapat berkiprah di politik.

Politik di Indonesia kan sudah direduksi. Kalau kebanyakan orang mendengar politik, maka yang melintas di benaknya tidak jauh-jauh dari partai atau pemilu. Padahal itu hanya sebagian dari politik. Tapi kalau dalam etos gerakan, sebenarnya semua orang berpolitik. Jadi pemahaman politik yang hinggap di banyak orang hari ini saya curigai sebagai politik yang sudah direduksi. Padahal politik sebenarnya luas. Dia adalah etos. Tinggal apakah politik yang dilakukan itu berbahaya atau tidak, itu tergantung motif dibaliknya. Menganalisis motif di balik tindakan politis seseorang kan tidak sederhana, misalnya kita harus tahu dulu soal integritasnya selama bertahun-tahun.

Tapi kalaupun misalnya bicara soal perempuan yang berkiprah di politik dalam ranah partai atau pemilu, saya pikir cukup banyak berita gembira. Sudah ada mereka-mereka yang berhasil berkiprah di sana. Hanya saja patut digali lebih jauh soal visinya. Visi mereka juga harus jernih. Tidak hanya secara fisik mereka hadir di sana. Memang masih perlu banyak penguatan. Kalau misalnya SATUNAMA mau bikin penguatan kapasitas bagi politisi perempuan sebaiknya sasarannya adalah bagaimana menguatkan perspektif gendernya. Itu dulu yang harus digarap.

Hari ini kita lihat ada beberapa politisi perempuan yang ternyata juga tersangkut kasus korupsi. Ternyata selain soal visi ada hal lain yang juga harus diperhatikan, misalnya soal integritas. Apa pandangan mbak Dewi soal itu?

Kita bisa melihatnya dari kajian gender atau bisa juga melihatnya kajian politik, khususnya kroni atau dinasti. Di Klaten dan Banten, itu yang terjadi. Perempuan naik karena dia istrinya bupati atau menantunya bupati dan sebagainya. Jadi awalnya dia bisa berada di posisi itu bukan karena dia perempuan, tapi karena dia punya ikatan dengan figur atau kelompok politisi tertentu. Itu ciri-ciri politik dinasti. Tipikal politik Asia Tenggara. Misalnya Aung San Suu Kyi yang bapaknya presiden. Megawati juga karena bapaknya presiden. Politik dinasti itu kan lahir dalam masa feodal. Feodalisme dicirikan dengan tiga hal; Tuhan, raja dan rakyat. Tuhan dan raja dipakai sebagai legitimasi terhadap rakyat. Ini berbeda dengan demokrasi yang meletakkan kekuasaan kepada rakyat. Yang terjadi di Klaten dan Banten tidak jauh berbeda. Mereka terjun ke politik pertama-tama bukan karena mereka perempuan tapi karena ada ikatan hubungan dengan si politisi A atau politisi B. Maka memang kita harus menganalisis atau melacak akarnya. Misalnya dia (seorang politisi perempuan) adalah bagian dari dinasti politik tertentu atau tidak.

Kemudian dilacak juga tentang perspektif gendernya. Kita harus uji visinya. Kalau visinya tidak teruji, kita tidak bisa menyebutnya sebagai politisi perempuan. Seorang politisi perempuan baru bisa disebut sebagai politisi perempuan kalau dia benar-benar punya visi yang jernih tentang perempuan. Bukan cuma fisiknya saja yang perempuan, tapi visi dan spiritnya justru tidak (bermuatan) perempuan.

Terakhir, apa saja tantangan-tantangan di level basis yang harus dapat dilewati agar gerakan perempuan ini dapat  berjalan sesuai ideologinya?

Sejauh ini teman kita ya hanya sesama aktivis. Harapannya antar sesama aktivis harus bisa saling apresiasi. Kalau budaya yang berkembang adalah merasa diri atau apa yang dilakukannya lebih hebat dari yang lain, akan jadi susah untuk dapat saling berteman.

Kemudian literasi feminisme. Feminisme harus dipahami secara mendalam. Itu yang sering terlupakan dalam gerakan karena kita kadang terlalu sibuk dengan advokasi. Itu tidak salah juga karena sejauh ini negara memang belum hadir. Di Indonesia terjadi kerusakan infrastruktur kenegaraan. Kebanyakan partai politik sekarang tidak bisa kita sebut sebagai benar-benar partai politik karena merupakan bentukan pihak-pihak seperti pengusaha atau dinasti politik atau militer. Di Indonesia partai bukan lagi partai tapi malah menjadi korporasi tersendiri.

Jadi menurut saya tantangannya adalah melakukan literasi ideologi dan mendorong kehadiran negara dalam menyediakan jalan bagi ideologi itu.

Satu pemikiran pada “Ideologi Feminisme Sebagai Pemersatu Gerakan”

Tinggalkan komentar