Pilkada Serentak 2017: Menyambut Perempuan Kepala Daerah

Pilkada Serentak 2017 : Menyambut Perempuan Kepala Daerah

Oleh : Makrus Ali

Abstrak

Pada tanggal 15 Februari mendatang, beberapa daerah di Indonesia menggelar hajatan politik lima tahunan. Sebanyak 7 provinsi, 76 Kabupaten dan 18 Kota akan memilih calon kepala daerahnya masing-masing. Berdasarkan data KPU, Pilkada serentak 2017 diikuti oleh 620 calon kepala daerah atau 310 pasangan calon. Jika dipilah berdasarkan gender, hanya ada 45 calon perempuan yang ikut berpartisipasi dalam kontestasi Pilkada. Angka partisipasi perempuan yang masih rendah, hanya 7.3% harus berjibaku dengan calon laki-laki yang lebih mendominasi. Maka tidak mengherankan jika dalam setiap perhelatan Pilkada, dominasi laki-laki yang terpilih menjadi kepala daerah tidak terhindarkan. Bagaimanakah peta calon perempuan dalam Pilkada serentak 2017? Apakah calon perempuan bisa memenangkan pertarungan Pilkada? Modal apakah yang harus dimiliki calon perempuan dalam memenangkan Pilkada? Tulisan ini tidak hanya melakukan pemetaan rerhadap 45 calon perempuan dalam Pilkada serentak 2017. Sekaligus menganalisa sejauh mana potensi kemenangan calon perempuan dalam Pilkada serentak 2017.

 

Perempuan dan kepemimpinan di Indonesia

Kepemimpinan perempuan di ruang publik sejauh ini masih menjadi perjuangan panjang bagi terwujudnya kesetaraan gender. Status warga kelas dua yang dilekatkan pada perempuan menyebabkan marginalisasi perempuan dalam ruang politik. Marginalisasi perempuan berlangsung secara multidimensional yang disebabkan banyak faktor, mulai dari kebijakan pemerintah, tafsir agama, kultur lokal bahkan asumsi ilmu pengetahuan (Fakih:2001).

Kepemimpinan perempuan di Indonesia terus mendapat tantangan sekaligus pertentangan. Survey yang dilakukan oleh Asia Baromater tahun 2014 mengkonfirmasi hal ini. Asia Barometer menguji sejauh mana resistensi publik terhadap keterlibatan perempuan dalam politik. Dari 7 negara Asia Tenggara, Indonesia menempati tingkat resistensi tertinggi. Sebanyak 45.6% menolak keterlibatan perempuan dalam politik. Artinya politik Indonesia belum inklusif terhadap perempuan. Berbeda dengan Thailand yang dalam survey ini tingkat resistensinya hanya 15.9%. Dibandingkan dengan Malaysia, negara yang notabenenya memiliki kultur sama dengan Indonesia, politik Malaysia lebih ramah terhadap perempuan dengan tingkat resistensi sebesar 20.8%.

Subordinasi politik perempuan tergambar dalam sejumlah rilis data yang dikeluarkan berbagai lembaga global. Pada tahun 2014, World Economic Forum melakukan pemeringkatan gap gender terhadap 136 negara. Hasilnya Indonesia menempati peringkat 97. Posisi yang tidak lebih baik dari Singapura (59), bahkan dari Bangladesh (68), negara yang secara GDP jauh lebih rendah dari Indonesia. Dari sisi keterwakilan perempuan dalam parlemen, Timor Leste berada diposisi pertama dengan 38.5%. Indonesia dengan 16.8% berada diposisi 7 dari 11 negara kawasan Asia Tenggara lainnya (Kas:2015). Pencapaian 16.8% merupakan hasil dari kebijakan afrimasi yang membuka jalan kesetaraan bagi perempuan di bidang politik. Kebijakan affiramtive action melalui kuota 30% mulai diterapkan dalam pemilu 2004, 2009 dan 2014. Sayangnya sampai hari ini kebijakan afirmasi belum mampu memaksimalkan partisipasi perempuan dari segi kuantitas maupun kualitas.

Kondisi ini disebabkan oleh sistem pemilu maupun sistem politik yang belum memungkinkan partisipasi politik perempuan yang maksimal (Adriana dan Ruth:2014). Hal ini ditambah dengan kultur masyarakat yang resisten pada keterlibatan perempuan dalam politik seperti dilansir oleh Asia Barometer.  Minimnya partisipasi politik perempuan karena adanya patriarkisme politik yang membelenggu ruang gerak perempuan. Laki-laki lebih diuntungkan oleh sistem maupun kultur yang mengidealisasikan kepemimpinan laki-laki.

Berangkat dari paparan di atas, rupanya kepemimpinan perempuan masih menjadi persoalan dalam kultur politik di Indonesia. Perempuan selalu dilihat sebelah mata, baik secara kualitas maupun kapasitasnya. Pandangan agama yang hanya mengakui kepemimpinan laki-laki dalam konsep imam sama sekali menutup kesempatan perempuan. Namun demikian, atas dorongan kebijakan afirmatif perlahan kiprah politik perempuan menuai jalannya. Meskipun kuota 30 persen belum maksimal, namun harus diakui merupakan terobosan yang membua ruang partisipasi politik perempuan. Kebijakan afirmatif merupakan “struktur kesempatan” yang sengaja diciptakan untuk mengintervensi percepatan keterwakilan perempuan.

Sementara itu di level kepemimpinan daerah, belum ada “struktur kesempatan” yang bekerja layaknya kebijakan afirmatif. Artinya betul-betul menjamin eksistensi perempuan dalam kepemimpinan daerah. Pada tahun 2004 pemerintah menetapkan pelaksanaan Pilkada Langsung untuk memilih kepala daerah. UU no. 32 tahun 2004 mengamanatkan pemilihan kepala daerah diberikan sepenuhnya kepada rakyat. Apakah UU Pilkada Langsung merupakan bagian dari struktur kesempatan yang mendorong munculnya kepemimpinan perempuan di daerah? Sejauh mana Pilkada Langsung memberikan dampak bagi kepemimpian perempuan di daerah? Munculnya perempuan Kepala Daerah merupakan indikator bahwa kepemimpinan perempuan sudah tidak lagi menjadi tabu dalam politik Indonesia kontemporer. Perempuan Kepala Daerah adalah simbol bahwa kepemimpinan perempuan juga bisa disejajarkan dengan laki-laki.

Sejarah Perempuan Kepala Daerah

Sejak Orde Baru berkuasa, politik perempuan mengalami represi dan peminggiran. Saskia Wirienga menyebut bahwa Orde Baru memiliki kepentingan untuk menekan politik perempuan dengan mematikan gerakan perempuan itu sendiri. Ideologi gender Orde Baru menempatkan perempuan sebagai pelayan keluarga sekaligus negara, hal ini merujuk pada konsep Negara Ibuisme yang menurut Julia Suryakusuma  kentara dalam simbol PKK. Orde Baru mengontrol peran politik perempuan sejak tahun 1972 dengan program Pembinaan Kesejahteraan Keluarga di level desa, sementara di level perkotaan dengan menghadirkan Dharma Wanita (Kowani, 1978). Alih-alih memberdayakan perempuan, dua organisasi ini mengkerdilkan peran perempuan melalui idealisasi figur ibu rumah tangga.

Melihat ideologi gender Orde Baru, maka tidak mengherankan jika sepanjang kurun waktu 1967-1998 sangat susah menemukan kepala daerah perempuan. Peran perempuan yang sekedar ibu rumah tangga tidak cukup membuka ruang kepemimpinan perempuan. Ruang lingkup ibu rumah tangga berhenti dalam ranah domestik yang fokus pada pelayanan keluarga. Figur ibu rumah tangga dan pelayan keluarga melekat pada diri perempuan sepanjang rezim Orde Baru. Selain itu sulitnya menemukan kepemimpinan perempuan disebabkan oleh pendekatan pemerintahan Orde Baru yang sentralistik. Kekuasaan yang terpusat pada Presiden sekaligus ideologi gender yang mengkebiri politik perempua menyebabkan minimnya kepala daerah perempuan.

Undang-undang No. 5 tahun 1974 mengatur bahwa kepala daerah mulai dari kabupaten, kota hingga provinsi ditunjuk langsung oleh Presiden. Tanpa melalui proses yang demokratis, kepala daerah mekanisme penunjukan presiden didominasi oleh laki-laki yang berasal dari kalangan militer. Kurniawati Hastuti Dewi, peneliti LIPI mencatat hanya ada 2 perempuan kepala daerah selama masa kepemimpinan Orde Baru. Mereka adalah Tutty Hayati Anwar, Bupati Majalengka (1998-2003) dan Molly Mulyahati Djubaedi, Walikota Sukabumi (1998-2003). Jika dicermati lebih lanjut, kedua perempuan kepala daerah ini muncul di akhir kepemimpinan Orde Baru. Artinya Orde Baru hampir tidak memberi kesempatan pada perempuan untuk memimpin di daerah.

Setelah reformasi bergulir berbagai perubahan kebijakan dan ideologi gender yang berubah, mulai muncul perempuan kepala daerah. Rezim reformasi tidak lagi menggunakan perspektif sentralistik, sehingga wewenang pusat mulai dikurangi. Hal ini pun berimplikasi pada kebijakan pengisian jabatan kepala daerah. Dengan diterbitkannya UU no. 22 tahun 1999, kepala daerah mulai dari Bupati, Walikota, dan Gubernur dipilih secara demokratis dalam DPRD, tentunya tanpa campur tangan Presiden. Sepanjang implementasi UU no. 22 tahun 1999, terdapat 4 perempuan kepala daerah. Mereka adalah Rustriningsih, Bupati Kebumen (2000-2005), Haeny Relawati Rini Widyastuti, Bupati Tuban (2001-2006), Rina Iriani, Bupati Karanganyar (2003-2008), Tutty Hayati Anwar, Bupati Majalengka (2003-2008), dan Atut Chosiyah, wakil Gubernur Banten (2001-2006).

Munculnya perempuan kepala daerah  yang dipilih secara demokratis, meskipun lewat mekanisme DPRD, merupakan perubahan positif. Setidaknya hal ini menandakan bahwa kepemimpinan perempuan mulai mendapatkan tempat dalam diskursus demokrasi. Perubahan ini tidak bisa dilepaskan dari perubahan paradigma rezim reformasi dalam upaya pembangunan demokrasi, khususnya menempatkan perempuan sebagai bagian dari demokratisasi yang partisipatif. Ideologi gender Orde Baru yang memarginalisasi peran politik perempuan sudah usang. Inpres n0. 9 tahun 2000 yang memandatkan pengarus utamaan gender menjadi kunci perubahan paradigma idelogi gender pasca reformasi.

Perkembangan demokratisasi dalam pemilihan kepala daerah sampai pada babak baru dengan diterbitkannya UU no. 32 tahun 2004. Dalam undang-undang ini mengamanatkan bahwa pemilihan kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat, tidak lagi melalui mekanisme pemilihan di tingkat DPRD. Kurniawati Hastuti Dewi mencatat selama rentang waktu 2005-2014 terdapat 26 perempuan kepala daerah. Terdapat 20 Bupati perempuan,  5 Walikota perempuan, dan 1 Gubernur yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia. Pencapaian ini bisa dimaknai bahwa masyarakat sudah tidak ragu untuk mempercayakan kepemimpinan di daerahnya kepada perempuan.

Masyarakat sudah lolos melampaui tabu agama yang hanya memberikan wewenang kepemimpinan kepada laki-laki. Diantara perempuan kepala daerah tersebut ada yang hari ini masih memimpin; Airin Rachmy Dianny (Walikota Tangerang Selatan), Tri Rismaharini (Walikota Surabaya). Ada juga yang maju kembali dalam Pilkada serentak 2017 hari ini, diantaranya adalah Idza Priyanti (Bupati Brebes), Atty Suharty Tochija (Walikota Cimahi), dan  Neneng Hasanah Yasin (Bupati Bekasi).

Dalam perekembangan selanjutnya, terjadi perubahan dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah. UU no. 8 tahun 2015 berbunyi bahwa penyelenggaraan pemilihan kepala daerah bisa diselenggarakan secara serantak. Setelah melampuai drama politik dengan menetapkan  Perpu no 1 tahun 2014 dan Perpu no. 2 tahun 2014 sebagai Undang-undang tetap yang menganulir UU n0. 22 tahun 2014 yang menolak penyelenggaraan Pilkada langsung. Pilkada serentak gelombang pertama yang digelar 9 Desember 2015 diikuti oleh 1656 calon atau 828 pasangan, tersebar di 9 provinsi, 225 kabupaten, dan 36 kota. Penyelenggaraan Pilkada serentak 2015 menghasilkan perempuan-perempuan kepala daerah. Terdapat   22  Bupati Perempuan, 19 wakil Bupati Perempuan, 3 Walikota perempuan, dan 3 Wakil Walikota perempuan.

Jika ditarik kesimpulan penyelenggaran Pilkada Langsung merupakan strukutur kesempatan yang membuka peluang kepemimpinan perempuan. Data penyelenggaraan Pilkada langsung terus memunculkan figur pemimpin perempuan baru yang membuktikan kepada publik bahwa perempuan setara dengan laki-laki. Perempuan sebagaimana laki-laki yang memiliki hak untuk mencalonkan diri dan dipilih menjadi kepala daerah.

Peta Perempuan dalam Pilkada 2017

Pilkada serentak gelombang kedua tahun 2017 yang akan dilaksanakan pada 15 Februari tahun 2017 diikuti  620 calon atau 310 pasangan yang tersebar di 101 daerah dengan rincian pemilihan Gubernur di 7 Provinsi, pemilihan Bupati di 76 Kabupaten, dan Wali Kota di 18 Kota. Jumlah daerah pemilihan pilkada serentak gelombang kedua ini memang tidak sebanyak 2015, namun seperti tampak pada grafik 1 ada perempuan yang berpartisipasi dalam Pilkada serentak 2017. Persisnya ada 45 perempuan atau sekitar 7,3 persen dari total keseluruhan peserta Pilkada.

Calon perempuan dalam Pilkada serentak 2017 tersebar di total 20 Provinsi dari 30 Provinsi yang melaksanakan Pilkada serentak di tahun 2017. Meskipun angka ini terbilang kecil, akan tetapi harapan munculnya kepemimpinan perempuan ada pada 45 perempuan ini.

Dalam pencalonan kandidat yang berkontestasi menjadi kepala daerah, salah satu dasar pertimbangn partai politik adalah melihat latar belakang kandidat, termasuk perempuan. Biaya politik yang mahal membuat partai politik seringkali berpikir pragmatis. Kandidat dengan modal finansial ataupun modal sosial yang besar menjadi pilihan utama partai politik. Sehingga tidak mengherankan banyak dari kandidat kepala daerah berlatar belakang pengusaha, petahana ataupun birokrat. Pengusaha dianggap memiliki modal finansial yang kuat, sehingga dianggap mampu menanggung biaya kampanye yang mahal. Sementara petahana dan birokrat bisa memaksimalkan potensi strukutur sosial dan politik dibawahnya untuk mobilisasi massa.    Grafik grafik 2 menunjukan latar belakang kandidat perempuan dalam Pilkada Serentak 2017.

Dari telaah data KPU maupun sumber alternatif lainnya, kandidat perempuan  didominasi oleh perempuan dengan latar belakang anggota legislatif, yakni sebanyak 16 perempuan, disusul dengan calon berlatar belakang petahana dan pengusaha, masing-masing 7 perempuan. Lalu perempuan daru unsur birokrat dan politisi masing-masing 4. Sisanya merupakan pendidik, aktivis, tokoh agama, dan profesional. Jika ditarik lebih lanjut, perempuan yang bertarung dalam Pilkada serentak 2017 merupakan elit-elit politik yang memiliki modal besar, baik finansial, jaringan, maupun mesin politik.

Setelah diundangkannya calon perseorangan yang tertuang dalam UU no. 12 tahun 2008 yang merevisi Undang-undang n0 32 tahun 2004, jalur perseorangan menjadi alternatif baru dalam pencalonan kepala daerah. Calon perseorangan mengakomodasi potensi-potensi pemimpinan yang tidak mampu masuk dalam radar partai. Sistem kandidasi dalam partai politik ditengarai berbiaya tinggi, seorang calon harus melakukan deal deal politik untuk mendapatkan kursi calon kepala daerah. Sehingga kemunculan calon perseorangan merupakan antitesa dari eksklusivisme partai politik. Meskipun demikian, calon dari partai politik masih menjadi jalur favorit dalam pertarungan Pilkada karena dianggap memiliki basis massa dan mesin politik yang real.

Dari total 45 kandidat  perempuan dalam Pilakda serantak 2017, 11 % atau 5 (lima) kandidat diantaranya adalah calon perseorangan. Dari 5 calon perseorangan perempuan ini 2 diantaranya berasal dari Provinsi Papua yang masing-masing mencalonkan diri sebagai Wakil Bupati dan Bupati. Sementara 3 calon lain berasal dari Provinsi Nusa Tenggara Timur mencalonkan diri sebagai Bupati, Lampung mencalonkan diri sebagai Wakil Bupati dan Aceh yang juga mencalonkan diri sebagai wakil Bupati.

Meskipun peluang kemenangan bagi kandidat perseorangan lebih kecil jika dibandingkan kandidat jalur partai, hadirnya perempuan dari jalur perseorangan menandakan bahwa keinginan perempuan dalam kepemimpinan dan politik semakin tinggi. Jalur partai politik yang dinilai berbiaya tinggi dan didominasi elit politik, maka jalur perseorangan merupakan alternatif. Terlebih bagi perempuan yang sejak Orde Baru dikerdilkan ruang aktualisasi politiknya, tentunya kesulitan memperoleh akses politik dan masuk dalam elit politik.

Pilkada 2017: Perempuan yang (mungkin) Terpilih

Berdasarkan pemetaan terhadap kandidat perempuan peserta Pilkada Serentak 2017 selanjutnya adalah membaca kemungkinan-kemungkinan keterpilihan kandidat perempuan. Pada tahun 2015, Yayasan SATUNAMA telah melakukan kajian terkait kandidat perempuan dalam Pilkada serentak 2015. Dari 121 kandidat perempuan yang bertarung, hanya ada 47 calon perempuan yang berhasil menggapai kursi kepala daerah. Sebagaimana terlihat grafik 3, tingkat keterpilihan perempuan dalam Pilkada sebesar 38.8%.

Angka ini belum maksimal untuk mengatakan bahwa kepemimpinan perempuan sudah mendapatkan sambutan yang besar dalam masyarakat. Dari total 540 kursi kepala dan wakil daerah, perempuan hanya berhasil memperoleh 47. Sisanya 493 kursi dimenangkan oleh kandidat laki-laki. Artinya perempuan hanya berhasil meraup prosentase 8.7% kursi kepala daerah yang diperebutkan.

Bagaimana dengan performa perempuan dalam Pilkada serentak 2017. Peta perempuan dalam Pilkada serentak 2017 tidak mengalami perubahan yang signifikan. Secara kuantitas dan prosentase tidak mengalami perubahan yang menandakan adanya progres dalam kepemimpinan perempuan. Seperti tampak dalam grafik disamping, prosentasi kehadiran perempuan dalam Pilkada langsung mengalami stagnasi pada angka 7,3%.

Sehingga jika merujuk pada angka keterpilihan perempuan dalam Pilkada serentak 2015 yang sebesar 38,8% maka kemungkinan perempuan terpilih dalam Pilkada serentak 2017 sekitar 17-18 perempuan dari 45 perempuan.

Yayasan SATUNAMA dalam kajiannya 2015 juga memberikan kesimpulan bahwa secara karakteristik 47 perempuan yang terpilih dapat dikatagorikan. Mereka merupakanm kandidat perempuan dengan latar belakang petahaha, legislatif, pengusaha, dan birokat. Kajian SATUNAMA menyebutkan ¾ atau 39 perempuan yang terpilih berasal dari latar belakang yang secara finansial dan modal sosial memungkinkan atau memudahkan mereka terpilih. Dari data 2015 perempuan terpilih, 13 merupakan perempuan petahana, 12 perempuan legislatif, serta masing-masing 7 perempuan birokrat dan pengusaha.

Jika kita bandingkan dengan data Pilkada 2017, maka bisa ditarik kesimpulan dari 45 perempuan yang bisa memenangkan laga Pilkada adalah mereka yang berlatar belakang petahana, legislatif, birokrat, dan pengusaha. Data Pilkada 2017 menunjukkan ada 16 perempuan legislatif, 7 perempuan petahana, 7 perempuan pengusaha, dan 4 perempuan pengusaha. Tanpa menafikan perempuan lainnya, namun pengalaman 2015 membuktikan peluang besar untuk menang ada pada mereka. Kesimpulanya perempuan terpilih Pilkada berada pada 34 perempuan dari 45 perempuan. Catatannya pun dari 34 perempuan ini tidak menjamin akan terpilih semua jika merujuk pada angka keterpilhan 38,8% pada Pilkada 2017.

Penulis adalah staf Departemen Politik dan Demokrasi, anggota tim kajian Patriarkisme dalam Politik di Indonesia : Studi Komparatif dalam Pilkada Serentak 2015 dan 2017.

Referensi

Dewi, Kurniawati Hastuti. 2014. Profil Perempuan Kepala Daerah. Dalam Jurnal Perempuan Edisi 83 tahun 2014

Fakih, Mansour. 2003. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Hofmeiser, Wilhelm, Megha Sarmah, dan Dilpreet Kaur (ed). 2015. Women and Policy adn Political Leadership Regional Perspectives in Today’s World. (Singapura: Konrad Adeneur Stiftung)

Suryakusuma, Julia.  2009. State Ibuisme. Jakarta: Komunitas Bambu

Qomariyah, Nunung, Insan Kamil dan Any Sundari. 2016 Kajian Perempuan di Pilkada Serentak 2015: Perspektif Perempuan dan Lingkar Kekuasaan di Sekitaran Calon Peserta Pilkada. (Yogyakarta: Yayasan SATUNAMA)

Venny, Adriana,  Ruth Indiah Rahayu, dkk. 2014.  Patriarchal Barriers to Women’s Political Participation In South East Asia: Lessons from the Philippines, Cambodia, Malaysia, Indonesai, and Timor Leste on Patriarchy and the Rise of Womens Participation in State Politics. (Jakarta: Kemitraan Bagi Pembaruan Tata Kemitraan kerja sama dengan USAID)

Satu pemikiran pada “Pilkada Serentak 2017: Menyambut Perempuan Kepala Daerah”

  1. Ping-balik: 【印尼政治】初步觀察2017年印尼地方首長聯合選舉(下) | 沒有對錯的是非。

Tinggalkan komentar