Ruang Sesak dalam Pilkada

Pilkada serentak nyaris selalu menjadi wajah depan pemberitaan media akhir-akhir ini. Beragam topik yang berkaitan dengan Pilkada, mulai dari proses kampanye, debat publik, hingga politisasi agama dan pertarungan di media sosial seakan menyusup masuk dalam ruang-ruang privasi publik setiap harinya. Tensi politik yang muncul, khususnya di DKI membuat publik merasa terlibat secara emosional untuk terus mengawal pemberitaannya. Padahal, Pilkada serentak tahun 2017 tidak hanya diselenggarakan di Jakarta. Ada total 101 daerah yang akan melangsungkan pesta demokrasi yang diselenggarakan serentak pada tanggal 15 Februari 2017 nanti.

Pilkada serentak tahun 2017 akan diikuti oleh 620 calon atau 310 pasangan yang tersebar di 101 daerah. Berdasarkan data yang dihimpun dan ditelusuri melalui kajian Patriarkisme Politik dalam Pilkada oleh Yayasan SATUNAMA, ditemukan sebanyak 7 pasangan calon yang memperebutkan posisi Gubernur dan Wakil Gubernur, 76 pasangan calon untuk posisi Bupati dan Wakil Bupati, serta 18 pasangan calon untuk posisi Wali Kota dan Wakil Walikota.

Dari jumlah 620 calon tersebut, terdapat 136 orang yang mencalonkan diri dari jalur perseorangan. Sementara sisanya, sebanyak 484 orang mencalonkan diri dari Partai Politik. Menggunakan statistik, artinya terdapat 21,9% calon yang menempuh jalur perseorangan dalam kontestasi politik di Pilkada serentak 2017 kali ini. Artinya, mayoritas masih sangat menggunakan daya kekuatan Partai Politik dalam Pilkada serentak 2017 ini.

Partai Politik sebagai sebuah instrumen pokok dalam sistem demokrasi tentu masih memegang peranan penting yang menentukan berlangsungnya proses politik melalui Pemilu. Kekuatan partai politik, khususnya dalam hal dukungan sosial dan konstituen tentu akan lebih memudahkan seorang calon Kepala Daerah dibanding dengan harus membangun sendiri daya dukung dan konstituen dari awal. Itu hal wajar yang akan selalu berulang dalam pelaksanaan demokrasi meskipun secara sadar dirasakan bahwa apatisme publik terhadap partai politik juga cukup meresahkan.

Praktik-praktik korupsi yang melibatkan aktor politik tentu membangun jarak antara rakyat dengan partai politik. Data KPK pada Agustus tahun 2016 menyebutkan bahwa 32% pelaku Korupsi yang ditangani KPK adalah aktor politik. Definisi aktor politik ini meliputi anggota DPR/DPRD dan Kepala Daerah. Angka ini tentu semakin bertambah, seperti diketahui bahwa di awal tahun 2017 pun KPK sudah menangkap beberapa aktor politik, termasuk yang terbaru adalah calon tunggal Bupati Kabupaten Buton, Samsu Umar, yang sekaligus calon petahana dalam Pilkada serentak 2017 nanti. Meskipun demikian, jalur partai politik jauh lebih memberikan kepastian bagi para calon untuk bertarung dalam kontestasi Pilkada.

Masih teringat dengan deklarasi Kawan Ahok pada tahun 2016 lalu, sekelompok orang yang menamakan dirinya sebagai Kawan Ahok menggalang dukungan begitu besar untuk memajukan Basuki Tjahaja Purnama sebagai caon Gubernur DKI Jakarta dari jalur perseorangan. Kesan yang timbul pada saat itu, Basuki seperti halnya manifestasi demokrasi yang berhadap-hadapan dengan beragam keraguan pada proses demokrasi itu sendiri. Sebagai warga negara yang benar-benar minoritas dalam arti luas, terlebih karena memilih menggunakan jalur perseorangan di tengah arus kekuatan partai politik.

Tetapi, nyatanya Basuki juga harus bernegosiasi dengan proses politik itu sendiri dan menerima pinangan PDI Perjuangan, Partai Nasdem, dan beberapa partai politik pendukungnya dalam Pilkada ini. Fenomena lainnya juga terjadi di Kota Yogyakarta, pada pertengahan tahun 2016 muncul nama Garin Nugroho yang hendak diusung sebagai calon wakil walikota melalui jalur independen oleh Jogja Independent (JOINT). Namun yang terjadi justru proses itu berhenti sebelum termin pencalonan resmi dibuka oleh Komisi Pemilihan Umum.

Hal ini kemudian menarik untuk dilihat lebih jauh, pertama melihat bagaimana ruang-ruang politik untuk mereka yang memilih berkompetisi tanpa dukungan partai politik, dan yang kedua sejauh mana ruang-ruang partai politik itu sendiri cukup terbuka bagi warga negara yang ingin mencalonkan diri sebagai calon kepala daerah.

Calon Perseorangan Pemenang Pilkada 2015

Menjawab bagian yang pertama, pasca pelaksanaan Pilkada Serentak tahun 2015 tercatat bahwa kepala daerah yang terpilih dari jalur perseorangan jumlahnya masih sangat kecil. Berdasarkan temuan Centre for Strategic of International Studies (CSIS), dari total pelaksanaan di 268 daerah, hanya lima pasangan yang terpilih dari jalur perseorangan untuk menduduki jabatan Wali Kota/ Wakil Walikota, sementara untuk Kabupaten hanya sampai di jumlah delapan pasangan. Keterpilihan itu berdasarkan data orang yang maju sebagai kandidat perseorangan yang jumlahnya untuk Wali Kota sebanyak 25%, sementara di Kabupaten hanya 19%.

Salah satu yang menarik adalah kemenangan pasangan Neni Moerniaeni dan Basri Rase dalam Pilkada Kota Bontang. Perolehan suara pasangan Neni-Basri berhasil mengalahkan pasangan calon petahan, Adi Darma – Isro Umarghani, yang diusung oleh semua partai politik di Bontang. Meskipun terkesan dikeroyok, pasangan dari jalur perseorangan ini berhasil mengumpulkan sebanyak 55,85% suara pemilih.

Hasil ini tentu merupakan prestasi karena selain Neni maju dari jalur perseorangan, dirinya juga seorang perempuan yang tentu tidak mudah baginya untuk melalui proses-proses membangun dukungan dan kepercayaan publik. Namun begitu, jika ditelusuri dari rekam jejak politiknya, Neni Moerniani sebetulnya bukan wajah baru bagi publik dan masyarakat politik Kota Bontang. Neni pernah terpilih menjadi anggota DPR RI dari Partai Golkar pada Pemilu legislatif 2014 lalu.

Jadi, dengan kata lain proses politik yang dilalui oleh Neni sebagai pemenang Pilkada dari jalur perseorangan tidak dapat disama artikan sebagai prestasi seseorang yang benar-benar berhadapan dengan partai politik dalam sebuah arena Pilkada. Keterpilihannya sebagai Wali Kota tentu dipengaruhi oleh kerja-kerja politiknya dengan konstituen di masa lalu.

Hal yang jauh lebih menarik terungkap melalui data yang ditemukan oleh Liputan6.com pasca pelaksanaan Pilkada serentak 2015 bahwa latar belakang pemenang jalur perseorangan dalam Pilkada serentak 2015 didominasi oleh empat kelompok latar belakang. Tertinggi dengan jumlah 46% adalah mereka yang berlatar belakang sebagai kader partai, diikuti latar belakang Pegawai Negeri Sipil (PNS) dengan 29%, Pengusaha 25%, dan Petahana sebanyak 21%. Angka ini dapat juga diartikan bahwa ada kader-kader Partai Politik potensial yang justru tidak diakomodir pencalonannya oleh Partai Politik sehingga memilih jalur perseorangan secara maksimal untuk mengupayakan pemenangannya dalam Pilkada.

Ruang Pencalonan dalam Pilkada

Partai Politik secara institusional memiliki mekanisme internal untuk proses kandidasi dan pencalonan dalam Pilkada. Pada umumnya, kecenderungan Partai Politik ada pada pilihan calon yang memiliki peluang besar untuk terpilih. Peluang besar untuk terpilih harus diakui diukur dari beberapa hal.

Pertama, adanya dukungan sosial yang kuat dari konstituen. Faktor elektabilitas calon akan sangat menentukan Partai Politik untuk “jatuh hati”. Kedua, adalah dukungan dana politik yang merupakan faktor riil dalam kontestasi bernama Pemilihan Umum. Keduanya adalah hal wajar yang merupakan konsekuensi dari electoral system yang saat ini berlaku di Indonesia. Sehingga dengan demikian, Partai Politik akan cenderung realistis menentukan calon yang akan diusungnya dalam Pilkada.

Pada Pilkada 2017, tercatat ada 134 orang yang maju melalui jalur perseorangan dan 26 diantaranya berasal dari kelompok masyarakat politik (political society) dengan latar belakang kader partai dan anggota legislatif. Artinya terdapat 19,4% dari calon perseorangan yang memiliki latar belakang sebagai kader partai politik. Pada posisi teratas latar belakang calon perseorangan adalah mereka yang memiliki latar belakang pekerjaan di birokrat dengan jumlah 32 orang calon.

Namun begitu, sudut pandang yang patut digunakan adalah nyata-nyata masih ada kader-kader partai yang berkontestasi melalui jalur perseorangan. Jumlahnya memang tidak signifikan, namun tetap berbicara bahwa masih terdapat kader-kader partai yang menjadi korban dari realitas politik dan hitung-hitungan partai politik. Sama halnya dengan ketika seorang siswa dari sebuah sekolah, ingin mengikuti kompetisi di sebuah kejuaraan lari namun sekolahnya memilih mengambil atlet dari luar untuk mengikuti kejuaraan.

Orientasi partai politik hari ini masih tentang memenangkan kontestasi, bagaimana memperoleh dukungan seluas-luasnya. Padahal, ada tugas pendidikan politik yang juga harus diarus utamakan oleh Partai Politik. Pendidikan politik yang baik dan terukur akan memastikan supply kader-kader politik yang berkualitas, berintegritas, dan dapat menjawab kebutuhan publik.

Potret minimnya ruang bagi kader-kader partai politik untuk maju dalam konstestasi menunjukkan bahwa partai politik perlu memberi ruang evaluasi dan kritik internal. Jika partai politik memiliki peranan untuk pendidikan politik, maka sejauh mana hal ini didesain secara serius untuk dapat menghasilkan kader-kader yang berkualitas dan memiliki elektabilitas di masyarakat sehingga kemudian dapat mengagregasi dukungan masyarakat. Tentu bukan hal mudah, di tengah apatisme publik dan cara pandang yang menempatkan politik sebagai proses transaksional dengan beban biaya mahal. Partai politik harus mampu secara terus menerus memandang kehadirannya bukan sekedar tentang memenangkan kontestasi.

Lebih jauh dari itu, memang harus ada rekayasa sistem demokrasi yang memungkinkan partai politik lebih inklusif terhadap kader-kadernya sendiri, memandang bahwa setiap kader adalah manifestasi politik di masa depan yang harus dijaga dan difasilitasi. Partai politik hari ini masih realitis dan pragmatis dalam menentukan calon dalam Pilkada. Bisa saja, ruang-ruang untuk berkompetisi itu juga tersedia namun ketika mengukur modal politik dalam pencalonan, katakan saja untuk biaya tiap saksi di tiap TPS, maka akan menyebabkan partai menghitung-hitung lagi potensi dari calonnya. Partai politik untuk konteks pilkada memang energi di belakang layar, yang utama adalah kemampuan si calon itu sendiri.

Merefleksi apa yang terjadi dalam Pilkada DKI Jakarta 2017, dapat disaksikan bahwa dari 6 orang calon hanya Djarot Saiful Hidayat yang merupakan kader PDI Perjuangan, selebihnya adalah aktor-aktor diluar kader partai. Refleksi patut disertakan dalam perjalanan panjang demokrasi yang sedang kita tempuh.

Ruang-ruang tawaran bagi kader partai yang hari ini dirasa sangat sesak harus dibuka perlahan sehingga memberikan angin segar bagi situasi dalam rumah masing-masing partai politik. Proses demokrasi di internal partai menjadi keniscayaan bagi keutuhan demokrasi di negeri ini. Setiap orang memiliki hak untuk mencalonkan diri dengan kesempatan yang sama pula untuk berkompetisi. Jangan sampai para kader yang setia ini justru tereksklusi di dalam rumahnya sendiri.

Valeri Beatae Jehanu
Staf Departemen Politik dan Demokrasi
Yayasan SATUNAMA

Tinggalkan komentar