Teknologi Digital dan Pilkada Serentak

Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA) serentak akan digelar pada 15 Februari yang akan datang. Akan ada 101 daerah yang akan menyelenggarakan PILKADA  pada periode ini. Ke-101 daerah tersebut terdiri atas 7 provinsi, 76 kabupaten, dan 18 kota. Ketujuh provinsi tersebut adalah Aceh, Bangka Belitung, DKI Jakarta, Banten, Gorontalo, Sulawesi Barat, dan Papua Barat.  Pilkada merupakan salah satu implementasi demokrasi ditingkat lokal, yang seharusnya dirayakan bersama, dimana rakyat akan memilih pemimpinnya.

Terpilihnya pemimpin yang bersih (bebas dari korupsi), bisa menjamin kesejahteraan, serta kehidupan yang lebih baik melalui proses yang bersih adalah harapan semua warga. Namun tidak bisa dipungkiri, dalam pelaksanaan Pilkada serentak 2017, kita masih menghadapi berbagai tantangan. Dari tantangan “politik uang”, kecurangan pilkada, calon tunggal, hingga politik dinasti.

Tantangan Pilkada Serentak 2017

Terkait tantangan politik uang, dalam Pilkada serentak 2015 lalu  terdapat 27 daerah dengan 29 kasus politik uang. Di tiga belas daerah diantaranya ditemukan adanya pembagian uang oleh salah satu pasangan calon (dari Rp. 25.000 hingga Rp. 200.000) , di daerah lainnya pasangan calon membagikan bingkisan berupa sembako, kalender, bahkan kupon berhadiah (Tempo.co, 9 Des 2015).

Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) mengakui sulitnya menjerat praktek politik uang dalam Pilkada serentak 2015 karena sebagian besar dilakukan secara sembunyi-sembunyi dan tidak menggunakan identitas sebagai tim sukses (BBC News, 5 Desember 2015). Kampanye dengan membagi-bagi-kan uang merupakan praktek yang diancam dengan ketentuan pidana pada pasal 73 ayat 3, Pasal 187 poin A hingga D, Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 sebagaimana perubahan UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada. Tidak hanya pemberi, penerima uang juga dapat dipidana dengan pasal ini.

Terkait kecurangan pilkada, pada Pilkada 2015 ada beberapa jenis laporan yang diterima Bawaslu. Mulai dari pemilih ganda (satu orang memilih dua kali), pemilih fiktif (pemilih yang masuk dalam daftar pemilih namun sejatinya orang tersebut tidak pernah atau bertempat tinggal di wilayah tersebut), undangan pemilihan yang tidak dibagikan, memberikan surat suara lebih dari satu kepada pemilih, pembelian kartu pemilih (membayar surat undangan pemilih dengan sejumlah uang agar pemilih lawan tidak menggunakan hak pilihnya) dan berbagai praktik curang lainnya (http://www.bawaslu.go.id/).

Tantangan lainnya adalah adanya pasangan calon tunggal (kandidat tunggal) yang terdapat di 10 wilayah. Jumlah pasangan calon tunggal dalam Pilkada ini naik jika dibandingkan dengan Pilkada 2015 yang hanya ada 2 daerah. Di beberapa daerah seperti Pati adanya calon tunggal disikapi masyarakat dengan “gerakan kotak kosong”. Masyarakat men-sosialisasikan adanya kotak kosong yang disandingkan di tempat penghitungan suara (TPS) bersama calon tunggal. Lebih miris lagi di Kabupaten Buton calon tunggal saat ini sedang diperiksa oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dugaan suap hakim Mahkamah Kostitusi Akil Mochtar.

Tantangan lain yang cukup serius adalah terkait politik dinasti. Koalisi Pilkada Bersih[1] menemukan setidaknya ada 12 calon kepala daerah di 11 daerah yang kandidatnya berasal dari dinasti politik. Sebelas daerah tersebut antara lain: Kabupaten Mesuji, Provinsi Banten, Kota Cimahi, Kabupaten Musi Banyuasin, Provinsi Gorontalo, Kabupaten Landak, Kabupaten Barito Kuala, Kabupaten Lampung Barat, Kabupaten Pringsewu, dan Kabupaten Maluku Tengah.

Partisipasi Melalui Teknologi

Ada yang berbeda dalam Pemilihan Presiden tahun 2014, selain menguatnya “minat pemilihan” para pemilih, pada pemilu ini masyarakat berpartisipasi dalam mengawal penghitungan suara calon presiden. Saat penghitungan suara masih berlagsung, masyarakat dibingungkan dengan informasi siapakah pemenang Pilpres 2014.

Pidato kemenangan telah disuarakan kedua pasangan capres/cawapres yang disambut meriah masing-masing pendukung. Kedua pasangan calon mendasarkan kemenangannya dari hasil quick count lembaga survei. Dari 12 lembaga survei yang menggelar quick count dan mengumumkan hasilnya, 8 di antaranya memenangkan Jokowi-JK, sedangkan 4 lembaga ke kubu Prabowo-Hatta (Kontan 9/7/2014).

Ditengah kebingungan masyarakat, hadirlah kawalpemilu.org yang merupakan situs yang membantu penghitungan/rekapitulasi data Pemilihan Presiden 2014 dengan melibatkan relawan (crowdsourcing). Tujuan dari situs ini adalah membuat rekapitulasi data Pemilu 2014 di Indonesia secara real count untuk membantu KPU dalam hal mengawal formulir C1 (Formulir yang mencatat hasil pemungutan suara di Tempat Pemungutan Suara). 

Ada sekitar  700 relawan yang berkontribusi memasukan (sekitar 470.000) data dalam situs ini (Techinasia, 18/7/2014). Dan akhirnya situs ini memberi jawaban terhadap kebingungan masyarakat terkait informasi siapakah pemenang Pilpres 2014.

Kawal Pemilu merupakan satu contoh bentuk partisipasi masyarakat melalui teknonologi dengan memanfaatkan data terbuka dari KPU, yang dapat membantu KPU dalam men-transparansi-kan penghitungan suara. Melihat tantangan pilkada serentak 2017, masyarakat juga dapat berpartisipasi untuk mensukseskan pesta rakyat ini, guna memilih pemimpin secara transparan dan sesuai dengan prinsip demokrasi.

Menjawab tantangan kecurangan pemilu dan politik uang misalnya, masyarakat bisa mengunduh aplikasi “gowaslu”. Gowaslu adalah sebuah aplikasi berbasis andriod yang dibuat oleh Bawaslu untuk digunakan masyarakat dalam melaporkan indikasi Pilkada Serentak 2017. Gowaslu ini juga bertujuan untuk melakukan pengawasan secara menyeluruh di seluruh Provinsi di Indonesia. Menurut Bawaslu aplikasi ini dibuat agar Bawaslu di masing-masing provinsi semakin cepat menangani dugaan pelanggaran Pilkada.

Selain Gowaslu ada beberapa aplikasi lain yang dapat digunakan untuk mengawal Pilkada Serentak 2017. Kawal Pilkada 2.0 Aplikasi Kawal Pilkada merupakan piranti lunak yang dikeluarkan komunitas Code4Nation. Aplikasi ini bisa  dipasang pada perangkat dengan sistem operasi Android maupun iOS. Aplikasi ini fungsinya  hampir sama dengan aplikasi Kawal Pemilu. Masyarakat bisa memotret formulir C1 (lembaran besar tempat penghitungan suara di TPS) setelah penghitungan selesai. Setelah itu foto diunggah disertai data yang tertera di foto ke form yang disediakan.

Aplikasi ini bisa digunakan untuk memantau hasil pemilihan gubernur di tujuh provinsi maupun pemilihan bupati atau walikota di 85 wilayah. Dengan adanya aplikasi ini masyarakat dapat berpartisipasi dalam memantau perhitungan suara, memantau ke-absahan suara sampai dengan perhitungan perolehan suara di Provinsi/Kabupaten/Kota untuk menghindari berbagai kecurangan.

MataRakyat merupakan aplikasi yang memungkinkan warga untuk berpartisipasi dalam pengumpulan data dari masing-masing TPS sehingga publik bisa mendapatkan hasil Pilkada secara cepat, akurat dan independen. Data perolehan suara di MataRakyat dipasok oleh relawan yang direkrut untuk menjadi saksi elektronik (eSaksi), melalui metode partisipasi. Namun aplikasi ini hanya dikhususkan untuk memantau hasil pilkada di DKI Jakarta. Aplikasi ini tersedia untuk perangkat dengan sistem operasi Android 4.0 ke atas serta iOS versi 8.0 atau yang terbaru.

Quick Count Pilkada 2017 adalah aplikasi  yang akan menampilkan quick count (hitung cepat) pilkada di delapan wilayah, yaitu DKI Jakarta, Kabupaten Bekasi, Provinsi Banten serta lima kabupaten di Provinsi Lampung yaitu Pringsewu, Lampung Barat, Tulang Bawang, Tulang Bawang Barat serta Mesuji. Di DKI Jakarta, beberapa pasangan calon juga membuat aplikasinya sendiri misalnya iCount Saksi yang dibuat oleh tim sukses pasangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno, juga aplikasi ‘Jaga Agus Sylvi’ yang dibuat oleh tim sukses Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni.

Tidak semua tantangan Pilkada 2017 dapat dijawab melalui teknologi. Untuk tantangan politik dinasti misalnya, belum ada aplikasi yang dapat memberikan gambaran kepada publik, siapa saja calon yang berada dalam lingkaran politik dinasti, dan memberikan penjelasan mengapa masyarakat sebaiknya tidak memilih calon yang ada dalam lingkaran politik dinasti. Begitu juga dengan masalah calon tunggal.

Tapi setidaknya, keberadaan teknologi dapat meluaskan keterlibatan masyarakat tidak sebatas menjadi pemilih, melainkan mengawasi dan memastikan jalannya PILKADA serentak 2017 yang lebih bersih dan transparan.

Kristina Viri
Staf Departemen Politik dan Demokrasi
Yayasan SATUNAMA

[1] Koalisi Pilkada bersih merupakan koalisi yang terdiri dari beberapa lembaga seperti ICW, PUKAT UGM, PUSAKO UNAND, Perludem dan Lingkar Madani.

Tinggalkan komentar