Sumber Daya Alam untuk Kesejahteraan dan Kemakmuran Desa

Sumber Daya Alam untuk Kesejahteraan dan Kemakmuran Desa

Oleh : Himawan Satya Pambudi

Nampaknya pembaruan agraria menjadi agenda yang serius dalam pemerintahan Jokowi – JK. Rencana mendistribusikan 12, 7 juta hektar tanah terlantar  melalui skema perhutanan sosial dan land reform, nampaknya akan benar-benar berjalan. Beberapa agenda tersebut telah dan sedang berjalan, termasuk dengan melakukan pendataan tanah terlantar, sertifikasi masal, mengesahkan Permenhut No P.83/ MenLHK/ Setjen/ Kum.1/ 10/2016 tentang Perhutanan Sosial.  Point ke 5 Nawacita berbunyi: Meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia melalui peningkatan kualitas pendidikan dan pelatihan dengan program ‘Indonesia Pintar’; serta peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan program ‘Indonesia Kerja’ dan ‘Indonesia Sejahtera’ dengan mendorong land reform dan program kepemilikan tanah seluas 9 juta hektar, program rumah kampung deret atau rumah susun murah yang disubsidi serta jaminan sosial untuk rakyat di tahun 2019(cetak miring oleh penulis)[1], menjadi langkah bidak ketiga pemerintahan jokowi setelah paket kebijakan ekonomi dan paket kebijakan hukum.

Diujung pemerintahan SBY pada tanggal 15 Januari 2014, UU Desa (UU No. 6/2014) sebagai tinggak pembaruan desa disyahkan. UU ini secara khusus mengatur aset –aset desa, termasuk yang berkaitan dengan sumber daya alam, yang ditujukan untuk kemajuan dan kesejahteraan desa[2].Kebijakan pengaturan tentang pengelolaan sumber daya alam di tingkat desa, tertuang dalam Pasal 76-77; Bab XII UU No. 6/2016.  UU Desa menegaskan  tentang eksistensi desa dan desa adat, sistem pemerintahan dan tatakelola desa, kewenangan, aset desa, keuangan desa, pembangunan, perencanaan dan penganggaran. Salah satu kewenangan yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam (SDA) adalah pengelolaan hutan desa dan hutan[3].

Kesejahteraan masyarakat desa menjadi persoalan serius pemerintahan Jokowi- JK.  Sekitar 10,2 juta jiwa  penduduk yang tinggal disekitar hutan berada dalam kategori miskin (Kementerian Kehutanan, 2006). Program penyerahan pengelolaan hutan negara seluas 12,7 juta hektar kepada masyarakat melalui program kehutanan sosial di 9800 desa sekitar kawasan dan dalam hutan diharapkan akan mampu menjawab tantangan kemiskinan yang sangat akut di desa-desa sekitar hutan.

Hutan (Milik)  Desa 

Pelembagaan pengelolaan Hutan Desa memiliki dua tujuan umum:Pertama, mencegah laju deforestasi kawasan hutan melalui pelembagaan pengelolaan hutan, baik melalui kebijakan desa ataupun desa adat.   Desa adalah organisasi masyarakat yang diberi kepercayaan untuk mengelola hutan, dengan  keyakinan bahwa desa mampu mengorganisasi komunitasnya. Masyarakat  hukum  adat di berbagai wilayah merupakan contoh yang ideal, bahwa komunitas yang terorganisir dan solir dapat menjaga  kelangsungan sumber daya alam.  Dengan kenyakinan dan bukti –bukti tentang bagaimana masyarakat mampu mengelola hutan dengan baik, maka UU  Desa mempertegas pengaturan tersebut melalui pengelolaan aset desa.  Kedua, dari data  Badan Pusat Statistik 2000-2005, bahwa mayoritas masyarakat yang tinggal disekitar hutan berada dalam kategori miskin. Fakta ini mendorong berkembangnya laju perambahan hutan karena faktor kemiskinan yang sistemik pada masyarakat sekitar hutan. Kemiskinan  masyarakat sekitar hutan  disebabkan karena ketimbangan distribusi ekonomi kawasan, sehingga pembangunan pedesaan cenderung menggunakan pedekatan parsial. UU  Desa mendekati dengan cara  pembangunan kawasan pedesaan

Pemberian akses melalui skema hutan desa pertama kali diatur dalam Peraturan Menteri Kehutanan No. P.89/Menhut-II/2014 tentang Hutan Desa[4]. Dengan Perubahan UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, khususnya yang berkaitan dengan pasal-pasal yang mengatur tentang  Desa, menjadi UU No. 6/2014 tentang Desa, maka Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) memandang perlu perubahan kebijakan yang berkaitan dengan Hutan Desa, dengan menyusun kebijakan baru Permen LHK tentang Perhutanan Sosial dan memasukkan semangat UU Desa yang baru.[5] Tanggal 27 Oktober 2016,  Permen LHK tentang Perhutanan Sosial telah  ditandatangani oleh Menteri LHK (P.No.38/MEN LHK/SETJEN/KUM.1/10/2016). Permen ini menjadi rujukan bagi pengajuan PAK hutan desa yang lebih mudah dan cepat dengan prosedur yang lebih berpihak kepada desa membangun ( pendekatan dari bawah, untuk membedakan dengan UU sebelumnya yang menggunakan pedekatan dari atas, membangun desa).  perhutanan sosial dalam pemerintah Jokowi-JK mendapat perhatian yang cukup tinggi dalam pencapaian kinerja pemerintahan. Perhutanan sosial merupakan salah satu bagian dari Nawacita Jokowi dan RPJMN 2015-2019. Dalam dokumen RPJMN 2015-2019, Pemerintahan Jokowi mengalokasikan 12,7 juta hektar untuk dijadikan areal Perhutanan Sosial. Hal ini akan dilakukan bertahap setiap tahun dengan target sebagai berikut: Tahun 2015 sebesar 2,54 juta hektar; Tahun 2016 sebesar 5,08 juta hektar; Tahun 2017 sebesar 7,62 juta hektar; Tahun 2018 sebesar 10,16 juta hektar; dan Tahun 2019 sebesar 12,70 juta hektar.

Tabel 4. Perkembangan hutan kemasyarakatan dan hutan desa (akhir tahun 2014)

Tahapan HKM (ha) Hutan desa (ha) Total
Usulan 896.222 931.660,36 1.827.882,36
Verifikasi 799.847 641.563,42 1.441.410,42
Penetapan areal kerja 328.452 16,42% 318.024 63,6% 646.476 25,86%
IUPHKM/HPHD 94.372 4,72% 67.737 13,55% 162.109 6,48%
IUPHHK HKm/HD 530,45 530,45 0,02%

Sumber: dikutip dari Partnership Policy Paper No. 6/2015

Target perhutanan sosial 12,7 juta hektar di akhir tahun 2019 akan dikejar oleh pemerintahan Jokowi-JK, mengingat pada periode sebelumnya (RPJMN 2010-2015) pencapaian dari target perhutanan sosial hanya 30% saja.Salah satu usahanya yaitu deregulasi peraturan tentang perhutanan sosial, menggabungkan beberapa peraturan menteri kehutanan menjadi satu Peraturan Menteri (permen) saja.  Permen LHK tentang PS disebutkan tujuan diterbitkannya Permen ini selain memberikan pedoman pemberian hak pengelolaan dan izin, juga bermaksud menyelesaikan permasalahan tenurial dan keadilan bagi masyarakat.

Pada Permenhut No 89/2014 di terdapat 3 tahapan izin dalam hutan desa yaitu Penetapan Areal Kerja, Penerbitan HPHD, dan Penerbitan IUPHHK-HD. Sedangkan untuk Permen baru ini, hanya ada satu saja izin/hak yaitu Hak Pengelolaan Hutan Desa (HPHD). Pemegang Hak Pengelolaan Hutan Desa (HPHD) secara otomatis memiliki lisensi untuk pemungutan kayu dalam hutan produksi (pasal 60) atau IUPHHK-HD. Kebijakan ini merupakan langkah maju untuk memberikan kemudahan dibandingkan dengan peraturan lama yang begitu rumit sehingga sangat sedikit masyarakat yang mendapatkan izin memungut hasil hutan kayu (IUPHHK-HD). Selain beberapa pengaturan yang lebih sederhana dari kebijakan sebelumnya, khususnya  yang berkaitan dengan  HD (Hutan Desa), Permen LHK Perhutanan Sosial yang baru juga memiliki semangat pembaruan yang prinsipil. Beberapa prinsip pembaruan yang diatur oleh Permenhut yang baru, dibandingkan dengan Permenhut No 89/2014 tentang HD adalah :

Tabel 5 Beberapa Perbedaan Permenhut P.89/Menhut-II/2014 dan Permenhut PS

  Permenhut P.89/Menhut –II/2014 Permenhut Tentang Perhutanan Sosial
Debirokratisasi perijinan Top Down, kebijakan dari atas dimana  PAK HD berdsarkan usulan Bupati/Walikota(pasal 6) Bottom  up : Permohonan HPHD  dilakukan oleh desa (Lembaga Desa/beberapa kepala desa) (Pasal 8 ayat 1
Pengaturan permohonan ijin Lebih interventif , terdapat tiga tahapan izin dalam hutan desa Lebih Otonom; hanya ada satu izin atau hak yakni HPHD (Hak Pengelolaan Hutan Desa)
Peran Pemerintah Desa dan Pemerintah Daerah KPH dan Pemerintah Daerah  memfasilitasi pembentukan LPHD, desa hanya mengetahui (bersifat pasif) . Peran Desa lebih dominan/lebih besar (bersifat aktif), desa memberikan legitimasi dan legalitas atas permohonan Hutan Desa dan mendorong Desa untuk terlibat aktif dalam pengelolaan HD, termasuk pembentukan LPHD (Pasal 8 ayat 7), pemerintah hanya memfasilitasi

Diolah dari berbagai sumber

Kewenangan Desa Dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam

Menurut Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa Pasal 18 kewenangan desa meliputi kewenangan di bidang penyelenggaraan pemerintahan desa,  pelaksanaan pembangunan desa, pembinaan kemasyarakatan desa, dan pemberdayaan masyarakat  desa berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan adat istiadat desa. Pasal 19 Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa kewenangan desa meliputi:

  1. kewenangan berdasarkan hak asal usul;
  1. kewenangan lokal berskala Desa;
  2. kewenangan yang ditugaskan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, atau Pemerintah Daerah
  3. Kabupaten/Kota; dan
  4. kewenangan lain yang ditugaskan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, atau Pemerintah

Dalam konteks sumber daya alam, paling tidak ada 2 (dua) kewenangan yang dimiliki desa, yakni pengelolaan berdasarkan hak asal usul dan kewenangan lokal berskala desa.Ayat 1 mengenai kewenangan  berdasarkan hak asal–usul salah satu yang terpenting adalah pengaturan hak-hak tradisional masyarakat, termasuk didalamnya adalah tanah ulayat (pasal 103 ayat 2 UU No. 6/2014).  Dalam  Peraturan Menteri Desa No. 1 /2015 tentang Pedoman Kewenangan Berdasarkan Hak asal Usul Desa berskala Desa salah satu kewenangan desa adalah pengelolaan tanah adat atau ulayat, termasuk didalamnya  hutan adat.  Ayat 2 tentang kewenangan lokal berskala desa  merupakan kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat Desa yang telah dijalankan oleh Desa atau mampu dan efektif dijalankan oleh Desa atau yang muncul karena perkembangan Desa dan prakasa masyarakat Desa. Salah satu lingkup kewenangan lokal berskala desa adalah kewenangan yang mempunyai lingkup pengaturan dan kegiatan hanya di dalam wilayah dan masyarakat Desa yang mempunyai dampak internal Desa, termasuk zonasi kawasan desa, didalamnya meliputi hutan desa yang diatur dalam RPJMDes dan Peraturan Desa (Perdes)[6].

Dalam konteks pengelolaan kawasan HD, kebijakan selama ini masih bertumpu pada Peraturan Menteri Kehutanan. Sementara itu kebijakan mengenai desa, khususnya berkaitan dengan implementasi UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa belum dimanfaatkan secara maksimal sebagai ruang kepastian pengelolaan kawasan Hutan Desa. Kebijakan UU Desa dan Kebijakan tentang Hutan Desa (HD) masih sektoral, padahal dalam konteks UU Desa sebagai dasar dari kebijakan tata pemerintahan desa, HD dan Hutan Adat (HA) sudah diakomodir, bahkan diakui sebagai salah satu aset (milik) desa yang harus ditingkatkan dan dikelola secara baik.  Desa  berada di bawah otoritas kebijakan Kementrian Dalam Negeri dan Kementrian Desa/Daerah Tertinggal, sementara Hutan (Desa) masih di bawah otoritas Kementrian Kehutanan dan Lingkungan Hidup.

Penutup

Perhutanan sosial (HKM, Hutan Desa, PHBM, Hutan Lindung Desa, Hutan Milik Desa) dapat menjadi jembatan untuk menjaga fungsi hutan, dan sekaligus menyejahterakan masyarakat. UU Desa yang mengatur beberapa kebijakan penting, seperti pembangunan kawasan antar desa, pengembangan BUMDes, Pengembangan Sistem Informasi Desa, Alokasi Dana Desa, dan pengaturan berbagai nomenklatur pemerintahan desa yang lainnya dapt menjadi pintu masuk untuk mengembangkan pengelolaan hutan kolaboratif.

———-

Penulis adalah sosiolog pedesaan, peneliti dan penggiat sosial Yayasan SATUNAMA

[1] Kompas, 21 Mei 2014

[2] Kalau kita belajar bagaimana pemerintah desa dapat berhasil dalam mengelola dan memanfaatkan sumber-sumber agraria di desa, salah satunya adalah desa Pengok di Kabupaten Klaten yang dapat meningkatkan PADes desa sampai 6 milyar/tahun.  www.kompas.com, 24 September 2016

[3] Terdapat dua paradigma yang berbeda yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam oleh desa yang diatur dalam UU 41/1999  tentang Kehutanan dan UU 6/2014  tentang Desa. Dalam UU  No. 41/1999 dikenal dengan nama hutan desa. Sedangkan kalau kita melihat kerangka subtansi UU No. 6 /2014, pengertiannya lebih distributif yakni hutan milik desa. (lihat U Desa dan Perhutanan Sosial, Tim Konsorium IPHD Merangin – Project MCA Indonesia, agustus 2016

[4]  Lihat World Agroforestry Centre – ICRAF Southeast Asia Regional(2015), Hutan Desa: Pemberdayaan, Bisnis, atau Beban? Bogor

[5]Permen LHK tentang Perhutanan Sosial bagian mengingat poin 4

[6] Sutoro Eko, Regulasi Baru –  Desa Baru;  Ide, Misi dan Semangat UU Desa, Kementrian Desa, Transmigrasi dan Daerah Tertinggal RI, 2015 ; Permendagri No. 44/2016 tentang Kewenangan Desa;

Tinggalkan komentar