Kunjungan Alumni School of Peace

‘School of Peace’ Alumni Visit

[photo1]

On July 24, 2009, 21 graduates from the School of Peace in India visited the SATUNAMA Training Centre in Duwet, Sendangadi for study comparison. This group was organized by Mr. Anick HT, Executive Director of Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) visited SATUNAMA to build networks and develop participant capacity in community organizing and capacity building.

‘This visit is part of the Fundamentalism and Reading Our Sacred Text training held by the Interfaith Cooperation Forum (ICF) with Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) and Interfaith Dialogue Community (MADIA). We chose SATUNAMA for one of our visits because the School of Peace has a community development agenda. We rate SATUNAMA as an institution that consistanly care develops cadres, activists, and thinkers from their training and workshops,’ Anick said. He also added that SATUNAMA is a well organized institution so the participants could learn a lot from it about organizational management and programs.

The participants came from Cambodia, New Zealand, Burma, and some areas of Indonesia and represent Islamic, Christian. Chatolic, Buddha, and traditional religions. They discussed with Meth Kusumahadi, chairperson of the SATUNAMA board of trustees, and former SATUNAMA Director, about SATUNAMA organizational history and programs.

[photo2]

‘All SATUNAMA programs have the main purpose of stregtening civil society in Indonesia through stregtening universal values and promoting democracy in the community. This process is implemented through training, facilitation, and consultancy services. Programs such as clean water infrastructure, the mobile library, and small enterprise development have the same long-term goals, making our communities independent and able to determine what is best for themselves,” Meth said.

After three hours of discussion, the participant visited the Ahmadiah Mosque that was targetted by a fundamentalist community, and Nurul Ummahat boarding school headed by Abdul Muhaimin which represents moderate boarding school with interfaith and pluralism programs.

Lutfi

Kunjungan Alumni School of Peace

[foto1]

Pada tanggal 24 Juli 2009 lalu, 21 peserta dari alumni School of Peace di India pada tahun 2006, 2007, dan 2008 datang ke Balai Pelatihan SATUNAMA di Duwet, Sendangadi untuk mengenal SATUNAMA. Rombongan yang diorganisir oleh Anick HT, direktur eksekutif Indonesian Conference on religion and Peace ini berkunjung dalam rangka membuat jaringan dan mengembangkan kapasitas peserta di bidang community organizing dan capacity building.

“Kunjungan ini merupakan bagian dari workshop fundamentalism and reading our sacred text yang diselenggarakan oleh Interfaith Cooperation Forum (ICF) bekerja sama dengan Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) dan Masyarakat Dialog antar Agama (MADIA). Kami memilih SATUNAMA sebagai salah satu lokasi kunjungan karena School of Peace memiliki agenda tentang community development. Kami menganggap SATUNAMA sebagai salah satu lembaga yang secara konsisten peduli di wilayah hulu dengan cara mencetak kader, aktivis, dan pemikir multistakeholder melalui training-training dan pelatihan yang dibuatnya,” tutur Anick HT. Ia juga menambahkan jika panitia beranggapan bahwa SATUNAMA merupakan lembaga yang sangat terorganisir, sehingga peserta bisa belajar banyak dari pengelolaan organisasi dan pengelolaan programnya.

Peserta yang berasal dari Kamboja, New Zealand, Burma, dan dari berbagai daerah di Indonesia ini mewakili komunitas agama Islam, Kristen, Katolik, Buddha, dan Penghayat. Mereka kemudian berdiskusi dengan Meth Kusumahadi, Ketua Dewan Pembina SATUNAMA yang juga mantan direktur SATUNAMA mengenai sejarah dan program-program lembaga.

[foto2]

“SATUNAMA memiliki berbagai program yang punya tujuan utama memperkuat civil society di Indonesia melalui penguatan nilai-nilai universal dan promosi demokrasi di masyarakat. Cara tersebut ditempuh melalui pelatihan, pendampingan, dan konsultasi. Program-program seperti air bersih, perpustakaan keliling, dan usaha kecil memiliki tujuan jangka panjang yang sama, yaitu membuat masyarakat mandiri dan bisa menentukan apa yang terbaik untuk dirinya,” tutur Meth.

Setelah berdiskusi selama kurang lebih tiga jam, peserta kemudian melanjutkan kunjungannya ke Masjid Ahmadiyah yang dianggap sebagai kelompok korban fundamentalisme, dan Pesantren Nurul Ummahat pimpinan KH Abdul Muhaimin yang mewakili pesantren moderat dengan agenda pengembangan jaringan dan agenda-agenda di bidang interfaith dan pluralisme.

Lutfi

Tinggalkan komentar