Demokrasi bagi Masyarakat Minoritas

Demokrasi adalah proses. Hari ini kita gagal membangun realitas publik agar kelompok marginal bisa tampil dalam realitas publik. Ungkapan ini disampaikan oleh Romo Benny Susetyo dalam sarasasehan Demokrasi Kini dan Nanti: Refleksi atas Perjalanan Konsolidasi Demokrasi di Indonesia yang digelar Yayasan SATUNAMA Selasa (3/5) lalu.

“Demokrasi kita ini dibajak oleh kelompok-kelompok pemodal. Kalau orang kemudian naik, istilahnya kere munggah bale (orang miskin naik kelas). Banyak anak muda aktivis begitu masuk DPR malah hanyut dan hilang keterampilan yang kita latih. Mereka berselingkuh dengan kekuatan kapital. Mereka masuk dalam satu perangkap dan hidup dalam perangkap itu dan tidak mau keluar.” Ujar Benny.

Logika jual beli masih menjadi mentalitas partai. Yang dibutuhkan dalam demokrasi adalah harus berjiwa pemenang, jujur, dan memiliki integritas. Persoalan kita, pendidikan politik kita tidak mampu menghasilkan orang yang selesai dengan dirinya.

“Ini politik oligarki. Sistemnya masih sama, nilainya masih sama. Lembaga berjalan, tapi tidak menghasilkan sesuatu yang mendorong proses demokrasi, misalnya dengan rakyat dilibatkan dalam pengambilan keputusan. Mungkin rakyat kini bisa bebas bicara, tapi kehendak rakyat tidak bisa menenetukan arus kebijakan. Akhirnya tetap hanya jadi penonton saja,” tutur Benny.

“Demokasi kita ini hanya asesori. Persis fenomena di desa, tergantung siapa yang modalnya yang besar dalam pemilihan kepala desa. Ini persoalan mentalitas, mental orang yang masih terjajah dan belum menjadi diri sendiri. politik uang tidak hanya persoalan partai politik, tapi persoalan masyarakat kita sendiri. Sebuah riset menunjukkan bahwa 60% masyarakat menunggu serangan fajar,” tambah Benny.

Proses penddikan rakyat, melatih rakyat untuk menolak politik uang tidaklah gampang. Munculnya kelompok intoleran, menunjukkan bahwa negara ini lemah menghadapi kelompok kecil bersuara nyaring dan menggunakan kekerasan atas nama apapun. “Ini kelompok ‘jawara’ yang malah ikut juga menentukan pengambilan keputusan. Bahkan kekuasaan berkompromi dengan kelompok ini.” Tambahnya.

Membangun demokrasi yang berkualitas dalam kenyataan di lapangan sulit terjadi jika perubahan mentalitas tidak berubah. “Partai politik ditentukan oleh dinasti. Hari ini bisa kita baca, Mega dan anaknya, SBY dan anaknya, Golkar pasti pedagang. Kalau kulturnya seperti ini, akan susah membangun partai politik.” Tandas Benny.

Di sisi lain, membangun budaya negasi dalam internal partai politik juga harus dilakukan dengan rekruitmen dan kaderisasi untuk membangun kesadaran bahwa orang yang masuk ke partai politik harus memiliki mental untuk mendobrak sistem partai politik. “Jika tidak ia akan menjadi orang frustrasi,” lanjutnya.

“SATUNAMA hari ini membuat grand design untuk membangun demokrasi yang memberi utopia. Yang bisa dilakukan adalah pertama, membangun budaya baru. Menyiapkan agen yang menjadi pemutus kata, yang mungkin dilakukan jika orang yang terjun dalam partai politik itu selesai dengan dirinya. Ide-ide akan dilahirkan setelah itu. Ia akan melahirkan budaya tanding. Kedua, membuat sistem pendidikan alternatif yang didasarkan pada kesadaran akan kelokalan. Menyiapkan kepemimpinan di tingkat lokal. Mulai dari lokal dulu. Kalau bangunan di lokal baik, pada saatnya agak bergerak ke pusat,” saran Benny.

Benny juga menambahkan bahwa harus ada sebuah lompatan dari cara berpikir kita yang tidak lagi menyalahkan keadaan dan partai poltiik, tapi menyiapkan kesadaran bahwa ketika masuk partai politik tidak untuk cepat kaya dan cepat sukses. “Sebuah terobosan alternatif harus dimulai di tingkat lokal. Kultur baru ini akan bisa mempengaruhi yang di atas.” Demikian Benny.

Sarasehan yang berjudul Demokrasi Kini dan Nanti: Refleksi atas perjalanan konsolidasi demokrasi di Indonesia, diselenggarakan SATUNAMA sebagai rangkaian lembaga ini untuk menyusun Perencanaan Strategis 2037. []

Penulis : Ryan Sugiarto
Penyunting : Ariwan K Perdana

Tinggalkan komentar