Mengembangkan Ketrampilan, Memberdayakan Masyarakat

Mengembangkan Ketrampilan, Memberdayakan Masyarakat

I Gede Edy Purwaka[1]

“ Boleh saya bertanya ?” seorang peserta musyawarah berkata.  “ Dari mana Yayasan ini mendapat dana. Apa keuntungan yang akan di dapat yayasan dari kegiatan ini ?” .

(Musyawarah Rakyat dan LSM, halaman 9[2]

Bentuk ekspresi mempertanyakan kehadiran LSM sering kali muncul  saat pertama kali sebuah organisasi mengunjungi komunitas atau daerah tertentu.  Boleh jadi pertanyaan kritis anggota masyarakat terhadap maksud dan tujuan kedatangan organisasi adalah bentuk keragu-raguan. Bertahun-tahun hasil pencapaian pembangunan yang luar biasa, belum dirasakan berdampak dan membawa keharmonisan pada hubungan antara manusia dengan alam, dan hubungan manusia dengan sesamanya.

Ketidakmampuan  pemerintah menciptakan keharmonisan mendorong pada terjadinya krisis. Lebih lanjut solusi penanganan  krisis bersifat jangka pendek dan tidak menyentuh pada akar permasalahan. Akibat tidak relevannya solusi yang ditawarkan, kontribusi pemerintah pada perubahan keadaan sering kali tidak dirasakan.  Lalu pertanyaannya selanjutnya adalah , “ Apa kontribusi  LSM terhadap perbaikan kondisi sosial ekonomi masyarakat ?”

Di dalam dunia yang terus berubah, dinamika kehidupan masyarakat semakin kompleks.  Hal ini menuntut pada cara kerja LSM pada pengembangan  masyarakat yang harus berubah mengikuti perkembangan yang terjadi. Kerja LSM tidak cukup hanya dengan berbekal menganalisa kondisi hari ini untuk mengantisipasi potensi persoalan yang terjadi esok,  keefektifan peran dan pendekatan LSM dalam pengembangan masyarakat diuji.

Mengisi celah pembangunan nasional

Sebelum lebih jauh membahas keefektifan sumbangan LSM dalam pembangunan masyarakat,  ada baiknya  melihat sebuah  ilustrasi tentang bagaimana sinergi yang baik dengan masyarakat  akan mempermudah pekerja LSM  dalam memahami sebuah isu, yang pada akhirnya membawa pada tindakan yang tepat.

“ Sebuah tim medis dari Australia dikirimkan ke sebuah desa terpencil di Kamboja, tempat dimana kasus HIV meningkat tajam. Tim tersebut mengaplikasikan pengetahuan dan ketrampilannya untuk mendidik rakyat tentang virus, penularannya, penggunaan kondom, praktik-praktik seks yang aman,  dan sebagainya.  Singkat cerita setelah berada di lokasi selama dua minggu, salah seorang anggota tim bertanya pada seorang perempuan setempat. “ Menurut pendapat Ibu, apa yang bisa mencegah peningkatan kasus HIV di Desa ini ?’  Ibu yang ditanya itu kemudian  menjawab.  “ Bangun kembali jembatan desa kami”.  Anggota tim yang mendapatkan jawaban tersebut  merasa kebingungan karena tidak mengerti  bagaimana hubungan antara jembatan dengan HIV (Jim Ife, 2008) [3]”.

Ilustrasi studi kasus di atas  ingin menggambarkan bagaimana seorang anggota tim  kesehatan dapat dengan mudah terjebak pada pengetahuan teknis dan medis dalam memahami sebuah persoalan lokal, jika dia menggunakan perspektif pengetahuan umum bawaan.  Singkat cerita, anggota tim medis menjadi tercerahkan dan semakin mengakui keterbatasan kepakarannya, setelah mengetahui fakta bahwa setelah jembatan di desa itu hanyut, para laki-laki harus berjalan selama tiga hari penuh sejauh tujuh puluh kilometer untuk menemukan jembatan penyebrangan terdekat. Pada malam-malam mereka diperjalanan, mereka berkunjung ke lokalisasi, virus HIV menular kepada mereka dan mereka menularkan pada istri, maka lahirlah bayi dengan HIV positif.  Padahal  sebelum jembatan hanyut. HIV bukan masalah di desa tersebut.

Sering kali proses pengembangan masyarakat baik Pemerintah maupun  LSM gagal mencapai hasil optimal, saat pelaksana kegiatan begitu menyakini kepakaran miliknya mampu memperbaiki keadaan, minimnya pemahaman akan konteks lokal seringkali  membawa LSM pada kegagalan memahami dan mendengarkan pengetahuan  yang dimiliki masyarakat.

Bagaimana halnya dengan praktek pengembangan masyarakat yang terjadi  saat ini ? Dilihat dari sisi pemerintah, saat ini pemerintah memiliki sebuah  panduan pembangunan. Panduan tersebut diterjemahkan dalam sebuah  strategi, sasaran dan arah tujuan pembangunan nasional. Proses perencanaan pembangunan didahului dengan penggalian kebutuhan. Dengan mengikuti siklus yang tetap, pemerintah mengundang perwakilan masyarakat  untuk menyampaikan pendapatnya dalam forum  musyawarah rencana pembangunan (MUSRENBANG).  Hasil  dari penjaringan aspirasi masyarakat dan pakar  tersebut  menjadi masukan untuk penyusunan rencana pembangunan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

Dasar hukum pelaksanaan pembangunan nasional tertuang dalam UU 25/2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional,  yang  menjelaskan mengenai rencana pembangunan jangka panjang, jangka menengah dan rencana tahunan.  Sementara   UU No. 17/2007  menguraikan rencana pembangunan jangka menengah nasional  yang terbagi dalam empat tahap yaitu RPJMN I 2005-2009, RPJMN II 2010-2014, RPJMN III 2015-2019 dan RPJMN IV 2020-2024[4].  Melalui kedua undang-undang tersebut pemerintah memiliki dasar hukum untuk menyelenggarakan tahap-tahap pembangunan.

Pada saat pemerintah pelaksanaan pembangunan, ternyata banyak praktek yang tidak sesuai dengan apa yang menjadi aspirasi masyarakat. Adanya keterbatasan dalam jumlah maupun kualitas membuat para aparatur negara kesulitan memberikan pelayanan maksimal, sehingga pelaksanaan pembangunan di masyarakat sering kali tertunda atau melenceng dari kehendak masyarakat . Adanya ketidaksesuaian antara harapan dengan kenyataan menciptakan ruang kosong yang harus diisi.  Dari sisi LSM  adanya kekosongan atau adanya celah yang tidak dapat dikerjakan oleh pemerintahan, merupakan peluang untuk berkarya.  Pendapat ini  sejalan dengan ungkapan dari Hans Dieters Evers, “ Kegagalan pasar  dan pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan menyisakan gap yang harus diisi oleh aktivis NGO” .

Pasang surut LSM

Jika melihat  kembali periode  lima belas hingga dua puluh  tahun ke belakang,  tertulis sejarah bermunculannya Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)  di Indonesia. Perkembangan LSM mulai marak sejak jatuhnya rejim Soeharto tahun 1998.  Pesatnya pertumbuhan LSM dapat dipandang sebagai era “bangkitnya”  masyarakat sipil  dimana kebebasan-kebebasan dasar warga Negara seperti kebebasan berserikat, berkumpul dan menyatakan pendapat kembali dipulihkan. Namun di sisi lain, kebebasan tersebut ternyata juga dimanfaatkan oleh orang atau kelompok untuk mendirikan LSM yang dilandasi dengan motif mencari keuntungan semata dan menyalahgunakan kepercayaan yang diberikan  pihak lain.[5]

Pengalaman-pengalaman  kurang baik akibat aksi ‘penumpang gelap’ pada masa menjamurnya LSM, mengakibatkan LSM kerap kali menerima kritik tajam dari berbagai pihak. Para pihak yang peduli itu secara kritis mempertanyakan rekam jejak organisasi dari  aspek transparansi, legitimasi dan tata kelola organisasi. Mengapa hal tersebut terus terjadi ? data menunjukkan  sumber pendanaan  terbesar  bagi gerak LSM berasal adalah lembaga donor.  Sebagai misal Yayasan SATUNAMA, sebuah LSM lokal berbasis di Yogyakarta, data keuangan  sepanjang tahun  2009 hingga 2011 menunjukkan penerimaan yang berasal  dari lembaga donor jumlahnya sangat  signifikan. Pada tahun 2009  prosentase penerimaan  dari donor sebesar (76,7%) diikuti pada tahun  2010 sebesar  (44,6%) dan pada tahun 2011  sebesar (66,5%) [6].  Dari data prosentase tersebut terlihat bahwa penerimaan berasal dari  donor berkontribusi signifikan terhadap keseluruhan gerak dan kegiatan  organisasi.  Oleh karena itu tidak mengherankan, jika masyarakat  kerap kali memandang kerja  LSM  lebih fokus mengurusi dana ketimbang fokus pada menggali gagasan –gagasan.

Tipe Kerja LSM

Terlepas dari masih tingginya ketergantungan LSM pada Donor,  terdapat banyak bidang yang dapat dikerjakan oleh LSM untuk mengisi celah pembangaunan nasional . Andarmosoko (2010)[7]  mendefinisikan beragamnya rentang kerja LSM. Masing-masing  jenis kerja tersebut mempunyai kekhususan metodologi, pendekatan dan implikasi teknisnya.  Organisasi Masyarakat Sipil (OMS)  menjadi berbeda dengan korporat dalam agenda perubahan dan paradigma perubahan, dari tataran kerja teknis, (a) Perbaikan taraf hidup. Perbaikan taraf hidup, atau livelihood, adalah kerja kerja yang berurusan langsung dengan kebutuhan dasar keseharian, seperti misalnya sandang, pangan, kesehatan, perumahan, sanitasi,dan lainnya. (b) Pengembangan Ekonomi. Kerja pengembangan ekonomi, kadang disebut juga kerja ekonomi berkelanjutan, dimaksudkan sebagai upaya yang dilakukan terhadap sekelompok masyarakat tertentu untuk membantu meningkatkan kapasitas kehidupan ekonomi mereka. Biasanya hal ini dilakukan kepada kelompok seperti para pelaku usaha mikro. Bentuk-bentuk lebih rinci bisa berupa misalnya pemberian hibah modal, pinjaman tanpa bunga, pinjaman dengan bunga kecil, kerdit bergulir (intervensi modal), fasilitasi pemasaran, dsb. (c) Advokasi kasus. Advokasi kasus bisa berupa kasus individual atau kasus kolektif, pada kerja tersebut diupayakan penyelesaian, pengungkapan, atau penanganan terhadap kasus tertentu. Hal ini adalah mengupayakan perubahan keputusan, atau status dari kasus tertentu. Dalam advokasi kasus biasanya ada unsur perspektif korban, yaitu apabila korban mengalami kerugian, maka penyelesaian akan mencari upaya pengembalian hak-hak yang terenggutkan tersebut, juga rehabilitasi hukum, dsb. (d) Advokasi kebijakan. Advokasi kebijakan bisa mempunyai sasaran berupa butir kebijakan spesifik seperti misalnya peraturan daerah, undang-undang atau sasaran mengubah proses pengambilan keputusan untuk kebijakan tertentu.  (e) Pendidikan public. Kerja pendidikan publik sasarannya adalah pengetahuan, kesadaran dan  persepsi dan sikap tertentu pada publik tertentu. (f) Akomodasi politik, pengembangan institusi. Perubahan politik di Indonesia membuka wilayah-wilayah baru dalam kerja OMS, antara lain  akomodasi politik dan pengembangan kelembagaan. Akomodasi politik merupakan proses intervensi terhadap aspirasi dan tuntutan politik yang spesifik, atau akomodasi politik berkonsentrasi ke dalam upaya memasuki sistem politik. Kerja semacam ini mejadi salah satu perluasan dari kerja OMS dalam advokasi kebijakan atau pendidikan publik. Hal seperti ini dapat terjadi di berbagai tingkat hirarki geografis politik, bisa dari tingkat desa sampai ke tingkat nasional  (g) Riset, pengembangan wacana dan pengembangan kapasitas.  Gugusan jenis kerja ini biasanya tidak secara langsung menargetkan suatu perubahan kebijakan tertentu, namun lebih bersifat membekali para aktor perubahan dengan sumber daya yang dibutuhkan untuk mencapai  perubahan yang mereka inginkan.

Dari uraian jenis kerja di atas,  dapat kita ketahui betapa beragamnya jenis dan kekhasan kerja LSM dalam melakukan  kerja di masyarakat.  LSM dapat menggunakan satu atau lebih pendekatan dan peran agar kegiatan yang dilakukan mampu memenuhi kebutuhan masyarakat.

Mengembangkan berbagai ketrampilan, memberdayakan masyarakat

Pekerjaan-pekerjaan yang dilakukan oleh LSM  seringkali membutuhkan kepakaran dalam bidang tertentu.  Meskipun demikian, idealnya seorang aktivis  tidak  dengan mudah meninggalkan ‘modal’ yang telah dimiliki oleh masyarakat. Ide untuk menggali  berbagai informasi ketrampilan yang dimiliki  masyarakat, bukan tidak mungkin akan menghasilkan daftar panjang berisi macam-macam jenis ketrampilan  warga.

Jim Ife (2008, hal 620) berpendapat ada lima komponen penting pada proses pengembangan berbagai ketrampilan. Penerapan kelima komponen ketrampilan dalam kerja-kerja LSM dapat menjadi sumbangan bagi pengembangan masyarakat. Komponen ketrampilan tersebut adalah analisis, kesadaran, pengalaman, belajar dari orang lain dan intuisi . Dalam hal ini  LSM memberdayakan masyarakat ditingkat  kesadaran, pengetahuan.

Analisis

Seringkali dalam berbagai kesempatan masyarakat menjumpai berbagai permasalahan yang rumit. Dalam jangka panjang, jika kerumitan yang timbul tidak segera ditangani dengan baik dikhawatirkan mengarah pada persoalan sosial yang lebih besar. Untuk itu LSM dapat berperan dalam memberikan pemahaman yang relevan kepada masyarakat tentang konteks permasalahan yang sedang dihadapi. Caranya adalah dengan membekali masyarakat dengan ketrampilan analisis terhadap situasi yang sedang dihadapi masyarakat. Harapannya  saat masyarakat menyadari letak permasalahannya dalam skala lokal maupun nasional, masyarakat mampu menentukan pilihan tindakan secara bertanggung jawab  dan penuh kesadaran bukan bertindak karena kebiasaan yang sering dilakukan.

Kesadaran

Peran lain LSM adalah menumbuhkan kesadaran. Saat anggota masyarakat memiliki kesadaran terhadap diri dan lingkungannya, diharapkan sensitivitasnya dalam menghadapi persoalan akan terlatih. Anggota masyarakat akan semakin mampu mendengar dan memahami orang lain. Jika kesadaran ini tercapai, maka pendamping masyarakat tidak perlu bersusah payah memberitahukan kepada penduduk apa yang harus mereka lakukan.

Pengalaman

Peran berikutnya yang dapat dilakukan LSM dalam pemberdayaan adalah memberikan pengalaman baru bagi masyarakat. Pengalaman dapat diperoleh melalui pelatihan secara formal maupun informal melalui belajar dari kelompok masyarakat lain. Membuat masyarakat memiliki pengalaman yang relevan, memungkinkan timbulnya kemampuan baru dalam melihat sesuatu dari sudut pandang yang berbeda. Dengan memampukan masyarakat memiliki cara pandang baru, diharapkan masyarakat semakin berdaya dan mampu memilih berbagai alternative tindakan terbaik untuk diri mereka.

Belajar dari tempat lain

LSM dapat memfasilitasi sebuah masyarakat untuk mendapatkan hal baru dengan belajar dari orang lain atau tempat lain. Sering kali dengan melihat apa praktek langsung memampukan masyarakat menarik pembelajaran dari sebuah praktek yang berhasil. Memberikan kesempatan belajar dari tempat lain akan mengintegrasikan kemampuan analisis, peningkatan kesadaran dan sekaligus memberikan pengalaman yang relevan.

Intuisi

Pendekatan ilmiah seringkali dipercaya sebagai hal yang perlu dilakukan untuk mencapai hal yang sahih. Namun dalam prakteknya, sering kali dalam sebuah dinamika masyarakat, hal sederhana seperti komunikasi mampu menyelesaikan masalah. Sering kali kebiasaan masyarakat mengambil keputusan berdasarkan intuisi dikritik sebagai sesuatu yang tidak ilmiah. Namun masyarakat sering kali memiliki kearifannya sendiri dalam mengantisipasi atau memutuskan sesuatu hal. Sering kali sebuah masyarakat dalam memutuskan sesuatu berdasarkan intuisi berhubungan dekat dengan kesadaran diri.  Dalam hal ini yang ingin ditekankan pada masyarakat adalah seharusnya mereka tidak mengingkari pentingya instuisi, namun harus berusaha memahami bagaimana hal itu dapat mempengaruhi berbagai keputusan yang diambil.

Lima hal tersebut adalah sedikit dari peran yang dapat diambil oleh LSM dalam memberdayakan masyarakat. Pemberdayaan dari sisi pengetahuan, ketrampilan dan kesadaran diri diharapkan mampu memahamkan masyarakat terhadap berbagai rangkaian kejadian yang ada  dan memampukan masyarakat bersikap pada situasi yang dihadapi, sehingga keputusan menjadi warga yang berdaya  ditentukan oleh masyarakat itu sendiri dengan sikap merdeka.

Kesimpulan

Dalam pendampingan untuk pemberdayaan  masyarakat, titik krusialnya ada dalam  menolak terjadinya ketergantungan.  Terciptanya ketergantungan baru masyarakat terhadap kegiatan program atau pendamping dapat dinilai sebagai kegagalan LSM dalam melakukan pekerjaannya. Terlebih ketika aspek keberlanjutan tidak dibangun sejak awal, begitu sebuah intervensi proyek selesai, maka masyarakat dapat kembali dalam situasi/kondisi sebelum adanya program.

Hal penting lainnya adalah memastikan agar  masyarakat  tidak terperosok dalam kegiatan-kegiatan yang justru menempatkan masyarakat dalam jebakan subordinasi dari sistem yang hendak dilawan dengan kegiatan kemandirian rakyat. Wangsit (2010)[8] memberikan contoh, misal LSM melakukan pemberdayaan bagi masyarakat sekitar danau dengan kegiatan pembuatan kerajinan eceng gondok.  Untuk menjaga keberlanjutan usaha, maka tanaman eceng gondok harus selalu dipelihara dan harus ditingkatkan populasinya, ini adalah prasyarat jika meinginkan terjadinya peningkatan usaha. Dalam prakteknya tentu saja hal  ini jutru bertentangan dengan upaya-upaya penyelamatan danau, karena tanaman eceng gondok ternyata berkontribusi yang besar terhadap pendangkalan danau.

Dengan memberikan komponen ketrampilan analisis, kesadaran, pengalaman, belajar dari orang lain dan intuisi, maka mengutip Andarmosoko (2010), model pemberdayaan dalam uraian di atas tepat diadopsi bagi LSM yang memiliki tipe kerja (a) Perbaikan taraf hidup yang berurusan langsung dengan kebutuhan dasar keseharian, seperti misalnya sandang, pangan, kesehatan, perumahan, sanitasi (b) Pengembangan Ekonomi untuk membantu meningkatkan kapasitas kehidupan ekonomi (c) Advokasi kebijakan yang menyasar  kebijakan spesifik seperti misalnya peraturan daerah, undang-undang atau sasaran mengubah proses pengambilan keputusan untuk kebijakan tertentu dan (d) Pendidikan publik yang sasarannya adalah pengetahuan, kesadaran dan  persepsi dan sikap tertentu pada publik tertentu.

Kerja-kerja pemberdayaan oleh LSM bukan  untuk mengambil alih seluruh  peran dan tanggung jawab negara, tetapi melengkapi sebagian dari amanat negara dalam  melindungi segenap bangsa Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum, seperti yang diamanatkan dalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945.

 

Referensi

  1. Saragih, Sabastian (ed), Musyawarah Rakyat dan LSM- Sebuah pengalaman pengorganisasian rakyat yang dilakukan LSM, Puspaswara, Jakarta, 1996
  2. Ife, Jim dan Tespriero, Frank, Community Development: Alternatif pengembangan masyarakat di era globalisasi, Pustaka pelajar, Yogyakarta, 2008
  3. Power Point, Penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019
  4. Konsorsium Pengembangan Masyarakat Madani- Belajar dari masyarakat madani Filipina, 2005
  5. Andarmosoko, Idaman, Modul 3302 Kursus Pengelolaan Pengetahuan bagi Organisasi Masyarakat Sipil – Combine Resource Institute, 2010

[1] Staf Departemen PPJM, Yayasan SATUNAMA, Yogyakarta

[2] Pertanyaan dari masyarakat tersebut muncul saat kunjungan pertama kali Yayasan Bina Keterampilan Pedesaan Indonesia (BITRA) melakukan kunjungan di Desa Bandar Beras  pada Januari 1990 . Desa Bandar Beras terletak di jajaran pantai timur Kabupaten Deli Serdang, 75 km sebelah tenggara Medan,

[3] Ife, Jim dan Tespriero, Frank, Community Development: Alternatif pengembangan masyarakat di era globalisasi, Pustaka pelajar, Yogyakarta, 2008, halaman 320

[4] Power Point, PENYUSUNAN RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH NASIONAL (RPJMN) 2015-2019 ,  Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/ Kepala Bappenas, Disampaikan dalam Musrenbang Regional Palu, 6 Desember 2014

[5] Menjadi LSM Akuntabel, hal 4 – Belajar dari masyarakat madani Filipina,  Konsorsium Pengembangan Masyarakat Madani, Padang, 2005

[6] Data Diolah dari laporan keuangan SATUNAMA tahun 2009 -2011

[7] Modul 3302 KURSUS PENGELOLAAN PENGETAHUAN BAGI ORGANISASI MASYARAKAT SIPIL- Combine Resource Institute

[8] Stevanus Wangsit, Aktivis di InProSuLA, mantan Staf divisi People Empowerment Program Yayasan SATUNAMA, Diskusi dilakukan pada tahun 2010

Tinggalkan komentar