Masa Depan Inklusi di DIY: Pengalaman Praktik Kebijakan di Kab Kulon Progo

Satunama.org – Undang-undang Dasar 1945 secara tegas menyatakan bahwa setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya. Hal ini tertuang dalam Pasal 28 E Ayat 1 (satu) dan 29 Ayat 2 (dua). Namun demikian, dalam praktiknya ternyata belum semua warga negara memiliki kemerdekaan dalam memeluk agama dan kepercayaan. Data yang dihimpun oleh Yayasan Satunama dari lapangan menunjukkan, masih banyak kelompok masyarakat yang tidak dapat beribadah sesuai agama dan kepercayaanya. Terutama yang dialami oleh komunitas penghayat kepercayaan lokal. Beberapa bulan lalu, misalnya, salah satu Sanggar tempat ibadah penghayat Sapto Darmo dibakar oleh massa intoleran di Rembang. Tak hanya soal pembakaran tempat ibadah, bahkan, terdapat juga kasus jenazah penghayat yang ditolak dimakamkan di pemakaman umum warga. Tidak hanya dialami oleh Sapto Darmo, namun komunitas penghayat lain di 7 Wilayah yang didampingi oleh Yayasan Satunama juga bernasib sama.

Secara umum, beberapa permasalahan yang dialami oleh komunitas penghayat antara lain; Pertama, tidak adanya pengakuan dari pemerintah. Ketiadaan pengakuan membuat komunitas penghayat harus memilih salah satu agama yang diakui jika ingin mendapatkan akses terhadap layanan negara. Seperti layanan pembuatan Kartu Keluarga, Akte Kelahiran maupun Kartu Tanda Penduduk (KTP). Padahal layanan administratif tersebut menjadi syarat bagi masyarakat untuk mengakses layanan lain, seperti pendidikan dan kesehatan. Menjadi saling terkait, antara ketiadaan pengakuan dengan diskriminasi atas layanan. Kedua, komunitas penghayat kerap mendapatkan kekerasan dari para intoleran. Intimidasi, penyerangan bahkan pembakaran tempat ibadah masih banyak dialami oleh komunitas, dan negara seringkali abai dalam pencegahan, perlindungan maupun penanganannya. Ketiga, komunitas penghayat menjadi sangat dekat dengan kemiskinan, karena tertutupnya akses terhadap layanan negara, baik pendidikan, kesehatan dan ekonomi.

Inklusi sosial menjadi sebuah tawaran yang sangat relevan untuk menjawab problem diatas. Inklusi sosial mengingatkan bahwa sejak jaman dulu, kita mempunyai akar ke-Bhinekaan. Beragam dan multikultur. Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan sebuah wilayah otonom yang memiliki hak untuk mengatur sendiri turunan kebijakan dari pusat untuk diimplemetasikan sesuai dengan potensi yang ada. Seperti diketahui juga bahwa komponen dan elemen masyarakat yang ada di DIY ini berbasis multikultur dan multi dimensi yang meskipun bisa dikatakan beberapa bagian dari masyarakatnya merupakan pendatang dari wilayah lain, hal itu tidak bisa dipungkiri mulai dari level pelajar, mahasiswa, pegawai bahkan pedagang. Pertanyaannya sekarang adalah apakah seluruh wilayah di Daerah Istimewa Yogyakarta bisa disebut sebagai Daerah Inklusif?

Berbagai riset menunjukkan, Yogyakarta sebagai kota City of Tolerance justru beberapa tahun terakhir sering tersandung kasus-kasus intoleran yang cukup serius, bahkan penelitian Wahid Institue menempatkan DIY sebagai daerah yang intoleran kedua di Indonesia. Tentu tak dapat digeneralisir, karena di tengah intoleransi yang menguat, justru ada secercah harapan dari Kabupaten Kulon Progo. Pada tahun 2012, Kepala Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Kulon Progo telah mengeluarkan Surat Edaran Nomor 475/2744/x/2012 tentang Layanan Administrasi Kependudukan bagi Penganut Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan yang Maha Esa. Surat Edaran yang ditujukan bagi seluruh Camat dan Kepala Desa di Kulon Progo secara tegas menyatakan antara lain; Pertama, pembuatan KTP bagi penganut penghayat kepercayaan tetap akan dilayani walau tidak ingin mencantumkan agama; Kedua, penganut penghayat juga tetap dapat mengisi data lengkap aliran kepercayaannya; Ketiga, dalam hal perkawinan, Pemerintah Desa tetap berkewajiban untuk memberikan surat keterangan perkawinan; Keempat, dalam hal pengakuan dan pengesahan anak, diberlakukan seperti halnya perkawinan pengakuan dan pengesahan anak bagi agama non Muslim.

Kebijakan Kabupaten Kulon Progo diatas, adalah contoh yang sangat baik bagaimana negara membuka pintu bagi penghayat kepercayaan untuk mendapatkan akses layanan sosial yang selama ini belum mereka dapatkan. Kulon Progo juga sudah memulai dengan upaya pendidikan inklusif bagi difabel, jauh sebelum Pemerintah Provinsi DIY mengeluarkan kebijakan yang sama tersebut. Penghayat kepercayaan dan diffable hanyalah contoh entitas yang perlu untuk digawangi. Jauh diluar hal tersebut masih banyak beberapa kelompok elemen masyarakat untuk selalu diperhatikan, yang belum mendapatkan hak melalui kebijakan undang-undang hingga tersendatnya akses layanan sosial yang pada aspek paling dasar adalah belum adanya penerimaan sosial di level antar masyarakat. Bahwa inklusi sosial itu tidak hanya milik entitas dan satu golongan saja, melainkan segala elemen masyarakat bisa mendapatkan hak yang selayaknya, mendapatkan identitas yang jelas sebagai warga negar,a serta dapat mengakses untuk kesejahteraan tanpa dihinggapi rasa takut atas identitasnya sendiri.

Diskusi bertujuan untuk:
1. Melihat potret inklusi di DIY dari pengalaman lapangan.
2. Mendiskusikan praktik baik kebijakan inklusi di Kabupaten Kulon Progo
3. Mengetahui tantangan dan hambatan praktik inklusi di DIY
4. Merumuskan bersama masa depan inklusi di DIY.

Diskusi akan dilaksanakan pada:
Hari & tanggal : Rabu, 2 Maret 2016
Waktu : Pukul10.00 – 13.00 WIB
Tempat : Kantor Harian Tribun Jogja, Jl. Jenderal Sudirman 52, Yogyakarta

Narasumber :
1. Hasto Wardoyo (Bupati Kab. Kulon Progo)
Materi: Pengalaman Praktik Kebijakan Inklusi di Kab Kulon Progo
2. Hairus Salim (Cendekiawan, Yayasan LKiS Yogyakarta)
Materi: Potret Inklusi di DIY dari pengalaman lapangan.
3. Ketua MUI Daerah Istimewa Yogyakarta
Materi: Tantangan dan Hambatan Inklusi di DIY

Partisipan
Diskusi ini terdiri dari jejaring organisasi masyarakat sipil (OMS) terutama yang bergerak dalam isu demokrasi, toleransi, keadilan sosial, HAM, akademisi, dan masyarakat. Narahubung Konfirmasi kehadiran silakan dikirimkan melalui surel ke: arsih@satunama.org atau SMS ke nomor 085729746458 (Arsih) selambatnya Selasa, 1 Maret 2016 pukul 16.00 WIB.

Tinggalkan komentar