Mendorong Pemenuhan Hak Penghayat Kepercayaan

Judul buku : Inklusi Sosial Penghayat Kepercayaan: Mengupayakan Penerimaan Sosial, Akses dan Perubahan Kebijakan bagi Warga Sapto Darmo Brebes dan Sedulur Sikep Kudus.
Pengarang  : Tedi Kholiludin, Ceprudin, Ubbadul Adzkiya’, Yayan M. Rohani.
Penerbit : Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA) Press.
Tahun Terbit : 2015.
Jumlah Halaman : x+106 halaman.

Buku ini terdiri dari empat bab yang melaporkan hasil temuan serta usaha yang dilakukan di dua wilayah dengan cara berjenjang. Bab I berisi tentang informasi proyek baik lokasi serta latar belakang masalah yang dihadapi maupun asumsi yang pelaksanaan program. Bab II menjelaskan tentang teknik pendekatan yang dilakukan dalam situasi proyek. Pendekatan berbasis HAM masih digunakan sebagai usaha peningkatan kapasitas penerima manfaat dalam memberi kesadaran hak sipil, kemudian advokasi berbasis inklusi. Bab III menjelaskan secara singkat tentang dua kepercayaan yang menjadi fokus kerja serta upaya advokasi yang sudah dilakukan di tingkat kebijakan. Bab IV memaparkan tentang data keadaan ekonomi para penerima manfaat serta peningkatan kapasitas dalam bentuk ekonomi yang diupayakan untuk mereka. Lalu buku ini ditutup dengan kesimpulan pada Bab V.

Inklusi Sosial Penghayat Kepercayaan (ISPK) adalah buku yang ditulis dengan bekal dari laporan Program Peduli yang telah dilakukan sejak Maret 2015 dan diampu oleh Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA) dibawah koordinasi Kementrian Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK). Program tersebut membatasi lingkup kerjanya pada dua komunitas yaitu  Sapta Darma di Brebes dan Sedulur Sikep di Kudus.

Dalam kerja di lapangan, eLSA menambahkan metode pendekatan tidak hanya pada metode pendekatan berbasis Hak Asasi Manusia (HAM) dan kebebasan beragama dan berkepercayaan yang sering dilakukan sebelumnya, namun juga mengintegrasi arah advokasi pada pendekatan-pendekatan inklusi dengan metode perubahan sosial serta penguatan ekonomi.

Tulisan yang ada dalam buku menjelaskan masalah serta solusi serta diakhiri dengan akar masalah yang menimbulkan terjadinya penolakan kedua kepercayaan baik penolakan oleh lingkungan sosial maupun diskriminasi struktural yang dilakukan oleh pemerintah.

Buku ini menarik untuk dibaca karena selain tetap memberikan penguatan kapasitas melalui pelatihan penyadaran hak sipil kepada komunitas, buku ini juga menceritakan bagaimana prinsip-prinsip inklusi digunakan sebagai bagian dari audiensi dan rembug warga dalam advokasi. Seperti yang dituliskan pada bab III, advokasi digunakan dengan menggunakan dua pendekatan yaitu pendekatan kultural berupa rembug warga atas masalah penolakan pemakaman yang kemudian mendatangkan solusi untuk membeli tanah oleh pihak desa yang akan digunakan sebagai pemakaman warga Sapto Darmo. Pendekatan lainnya yang dijelaskan adalah pendekatan struktural yaitu melakukan pertemuan dan dengar pendapat kepada pemerintahan daerah untuk menjadikan keberadaan mereka lebih inklusif dan diakui.

Pendekatan ekonomi yang dipaparkan di bab IV, setelah menjelaskan masalah yang sering dihadapi oleh pemeluk kepercayaan seperti tidak memiliki akta kelahiran yang menjelaskan bahwa pernikahan kedua orang tua diakui, pemaksaan mengikuti pelajaran agama lain, serta kekerasan verbal dan isolasi di sekolah yang membuat sekolah bukan menjadi tempat yang aman bagi para anak-anak pemeluk kepercayaan. Selain menunjukkan tingkat pendidikan para pemeluk kepercayaan, buku ini juga mengungkapkan data tingkat pendapatan dari masing-masing anggota dua komunitas. Pada bab IV solusi ditawarkan dalam diskusi bersama dua komunitas untuk mulai membangun perekonomian alternatif.

Dalam bab ini juga, studi komparatif dilakukan untuk memberi gambaran perbedaan tantangan dan capaian yang dialami oleh Warga Sapta Darma dan Sedulur Sikep. Bagi Sedulur Sikep yang mengganggap bertani adalah pekerjaan yang suci tentu saja alternatif pekerjaan lain membuat beberapa anggota komunitas mengalami konflik, karena menurut ajaran mereka, berdagang masih dianggap tabu, sementara bagi warga Sapta Darma, mereka telah menggabungkan ketiga usaha agar bisa berjalan beriringan serta membuat koperasi simpan-pinjam.

Sebagai buku yang diterbitkan melalui pengalaman proyek sosial, bahasa yang digunakan adalah bahasa laporan terutama untuk menjelaskan sebuah table atau angka survey. Namun demikian, bahasa tersebut sangat membantu pembaca dalam memahami situasi proyek serta problema yang ada di dalamnya. Buku ini tentu akan lebih bermakna jika tulisan-tulisan pengakuan atau cerita dari komunitas dituliskan dengan narasi serta mengutip beberapa wawancara agar sudut pandang mereka juga dapat dimunculkan.

Disayangkan sekali, pada Bab dua disaat menjelaskan tentang latar belakang kedua subjek yaitu Warga Sapta Darma di Brebes dan Sedulur Sikep di Kudus, kurang mengupas tentang filososi dan nilai moral yang melatarbelakangi kepercayaan tersebut untuk mendapat gambaran mengapa warga masih memilih memeluk agama tersebut. Padahal dengan menuliskan dengan rinci nilai ataupun ritual yang dianut oleh warga, maka kesan sebagai buku yang bersifat melaporkan akan sedikit bergeser menjadi buku kajian. Selain itu ada beberapa kegiatan serta solusi yang ditulis berulang-ulang dalam buku.

Buku ini tidak hanya diperuntukkan untuk mereka yang akan mencari referensi tentang advokasi agama minoritas dan inklusifitas, namun juga mereka yang ingin mengetahui bagaimana hak sipil tidak pernah dihadirkan dalam menu oleh Negara, alih-alih justru diambil secara struktural. Dalam halaman 52 diceritakan bagaimana regulasi hukum justru tidak melayani kebutuhan para pemeluk agama minoritas. Pemerintah Daerah selalu berkelit bahwa mereka sudah memberikan pelayanan sesuai yang tertera pada UU No. 1/PNPS 1965 sebagai payung hukum. Ini merupakan cerminan bahwa kebijakan pemerintah adalah kebijakan berbasis keperluan atau kebutuhan bukan kebijakan yang berlandaskan HAM yang sudah diretifikasi dengan hukum internasional.

Secara tidak tertulis, buku ini juga mengungkap problem-problem lain dari hak-hak sipil. Masih banyak yang perlu digali lebih dalam, contohnya saja data kepemilikan tanah dan bagaimana warga Sedulur Sikep yang adalah petani tiba-tiba berubah menjadi buruh tani dan tidak memiliki tanah. Hal lain yang masih bisa digali adalah tentang pengalaman gagal panen yang hingga mencapai kerugian 50% dan memaksa Sedulur Sikep untuk berganti profesi, apakah perubahan iklim juga berpengaruh dalam masalah ini?

Buku “Inklusi Sosial Penghayat Kepercayaan” sangat penting dibaca dan digunakan karena buku ini mengajarkan pembaca untuk memiliki riset data awal yang kuat sebagai pijakan dalam melakukan advokasi. Secara khusus, buku ini mengungkapkan masalah yang dihadapi oleh para penganut agama minoritas. Namun secara keseluruhan, problem yang dipotret oleh buku ini adalah problem yang dihadapi oleh kelompok minoritas dalam meminta hak-hak sipil mereka. Potret desa semakin lama semakin tidak inklusif menunjukkan bahwa ada nilai dari desa yang semakin luntur dan juga perlu menjadi perhatian. Karena jika kedua kelompok tersebut diatas – seperti yang dikutip dalam buku – adalah aset desa. Jika keberadaan mereka terlindas oleh modernitas yang juga mulai menggerogoti desa bukan tidak mungkin suatu hari mereka akan menghilang beserta dengan nilai-nilai lokal.

Membaca buku ini membuka kemungkinan apa yang dapat terjadi di masa depan terkait dengan keberagaman agar pembaca memiliki empati kepada mereka yang berbeda dan memiliki komitmen untuk menjaga keberadaan mereka.

—————————————

Peresensi :
Ajeng Herliyanti
Staf Departemen Pengelolaan Pengetahuan Jejaring dan Media
Yayasan SATUNAMA

Satu pemikiran pada “Mendorong Pemenuhan Hak Penghayat Kepercayaan”

Tinggalkan komentar