Pembangunan Kota Harus Bertumpu Pada Kebutuhan Masyarakat

Berbicara masalah perkotaan hal yang paling mendasar perlu dipahami adalah tentang apa yang membedakannya dengan pedesaan. Selama ini kita selalu membuat dikotomi antara desa dan kota hanya berdasarkan struktur administrative saja tetapi bukan dari bagaimana sebuah wilayah itu bekerja. Perbedaan mendasar antara perkotaan dengan pedesaan hanya pada pusat perubahannya, jika desa sumber perubahannya bertumpu pada sumber daya alam yang dikelola secara kreatif oleh manusia, sedangkan di kota sumbu perubahan berada pada manusia itu sendiri dengan ide kreatifnya.

“Ketika sebagian masyarakatnya sudah mulai bertumpu pada kegiatan jasa, maka wilayah tersebut adalah kota”, demikian yang disampaikan oleh Holy Bina Wijaya, pakar urban planning dari Universitas Diponegoro dalam Urban Social Forum ke-3 di UNTAG Surabaya, Sabtu (19/12/15).

Beberapa tahun terakhir ini ada banyak istilah terkait dengan kota misalnya, Green City, Creative City, Smart City, Cyber city, Human Rights City dan lain sebagainya. Kota-kota juga merasa perlu untuk mengambil salah satu predikat tersebut tersemat di Kota mereka. Berbagai predikat disandang oleh kota-kota di Indonesia baik skala nasional maupun internasional. Yang paling baru tentunya dikukuhkannya Kota Bandung sebagai bagian dari Jaringan Kota Kreatif UNESCO pada 10 Desember 2015 kemarin, menyusul Kota Pekalongan yang sudah memiliki predikat tersebut setahun sebelumnya. Namun yang seringkali menjadi pertanyaan adalah, predikat tersebut untuk apa dan untuk siapa? Karena ketika kita melihat proses untuk menuju kesana banyak pihak yang terlibat, bahkan banyak anggaran yang dikeluarkan. Semua predikat itu hanya akan melekat kepada kota, dan tentunya menjadi prestasi tersendiri untuk kepala daerahnya karena telah mampu membangun kota dengan baik.

Urban Forum III
Stadium General USF #3 Surabaya Dari kiri ke kanan : Tri Rismaharini, Sandyawan Sumardi, Wicaksono Sarosa, Gamal Albinsaid. [Foto: Suaradesa]
“Jika pembangunan itu tidak bisa memberi kenyamanan pada masyarakatnya, apa gunanya?” 

“Jika pembangunan itu tidak bisa memberi kenyamanan pada masyarakatnya, apa gunanya?” demikian diungkapkan Tri Rismaharini, mantan Walikota Surabaya yang kemudian terpilih kembali. Artinya, apa pun yang dilakukan, kota harus bertumpu kepada aspek kebutuhan manusianya. Karena kota tidak ada artinya tanpa manusia yang tinggal di dalamnya.

Sementara Prof. Jo Santoso, ahli perkotaan dari Universitas Tarumanegara melihat perlunya ada konsensus dalam membangun kota. “Itu harus dimulai dari konsensus, sehingga kota bisa menjadi satu kesatuan yang utuh” demikian pendapat Prof. Jo Santoso.

Faktanya di Indonesia pembangunan kota belum melalui konsensus, sehingga dampaknya bisa dilihat banyak pergesekan ketika akan dilakukan penataan ulang kota tersebut. Menurut Yuli Kusworo dari Arkom Jogja, hal ini disebabkan karena warga kota tidak ikut menentukan arah pembangunan kota. Mereka hanya dihadapkan pada rencana tata ruang yang dikatakan oleh ahli dan aturan itu sendiri. “Padahal masyarakat punya kemampuan untuk membangun wilayahnya sendiri, mereka hanya perlu di fasilitasi” Yuli mengungkapkan. Hal inilah yang dianggap sebagai faktor utama terjadinya krisis perkotaan seperti yang diungkapkan oleh Prof. Jo Santoso.

Parking area the park
Kawasan pusat perbelanjaan di Solo Baru, Sukoharjo. Pembangunan aktifitas ekonomi di kota memicu munculnya bonus demografi akibat urbanisasi. Foto diambil tahun 2014 [Foto: Ariwan K. Perdana/SATUNAMA]
Selain perubahan fisik kota yang disebabkan karena fakta pembangunan yang masih berada di kota, tantangan terbesar dari kota adalah bonus demografi akibat urbanisasi. Adanya sebuah anggapan bahwa kota itu merupakan pusat ekonomi, maka banyak keinginan dari masyarakat untuk beraktifitas ekonomi di kota. Dan pembangunan ini tidak akan terlepas dari aspek kepentingan ekonomi global. Setidaknya Doreen Lee, sosiolog dan antropolog dari Northeastern University Boston, Amerika Serikat menyebutkan tentang  hal ini “Globalisasi akan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari urbanisasi” kata dia.

Urbanisasi ini akan berdampak pada kebutuhan akan permukiman, yang mana akan semakin menjadikan ketersediaan lahan sangat terbatas, dan dampaknya harga tanah semakin mahal. Hasil riset Housing Resource Centre mengatakan bahwa 60% warga hanya memiliki kemampuan untuk menyewa rumah, karena keterbatasan lahan dan harga yang tidak terjangkau. Dan kondisi ini semakin diperparah karena dengan fakta yang terjadi pada sistem kepemilikan lahan yang lebih menguntungkan salah satu pihak. “Siapa bisa bayar lebih mahal dia yang punya hak atas tanah” kata Prof. Jo Santoso.

Keterbatasan lahan ini memaksa pilihan pada ketersediaan pemukiman vertikal,  namun menghuni pemukiman vertikal bukanlah habitat dari masyarakat Indonesia yang lebih nyaman berada di atas tanah (land Housing). Banyak pergesekan terjadi karena pemangku kebijakan ingin memenuhi kebutuhan pemukiman secara vertikal, namun masyarakat tidak siap dengan adaptasi rumah susun. Implikasi pada “pemaksaan” normative ini menjadikan masyarakat sangat resisten dengan istilah rumah susun, dan lebih memilih tinggal di wilayah informal yang tentunya akan meningkatkan kerentanan sosial masyarakat.

Ada konflik klasik dalam upaya penataan kawasan informal ini antara prinsip hak asasi manusia dan prinsip kelestarian lingkungan. Hal ini tentunya bukan tanpa ada alternative solusi, hanya saja prosesnya akan lebih panjang dan kesabaran itu tidak cukup dimiliki oleh pemerintah daerah karena mereka sangat terikat pada persoalan anggaran dan aturan. Yuli Kusworo pun menegaskan bahwa masyarakat hanya perlu diberikan waktu untuk menentukan pilihan yang realistis dengan lingkungannya.

“Karena tanpa harus menyebut akan membangun rumah susun, masyarakat dengan sendirinya akan sadar bahwa itu konsep yang paling memungkinkan” tegas Yuli Kusworo yang pernah menjadi fasilitator pengembangan rumah susun deret di Solo.

Pada akhirnya, cara apapun yang dilakukan kota untuk memperbaiki diri, ujungnya adalah bagaimana masyarakat bisa merasa nyaman tinggal di wilayahnya. Karena aktivitas ekonomi masyarakat akan lebih fokus ketika mereka sudah mendapatkan kenyamanan dalam bertempat tinggal.

Penulis : Ardian Pratomo
Editor : Ariwan K. Perdana
Headline Photo : Kasan Kurdi

Tinggalkan komentar