Minim, Perempuan dalam Pilkada Serentak 2015

Data pemilu dan pilkada menunjukkan jumlah pemilih perempuan lebih dari 50 persen. Namun hanya 123 perempuan yang bertarung dalam pilkada serentak 2015 mendatang. Demikian disampaikan Hamdan Kurniawan, Ketua KPU DIY dalam acara Deseminasi Penelitian,  yang  berjudul Pilkada Serentak 2015: Perspektif Perempuan dan Lingkar Kekuasaan di sekitaran calon perempuan peserta pilkada, di Ruang Sidang KPU DIY, Rabu (25/11) ini.

Lebih lanjut Hamdan mengatakan, penelitian ini merupakan sumbangan bagi khasanah pengetahuan tentang pilkada dan berapa perempuan yang maju dalam pilkada. Ada cukup banyak data untuk memahami peta pilkada secara lebih lengkap. Kajian awal ini menjadi stimulan untuk kajian-kajian selanjutnya. Sebanyak 123 perempuan ini adalah angka yang masih sedikit jika dibandingkan dengan 1644 pasangan yang bertarung di Pilkada serentak 2015. Terkait jumlahnya yang sedikit Hamdan menyampaikan paling tidak ada tiga hal sebagai penyebab.

Hamdan
Hamdan Kurniawan, Ketua KPU DIY [Foto: Ariwan K. Perdana/SAT]
Pertama, regulasi tentang pencalonan. Pilkada saat ini jika dibanding dengan pilkada sebelumnya mengalami perubahan regulasi. Dulu ada syarat 15 persen, sekarang 20 persen kursi atau 25% perolehan suara. Probabilitasnya ketika prosentase dinaikkan kemungkinan calon akan lebih sedikit. Itu seluruh calon, kalau perempuan bisa jadi lebih sedikit lagi. Regulasi ini mengurangi kesempatan perempuan untuk maju. Hamdan menambahkan, bahwa jalur indenden juga dinaikkan 3,5 rata-rata,  hari ini menjadi 6,5 sampai 10 persen. Ini ada kenaikan untuk jalur perseorangan. Dan ini mengurangi kesempatan perempuan untuk maju.

Kedua, Pilkada berbeda dengan pemilu legislatif. Di pemilu legislatif ada affirmative action, tapi di pilkada agak susah. Kewajiban bagi partai politik menyertakan 30 persen perempuan baik dalam  hal kepengurusan dan calon. Aturan ini merupakan upaya melindungi dan memberikan kesempatan perempuan untuk berkontestasi. “Ketika 30 % tidak dipenuhi KPU memberikan sanksi pembatalan seluruh calon termasuk laki-laki. Ini jalur yang lebih keras dari KPU,” tutur Hamdan.

“Langkah yang bisa dilakukan misalnya, affirmative action di regulasi UU dalam pengajuan calon atau upaya lain, misalnya dorongan partai politik untuk membuka kran rekrutmen yang lebih inklusif” kata Hamdan. Perlu upaya untuk mendorong regulasi keterlibatan perempuan lebih besar dalam jabatan publik. Dan hambatan di internal partai bisa dikurangi. Kuota 30 % untuk legislatif dan tidak ada hubungannya dengan pilkada, justru ada hubungannya, dan ini akan memberikan sumbangsih dalam pilkada. Hasil penelitian juga menyebutkan ada kandidiat perempuan yang berasal dari legislatif.

NGO atau organisasi masyarakat sipil mempunyai peran untuk mendorong ruang regulasi, mendorong partai yang inklusif, dan perempuan sendiri perlu didorong untuk terlibat dan berani terjun dalam politik praktis.

“Perlu perencanaan lanjutan untuk keterpilihan perempuan setelah pilkada. Kemudian dikawal selama 5 tahun ke depan seperti apa kiprahnya, apakah kebijakannya pro perempuan atau tidak,” tutur Hamdan.  Cara yang mudah adalah visi, misi dan program yang sudah dicanangkan dengan realisasi program ketika terpilih. Kedua, lanjut Hamdan, regulasi dalam rekrutmen politik perlu didorong lebih inklusif. []

Penulis : Ryan Sugiarto
Editor : Ariwan K. Perdana

Tinggalkan komentar