Mendidik Negara dengan Perlawanan

Salim Kancil adalah satu dari sekian kasus bagaimana korporasi terus menginvasi tanah-tanah desa, tanah-tanah yang merupakan sumber hajat hidup warganya. Lahan dan tambang, lahan dan perumahan, lahan dan tanaman-tanaman beton, adalah sekian dari banyak perselisihan yang terus saja hinggap di ruang dengar dan ruang baca kita. Kematian Salim Kancil adalah kematian atas dasar keberanian untuk mempertahankan haknya. Sekaligus kematian yang tragis. Sebab korporasi kongkalingkong dengan negara memberangus rakyat kecil. Hal ini terjadi pada Salim Kancil, Salim Kancil lain, yang tidak terendus oleh media.

Dalam peristiwa-peristiwa semacam ini kita bisa amati terdapat sebuah rantai proses dan aktor. Rantai proses konversi lahan yang melibatkan tiga aktor, yaitu elit negara, kapitalis dan petani. Elit negara, dalam struktur pemerintahan menjadi aktor primer pelaku konversi lahan pertanian, petani yang juga sebagai aktor primer menjual lahannya, dan kapitalis yang termanifestasi sebagai pelaku industri dan korporasi raksasa sebagai aktor tambahan yang menginginkan lahan.

Rantai semacam ini yang oleh negara dibiarkan saja. Sehingga orang-orang kecil yang berusaha mempertahankan hak-haknya, mempertahankan kearifannya, harus berhadap-hadapan dengan korporasi jahat. Maka tidak salah jika terjadi perlawanan di sana-sini, untuk terus berteriak tentang tugas negara kepada rakyatnya. Sebab, terdapat perbedaan antara cita-cita negara dan praktiknya. Ketika negara ingin mewujudkan ketahanan pangan, lahan-lahan justru diberikan ke korporasi untuk pertambangan. Ketika negara ingin memperbanyak kesempatan kerja, pertanian digadaikan untuk ruko-ruko dan perumahan. Ketika negara menyepakati penghijauan, hutan-hutan rakyat menjadi lahan perkebunan sawit, dan seterusnya. Elit negara, dalam struktur pemerintahan menjadi aktor primer pelaku konversi lahan pertanian, petani yang juga sebagai aktor primer menjual lahannya, dan kapitalis yang termanifestasi sebagai pelaku industri dan korporasi raksasa sebagai aktor tambahan yang menginginkan lahan.

Menurut Kementerian Pertanian RI, dikutip dari (www.deptan.go.id, 2013), laju konversi lahan pertanian ke lahan non pertanian (perumahan, industri dsb) adalah 110.000 hektar per tahun (BPS, 1998-2002). Konversi lahan sawah diperparah dengan penerapan Rancangan Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) oleh Pemda, yang kurang berpihak pada pertanian.

Untuk mengingatkan bahwa tujuan bernegara adalah memberikan kesejahteraan bagi rakyat, maka negara perlu dididik. Maka, menyitir Pram, didiklah negara dengan perlawanan. Melawan adalah cara terbaik mendidik negara dan pemerintah. Tentu itu bukan jalan satu-satunya, gerakan warga bisa dilakukan pula dengan jalan “bermitra” dengan pemerintah untuk memberikan masukan-masukan, dan jalan-jalan agar arah pandang pemerintah tetap berpihak pada kemslahatan rakyatnya. Terutama rakyat kecil, yang seharusnya negara harus hadir disisi mereka.

Korporasi, juga harus disadarkan, bahwa pertanian adalah hal utama di negeri ini. Jumlah penduduk yang banyak di Indonesia hingga kini masih memakan nasi sebagai kebutuhan pokok. Maka menginvasi pertanian adalah menginvasi kebutuhan dasar, dan itu artinya menciptakan masalah baru. Bisnis dan korporasi harus dididik dengan nalar kemanusiaan.

Di sisi yang lain, masyarakat, khususnya petani, perlu ditumbuhkan kesadarannya, dengan melakukan pemberdayaan masyarakat (community empowerment) untuk meningkatkan daya sadar dan daya lawan petani pangan. Hal ini bertujuan agar petani mempertahankan aset lahan, mendapatkan akses terhadap sumber produksi dan keleluasaan untuk mengelola modal sosial mereka.

Di atas itu semua, perlindungan terhadap kaum tani harus diberikan. Jangan lagi ada kematian karena mempertahankan tanahnya, mempertahankan hidupnya. Tanah adalah sumber kehidupan. Karena itu harus dimuliakan.

Tinggalkan komentar