Sebulan Pasca Penyerangan Gereja Di Aceh Singkil, Menggugat Tanggung Jawab Negara

Aliansi Sumut Bersatu – Sebulan peristiwa penyerangan terhadap gereja-gereja di Aceh Singkil berlalu, namun penderitaan, trauma dan rasa takut masih dialami oleh masyarakat Aceh Singkil korban intoleransi. Peristiwa 13 Oktober 2015 yang mengakibatkan satu gereja (HKI Gunung Meriah) dibakar, 1 orang meninggal dan ribuan masyarakat Aceh Singkil harus mengungsi berdampak terhadap hilangnya rasa aman, takut beraktifitas di luar rumah, saling curiga dan rusaknya relasi sosial di tengah-tengah masyarakat yang hidup dalam keberagaman.

Kenyataan pahit masih dirasakan, ketika pemerintah kemudian menjemput paksa masyarakat dari pengungsian. Janji pemerintah Aceh Singkil menjamin rasa aman dan menyelesaikan persoalan ternyata hanyalah janji kosong penuh kebohongan. Dua hari setelah masyarakat pulang, mereka terpaksa menyaksikan satu persatu rumah ibadah mereka dihancurkan dengan menggunakan alat – alat berat dan palu-palu besar yang dipakai oleh Satpol PP dengan pengawalan polisi dan militer.

Masyarakat hanya mampu menangis, histeris dengan doa disertai jeritan menyaksikan tindakan negara yang arogan dan melanggar hukum menghancurkan satu persatu gereja di Aceh Singkil. Sejak Senin, 19 Oktober 2015 hingga Jumat, 23 Oktober 2015 sebanyak 9 (sembilan) gereja telah dihancurkan. Gereja-gereja tersebut adalah: Gereja GKPPD Siompin, GMII Siompin, Gereja Katolik Mandumpang, GKPPD Kuta Tinggi dan GKPPD Tuhtuhen, Gereja Katolik Lae Mbalno, GKPPD Siatas, GKPPD Sanggarberru dan Gereja JKI Simergarap.

Saat ini tersisa 12 gereja dan 1 rumah ibadah Pambi (agama leluhur) di Aceh Singkil yang masih berdiri yang juga diancam untuk ditutup dan dirobohkan oleh pemerintah Aceh Singkil dalam 2 bulan kedepan jika mereka tidak dapat mengurus izin pendirian rumah ibadah sesuai dengan SKB 2 Menteri No.8 tahun 2006 tentang Pendirian Rumah Ibadah dan Peraturan Gubenur Aceh No.25 tahun 2007 tentang tentang Pedoman Pendirian Rumah Ibadah.

Penggunaan SKB 2 Menteri No.8 Tahun 2006 dan Peraturan Gubernur Aceh No.25 Tahun 2007 dalam menyikapi persoalan penyerangan dan penghancuran gereja-gereja di Aceh Singkil adalah tidak berdasar dan salah. Gereja-gereja yang ada di Aceh Singkil ada jauh sebelum kebijakan tersebut dibuat dan disahkan.

Kalaupun kemudian dua kebijakan tersebut digunakan sebagai instrumen hukum maka penghancuran rumah ibadah dalam Penyelesaian Perselisihan tidak ada disebutkan dalam Bab VI Pasal 21 SKB 2 Menteri No.8 Tahun 2006 dan Bab IV Pasal 10 Pergub Aceh No.25 Tahun 2007. Penyelesaian Perselisihan dilakukan melalui pengadilan setempat ketika musyawarah tidak dapat dilakukan oleh masyarakat dan Bupati / Walikota.

Maka secara sah dan menyakinkan tindakan penghancuran gereja-gereja oleh Pemerintah di Aceh Singkil merupakan tindakan melanggar hukum bahkan disinyalir turut serta dan memfasilitasi pelanggaran hak azasi manusia. Ironisnya pemerintah pusat sebagai penanggung jawab utama untuk menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan warga negara absen dalam peristiwa Aceh Singkil.

Pengabaian pemerintah terhadap peristiwa 13 Oktober 2015 di Aceh Singkil, mengakibatkan keberulangan peristiwa serupa di berbagai wilayah di Indonesia. Jumat 16 Oktober 2015 Gereja GPIB Kota Sabang dibakar, penutupan rumah ibadah, sweeping, pelarangan keyakinan tertentu semakin marak terjadi dan tanggal 10 November 2015, kabar duka itu tersiar dari Rembang, Candi Busono rumah ibadah Sapta Dharma (agama leluhur) di bakar. Melihat sebulan berlalu pasca peristiwa penyerangan dan penghacuran gereja-gereja di Aceh Singkil dan peristiwa intoleransi lainnya, Aliansi Sumut Bersatu sebagai lembaga yang aktif mengkampanyekan perdamaian dan meneguhkan Bhinneka Tunggak Ika, menyatakan:

  1. Mendesak Presiden Republik Indonesia Bapak Joko Widodo menjamin keamanan beribadah dan melaksanakan aktifitas lainnya untuk setiap pemeluk agama khususnya Penganut Minoritas Agama (Protestan, Katolik dan Pambi) di Aceh Singkil dan didaerah-daerah konflik lainnya yang disertai dengan merevisi dan atau membatalkan setiap kebijakan yang melanggar hak warga negara atas kebebasan beragama / berkeyakinan.
  2. Meminta Kementerian Dalam Negeri Bapak Tjahyo Kumolo dan Kementerian-Kementeriaan terkait untuk menegur dan memberikan sanksi keras terhadap Pemerintah Aceh Singkil atas tindakan pelanggaran hukum yang dilakukan yang disertai dengan instruksi untuk membangun kembali gereja-gereja yang dihancurkan dan menjamin 12 gereja dan 1 rumah ibadah Pambi dapat digunakan dan dijamin keberadaanya.
  3. Menuntut Kepala Kepolisian Republik Indonesia untuk menginstruksikan jajaran dibawahnya untuk bertanggungjawab memastikan Perayaan Natal dan Perayaan Hari-Hari Besar Keagamaan Lainnya dapat berjalan dengan damai yang dilakukan dengan mengedepankan perlindungan terhadap  korban  dan dilanjutkan dengan menghukum pelaku dan pihak-pihak yang terlibat dalam penutupan, penyerangan, penghancuran dan pembakaran rumah ibadah sehingga tidak ada hambatan apapun terhadap warga negara menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan keyakinannya.

Sebagai warga negara Indonesia, yang menaruh harapan atas kehidupan yang lebih baik sebagaimana dijanjikan pemerintah melalui program Nawacita khususnya Point 9: memperteguh kebhinnekaan dan memperkuat restorasi sosial Indonesia, melalui kebijakan memperkuat pendidikan Kebhinnekaan dan menciptakan ruang-ruang dialog antar warga, pernyataan ini kami sampaikan untuk dilaksanakan.

Salam Keberagaman,
Aliansi Sumut Bersatu (ASB)
c/p : Ferry Wira Padang (Direktur) – 081396928252:  dan Veryanto Sitohang (Pendiri) – 08126593680

*) Lampiran : Siaran Pers

Tinggalkan komentar