Hak-Hak Kelompok Marjinal dan Pembangunan Desa

Yayasan SATUNAMA bersama Bina Desa mengadakan pelatihan yang bertempat di ruaang Kelas Besar Kantor Yayasan SATUNAMA Jl. Sambisari No. 99 Duwet, Sendangadi, Mlati, Sleman Yogyakarta, Kamis (22/10/2015). Acara yang dihadiri 19 peserta dari berbagai wilayah seperti NTT, Kalimantan, Sulawesi, Sumatra, dan Jawa akan berlangsung selama dua hari. Tema yang diangkat dalam pelatihan ini “Menakar Peluang dan Tantangan Operasionalisasi Undang-Undang Desa Bagi Rakyat Desa”.

Direktur yayasan SATUNAMA F.X. Bimo Adimoelya yang membuka acara tersebut mengatakan tujuan dari acara ini untuk mempertajam pemahaman tentang desa, dan fokus pada imajinasi terhadap masyarakat desa. “Harapannya apa yang kita mulai pada hari ini menjadi relasi yang bernuansa agenda. Artinya punya agenda desa yang sama, saling melengkapi satu dengan yang lainnya. Bukan hanya jadi pengamat yang akhirnya membunuh desa kita sendiri.” katanya

Drs. Purwoko, M. Si, staf ahli anggota DPR, selaku pemateri mengatakan isu teokratis urusan dana bantuan, desa mempunyai otoritas untuk mengatur desanya sendiri bersama masyarakat, mulai dari perencanaan, penganggaran, pembangunan dan lain-lain. Sesuai dengan undang-undang desa yang dulu keputusan dalam desa ditentukan oleh musyawarah desa bukan dari menteri. Musyawarah desa adalah landasan pengambilan keputusan ditingkat atas dan apakah semua kepentingan itu sudah terwakili didalam musyawarah desa atau musyawarah desa hanya diwakili oleh elit-elitnya saja.  “Yang paling penting sekarang adalah rebut kekuasaan yang ada di desa karena fungsinya adalah memberikan pendampingan dalam memberikan ruang tenokrasi.”jelasnya

Menurut Mia Siscawati aktivis lingkungan antropologi, desa merupakan sumber penghidupan dan kehidupan yang didalamnya ada ras sosial yang berbasis pada ras kuasa dan ras politik. “Yang perlu kita pikirkan sekarang bagaimana negara menempatkan desa, artinya di suatu sisi undang-undang desa ini dianggap sebagai undang-undang yang memberikan suatu ruang untuk otoritas bukan untuk satu otonomi tapi satu ras.” Jelasnya

Menurut Mia, banyak masalah dalam pembangunan desa. Pembangunan bukan saja pembangunan instruktural, tetapi pembangunan manusia dengan kata lain pembangunan atas hak termasuk hak perempuan. Hak-hak kelompok sosial yang memang belum mendapat perhatian pada saat ini termasuk perempuan dan kelompok marginal. “Yang harus kita lakukan sekarang mengubah perempuan desa dan menempatkannya sebagai subjek bukan lagi sebagai objek. Perempuan desa adalah subjek pengambilan keputusan dan pembangunan berkelanjutan.” Tambahnya.

Sementara Ahmad Yakub dari Bina Desa mengatakan bahwa sejak Indonesia merdeka belum ada undang-undang khusus tentang desa sampai terakhir di 2013 Desember kemudian UU No.6 Tahun 2014 tentang desa baru ada, sebelumnya hanya nempel. Setelah reformasi di Undang-Undang No. 22 Tahun 1999, ada 8 pasal dari 134 pasal, kemudian Undang-Undang  No. 32 Tahun 2004 bertambah menjadi 16 pasal dari 240 pasal yang mengatur tentang pemerintahan daerah sampai desa. “Bina Desa sejauh ini melakukan strategi dengan cara mendorong penguatan budaya masyarakat dan mendorong perempuan untuk terlibat dalam proses kegiatan organisasi secara kualitatif.” Imbuh Ahmad Yakub.

Penulis : Rudiyanto (Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)
Editor : Ariwan K. Perdana

Tinggalkan komentar