Jurnalisme Online di Republik Media Sosial Indonesia.

“Indonesia adalah republik media sosial” demikian disampaikan Nezar Patria, Anggota Dewan Pers, pada Senin (28/9) di Balai pelatihan SATUNAMA.  Media sosial tumbuh luar biasa dan menjadi lapak untuk menyebarkan informasi. Pemakai gawai mengakses informasi dan berita dari gawai yang dia pegang. Pemegang gawai akan melakukan cek Facebook atau Twitter dulu, baru kemudian masuk ke laman-laman berita. Terdapat sebanyak 72 juta pemakai Facebook, 9 dari 10 adalah pemakai Facebook.

Data yang dilansir dari Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia menyebutkan bahwa infrastruktur penyelenggaraan internet di indonesia makin baik, pitanya makin lebar, data main lancar, orang makin banyak menggunakan internet. Pertama pertumbuhan internet di indonesia, mengalami kenaikan 20-25% tiap tahun. Pada tahun 2012 terdapat 63 juta pemakai internet. Dua tahun kemudian, 2014, sebanyak 83 juta. Dan di tahun 2015  diperkirakan tembus 101 juta, dengan catatan kalau infrastruktur di indonesai timur di bawah laut itu beum selesai. Padahal, pembangunan Infrastruktur di Indonesia Timur ini akan selesai di tahun ini, sehingga diperkirakan mencapai 120 juta pengguna. Jumlah yang besar ini berakibat pada keuntungan media online. Media online Detik.com misalnya, di-klik sejumlah 15 juta per hari. Daya jangka online melebihi media cetak.

Lebih jauh Nezar menyatakan, peristiwa pembunuhan warga yang menolak aksi tambang di Lumajang merupakan contoh bahwa media sosial bisa digunakan dalam pergerakan NGO. “Jika Anda bekerja di Organisasi masyarakat sipil dan utamanya di bagian media, anda harus tahu bahwa informasi-informasi terjadi di ranah media sosial. Kabar kematian penolak tambang pasir itu pertama kali muncul di Twitter, baru kemudian ditangkap oleh media online dan sore harinya sudah disiarkan di televisi,” tutur Nezar

Dari media sosial, ke online ke televisi dan esok harinya baru muncul di media cetak. Begitulah peristiwa-peristiwa di akar rumput terjadi. Media cetak bisa memuat cerita lain, konteks bagaimana peristiwa akan ditulis lebih dalam. Media cetak jika mereka menemukan fakta baru, juga kemudian bisa menambahkannya melalui akun-akun sosial media mereka. Informasi bisa menyebar begitu cepat.

“Ini penyakit jurnalisme online. Karena peristiwa real time, multi media dalam pemberitaan dan produksi, akibatnya pada siapa cepat melaporkan. Peritiwa terjadi langsung tulis, tapi belum tentu akurat. Selalu tejadi kesalahan karena adu cepat, dan akhirnya kurang cermat. Apa yang diungkapkan tidak cermat,”tutur Nezar.

Ketidak cermatan penulisan dalam media online ini berujung pada kegaduhan publik media sosial. Kesalahan di media onlie tidak bisa dihilangkan, meskipun sudah direvisi. Artivisial Intelegen mengambil  mentah-mentah setiap berita. Berita yang salah masih bisa di akses. Orang tersesat oleh informasi yang keliru. Bagi pengguna baru, mereka bisa tersesat.

“Di Online semua berita yang sudah di-publish direkam. Digerakkan oleh robot, artivisial intelegent, untuk dihimpun pemberitaan web. Agregator mengumpulkan informasi media nasional maupun luar. Agregator ini mengambil berita yang salah dan dimasukkan di platform yang dia punya. Dia tidak mengambil url-nya, tapi isinya. Ini yang perlu diperhatikan dalam proses melakukan revisi. Mereka harus mencamkan sumber dan link dari artikel yang orisinil. Sehingga bisa dideteksi,” pungkas Nezar.

Penulis: Ryan Sugiarto
Editor: Ariwan K. Perdana

2 pemikiran pada “Jurnalisme Online di Republik Media Sosial Indonesia.”

Tinggalkan komentar