Budaya Instan, Lilin Meleleh dan Titik Diam : Indonesia di Zaman Modern

Kalau kita bicara tentang istilah instan, maka konotasi makna yang muncul dalam benak adalah sesuatu yang langsung dan cepat. Sebuah proses yang tidak memberikan ruang kepada terlalu banyak waktu. Pokoknya yang harusnya setengah jam bisa dipangkas jadi 15 menit bahkan kalau perlu 5 menit. Semakin pendek, semakin cepat, semakin baik.

Sekarang ini instan menjadi seperti agama. Dipeluk dan dilakoni oleh banyak orang. Ditemukan di berbagai peradaban. Dulu orang curhat pakai batu atau daun. Nulis atau nggambarnya pakai pahat atau pisau dan butuh waktu yang tidak sebentar. Kemudian ada kertas dan tinta. Orang makin mudah dan cepat menulis.

Sekarang pahat berubah menjadi keypad, batu dan daun berubah menjadi media sosial. Sekali pencet tombol langsung ketahuan Darsono sedang memperbaiki atap rumah, Satemi melahirkan anaknya yang kelima, Dolob sedang berada di negeri antah berantah. Semuanya serba cepat, singkat, mudah. Dari batu ke kertas ke media sosial. Setiap tahapnya semakin memungkinkan proses yang lebih cepat.

Instan juga memiliki nama alias yaitu jalan pintas. Shortcut icon yang ada di desktop background komputer itu jalan pintas. Tinggal klik saja, kita langsung dibawa ke game atau aplikasi yang kita inginkan. Sarana copy-paste pada komputer juga benar-benar membantu menghemat waktu menyalin, karena orang sudah tak perlu lagi repot-repot menulis ulang. Dalam terminologi lanskap kota, kita mengenal istilah jalan tikus atau jalur tikus untuk menyebut ruas jalan kecil yang kerap digunakan untuk menghindari jalan utama yang macet demi mencapai tujuan lebih cepat.

Kebudayaan kita sekarang adalah kebudayaan instan. Makanannya instan, minumannya instan, lagu-lagunya instan, kendaraannya instan tinggal pancal gas, ambil duitnya instan, kirim kabarnya instan tinggal SMS atau messenger, mau terkenal juga instan tinggal bikin ontran-ontran di media sosial. Bahkan cari duitnya juga instan. Tak usah berlama-lama kerja langsung dapat duit banyak, meskipun harus nyomot duit orang.

Tayangan-tayangan di TV juga ikut instan, seinstan caranya memindah channel pakai remote control. Saat memilih-milih channel, orang instan hanya punya waktu sedetik dua detik untuk memutuskan tertarik atau tidak dengan sebuah tayangan. Jika dilihatnya sebuah tayangan tidak menarik, dia akan langsung pindah channel.

Para pekerja produksi acara TV sebisa mungkin membuat acara-acara yang hanya sedetik dua detik nongol bisa langsung membuat orang tertarik. Maka pilihannya adalah joged-joged, kostum heboh, rame-rame. Yang seperti itu pasti akan langsung menarik perhatian orang. Kita tidak perlu tahu tentang keluasan ilmu pengetahuan, kekayaan kebudayaan, kualitas dan seluk beluk pendidikan manusia atau tentang pemahaman dan penerapan nilai-nilai sosial dalam hidup.

Dengan kebudayaan instan orang menjadi terbiasa langsung menelan apa saja yang disuapkan kepadanya. Sudah hampir tak ada tempat bagi kesediaan berpikir secara luas. Hampir tak bisa menyediakan waktu untuk meletakkan sebuah informasi pada takarannya yang pas. Apa yang disuguhkan langsung dikonsumsi.

Lilin Meleleh.

Dalam beberapa situasi, menjadi instan terkadang memang diperlukan. Terutama untuk hal-hal yang dirasakan terlalu bertele-tele. Membuat sebuah proses menjadi lebih singkat memang dimungkinkan karena adanya cipta karya hasil karsa manusia yang memiliki naluri tidak suka menunggu.

Menjadi tidak indah ketika semua hal kemudian diinstankan atau di-jalan pintas-kan. Padahal hidup selalu memiliki keseimbangannya. Di sana terdapat yang namanya proses dan perkembangan. Pada bagian inilah seharusnya segalanya berjalan secara alamiah. Ada yang bisa dipercepat ada yang tidak bisa dipercepat. Ada yang bisa dipercepat setelah melalui pertimbangan-pertimbangan yang berdasarkan pada kemanfaatan.

Kita bisa makan hanya mengunyah empat lima kali dan langsung telan. Tapi alat pencernaan bisa terancam risiko sakit. Konon antara ingin menguji kecepatan atau ingin tiba di tujuan sehari lebih cepat, kapal besar Titanic pun ngebut tapi akhirnya nyenggol gunung es dan tenggelam. Dengan meletakkan pemikiran pada derajat keindahan, maka seharusnya profesi tidak bisa berubah menjadi korupsi. Akal seharusnya bertugas mengontrol kemauan-kemauan dan ambisi-ambisi diri yang sifatnya berkecenderungan pada kebendaan, pengakuan dan penghargaan.

Dalam perkembangan ilmu hitung, Lotfali Zadeh mengungkapkan adanya fungsi keanggotaan di antara interval 0 dan 1. Logika ini memberi kesempatan untuk tampilnya lebih banyak bilangan di mana setiap bilangan mewakili setiap tingkat perkembangan di antara 0 dan 1. Sebelumnya, Jan Lukasiewicz telah memandang logika ini sebagai nilai kebenaran yang tak terhingga jumlahnya. Bisa dianalogikan seperti proses sebatang lilin yang meleleh sejak berupa batang lilin hingga menjadi genangan lilin. Terjadi beberapa periode perubahan, perpindahan dan perkembangan di sana.

Jika dikaitkan dengan dimensi kehidupan, ikhtisarnya adalah bahwa manusia akan bisa belajar dari setiap nilai yang ditemui dalam proses alami hidupnya. Seperti menonton video secara gerak lambat atau memotret dengan teknik slow speed. Setiap tahapan transisinya akan bisa terlihat, bisa dipelajari.

Dalam dunia musik, jamak kita dapati bahwa penyanyi-penyanyi atau band-band generasi lawas bisa long-lasting dalam karirnya. Kalaupun sudah bubar atau meninggal, lagu-lagunya masih terus didengarkan orang. Mereka melewati proses perkembangan multi-nilai sehingga paham bahwa membuat lagu sejatinya adalah sebuah kontribusi kepada kehidupan. Sehingga setiap lirik dan nadanya tidak diciptakan untuk menjadi idiom yang overnight sensation, hanya bersinar semalam setelah itu temaram.

Titik Diam

Ada sebuah titik yang sulit dijumpai saat hidup dengan gaya cepat. Yaitu titik jeda atau titik diam. Dalam khasanah notasi musik, keberadaan tanda diam selalu ada sebagai sarana bagi musisi atau penyanyi untuk lebih merasakan ruang penghayatan karya. Jeda atau diam memberikan peluang bagi manusia untuk merasakan apa-apa yang tidak nampak, tidak terdengar atau tidak sempat hadir dalam putaran hidup yang pola pikir dan budayanya serba cepat.

Dengan berdiam kita akan dapat melihat, mendengar dan mengamati sesuatu dengan lebih jelas ketimbang saat berjalan atau berlari atau naik motor. Pengamatan yang lebih jelas itulah yang bisa dimanfaatkan manusia untuk belajar sekaligus menyelaraskan diri dengan sesama dan lingkungannya.

Masyarakat barat yang selama ini getol dengan sains dan modernitas yang hiruk pikuk, belakangan mulai menggiring dirinya menuju kejedaan dan kediaman. Gejala ini sudah muncul sejak lima dekade silam saat mereka mulai jenuh dengan budaya materialistik yang segalanya melulu dihitung dengan takaran ekonomi.

woodstock69
Gelaran musik Woodstock 1969. The New York Times melaporkan 400.000 orang hadir dalam festival yang diadakan di pinggiran Kota New York pada 15-17 Agustus 1969. [Foto: NYtimes.com]
Gelaran musik raksasa Woodstock 1969 menjadi tempat anak-anak muda Amerika saat itu untuk sejenak berhenti dari segala protes dan upaya kolektif mereka dalam menghentikan kepongahan pemerintah negaranya terhadap komunisme di Asia Tenggara yang mengakibatkan berlarut-larutnya Perang Vietnam. Remaja-remaja Amerika angkatan 69 ini butuh tempat mengaso. Butuh titik jeda. Sesuatu yang alami. Meski juga tak bisa menghindar sepenuhnya dari pengaruh politik dan ekonomi, Woodstock 69 yang digelar di alam terbuka selama tiga hari dan dan dihadiri ratusan ribu orang itu setidaknya memberikan apa yang mereka cari.

Dalam wujudnya yang berbeda namun tetap bertujuan sama, masyarakat barat kini mulai gandrung dengan pendekatan-pendekatan spiritual dan pengembangan kemampuan internal diri. Tujuannya agar mereka tidak terlalu bergantung pada hal-hal eksternal dalam menjalani hidup.

Di belantara gedung-gedung tinggi kawasan Manhattan, New York, di antara kesibukan bisnis yang hampir tak ada hentinya, bermunculan tempat dan kelas untuk meditasi dan yoga. Sebagian manusia yang lain mencoba mencari pengalaman spiritual secara pribadi. Pencarian hakikat hidup mulai muncul di ranah barat di tengah-tengah perputaran dan kemajuan sains dan teknologi serta modernitas yang bergerak cepat.

Mereka, masyarakat barat, sedang mulai membuat siklus hidupnya lebih natural karena putarannya sudah terlalu cepat dan instan. Kita di sini cenderung berpikir kenapa harus natural jika bisa instan.

*Artikel pernah dimuat di Harian Solopos, Rabu, 4 Maret 2013.

Ariwan K. Perdana
Staf Pengelolaan Media
Departemen Pengelolaan Pengetahuan, Jejaring dan Media
Yayasan SATUNAMA

Tinggalkan komentar