History of Thought HISTORY OF THOUGHT II

Tor: History of Though

Background
HOT I training has been held 12 times from 2002-2008. The purpose of the training is to realize the ideal formulated by Immanuel Kant of “Saspere Aude,” meaning “dare to know.” Kant encouraged each person to think independently and to account for his own opinions or decisions. In order to be effective in this, one needs to liberate the mind and use their imagination as a source of creativity that operates within a framework of logical reasoning. For this reason, we have HOT training focused on “Ideology and Ideological Critique.”

By understanding the context of these ideologies, and critiquing them, participants have the ability to understand the content contained within them. Achievements obtained within this stage of thought allow people to employ a certain way of thinking within the context of their daily lives. Critics observe ideologies that play a crucial role in life, and assess their potential impact of applied to their own lives. Ideology exists outside of ourselves, and we must assess its impact on our lives, and how it influences interactions among people. This is seen as a first step that will provide a sturdy foundation for the next stage of thinking. It is vital that people understand what actually moves all the events and activities that define and underlie society. Without such a foundation, people are too easily influenced by marketing techniques and other influences of modern society.

Stopping at this level, however, would not allow one to provide results and solutions to the problems assessed. Although this ability itself is very important and useful, there are few guidelines that can be used for concrete action. To determine guidelines for action, one needs to be assertive, and find their position on the chessboard of life. Self-confirmation of this position is what one might call self-affirmation, the basic attitude with which one approaches life. So, rather than just adopting the basic attitudes held by society, one must develop a sense of self-affirmation that can be flexible when it meets a changing society or a different context, and not stagnate in light of change. Self-affirmation is not set in stone, and changes usually occur during monumental moments of one’s life.

Self -affirmation can only be achieved by asking questions such as, “who do I want to be in life?” and “what kind of self do I want to reiterate in society?” One’s sense of self is not created in a vacuum, but from a culmination of life experiences. These questions are not easily or quickly answered. A little reflection will show that I am very dependent on the past events of my life to answer these questions. I am who I am because of the history of my life, also because of my social context and environment. If we consider the elements within me that make me who I am, the emotional element, beliefs, intellectual, aesthetic, moral, physical, material, etc, all of these things are the result of my interactions with the environment and the formation of my history. These elements become intertwined and are not necessarily easily separated from one another.

Therefore, to provide the basis for self-affirmation and attitude, and to provide a forum for talking about these issues in-depth, we have designed and implemented SATUNAMA HOT II in order to deepen solutions to this problem, and establish a greater sense of self.

Purpose: The purpose of this training is to encourage participants to be critical of their natural and social environment, and especially to the affirmation of self. A critical attitude is based on the ability to reflect in depth and to discover the connections between self-affirmation and self-confidence and how they apply to a variety of issues.

Special Purpose:
Participants become aware of what is happening in the environment in concrete terms: -Conflict of Interest based on selfishness – Tribalism/ primordialism • Participants realized the consequences at the individual, society, humanity, and environmental level. • Participants are inspired to construct selfhood, so they can assert themselves in the wake of uncertainty in life, and determine a path.

Participants: State Agencies, members of the House of Representatives (D); legislative governance • The professionals: professors and teachers, businessmen, journalists, observers (social, political, economic, cultural) • The leaders of NGOs (particularly environmental, community empowerment, associated with the policy), the Society, Organizations, Orpol / political party. • Student (as much as possible S2-S3) • Education: as much as possible (minimum)

Training Method: Training will be conducted in a highly participatory and adult fashion. Each participant is expected to contribute ideas, ideas, criticism, opinions, and reflections on experiences. Input, reflection, and discussion are an integral part of the entire training process.

History of Thought
HISTORY OF THOUGHT II

“MEMBANGUN DIRI SEBAGAI LANDASAN AFFIRMASI DIRI DAN KEBERPIHAKANNYA”

LATAR BELAKANG

Pelatihan HOT I terlaksana 12 kali, dari tahun 2002-2008. Tujuan dari pelatihan tersebut adalah mewujudkan cita-cita sebagaimana dirumuskan oleh Immanuel Kant: “Sapere Aude!” Berani berpikir mandiri serta mampu mempertanggungjawabkan pendapat dan keputusannya sendiri. Untuk dapat berpikir mandiri, orang perlu belajar memerdekakan pikiran dan meliarkan imajinasi sebagai sumber kreativitas dan mendorong percepatan perubahan. Agar dapat melakukan itu, orang perlu mendapatkan dasar-dasar yang memadai, agar kreativitas dan keliaran imaginasinya dapat ditata di dalam kerangka penalaran yang logis dan dapat dipertanggung jawabkan. Untuk itulah pelatihan HOT I mempunyai fokus pada “Ideologi dan Kritik Ideologi”.

Dengan memahami ideologi-ideologi besar serta mampu mengkritisinya, peserta mempunyai kemampuan untuk memahami kandungan yang termuat di dalam idelologi-ideologi tersebut. Dengan memahami kandungan yang terdapat di dalam masing-masing ideologi, peserta juga dapat mempertimbangkan, menilai, serta mengkritisinya. Capaian yang diperoleh di tahap ini barada dalam tataran pemikiran berkaitan dengan objek yang berada di luar dirinya. Kritikus sebagai subjek mengamati ideologi-ideologi yang sedang aktif bermain di lingkungan kehidupannya, melihat kandungan ideologi-ideologi tersebut, serta mempertimbangkan dan menilai pengertian, kekuatan, serta dampaknya bagi kehidupan bersama. Jelas bahwa ideologi tersebut diperlakukan sebagai objek yang berada di luar dirinya, yang berbeda dari dirinya sendiri, yang bukan merupakan bagian dari dirinya. Namun, alih-alih kritik terhadap ideologi ini merupakan langkah final di dalam menghasilkan perubahan di dalam kehidupan yang nyata, justru kritik ideologi ini barulah merupakan langkah awal yang diharapkan mampu memberi dasar yang cukup kokoh untuk tahap selanjutnya. Orang perlu mengerti apa yang sebenarnya menggerakkan segala peristiwa dan kegiatan yang sangat dominan di dalam masyarakatnya. Orang perlu memahami ajaran atau keyakinan apa yang melatari kegiatan-kegiatan yang dilibatinya. Tanpa memahami ideologi yang mendasari peristiwa dan kegiatan itu, orang mudah terseret oleh tampilan yang dirasa sangat ‘seksi’ dan sedang laku.

Tetapi, kalau orang hanya berhenti pada tingkat ini, bisa jadi dia mampu untuk menilai, mengevaluasi, dan mengkritisi secara tajam, tetapi tidak mampu memberikan solusi dan alternatif yang lebih baik terhadap kegagalan dan kemacetan yang dilihatnya. Meskipun kemampuan itu sendiri sudah sangat penting dan bermanfaat, tetapi belum ada pedoman yang dapat dijadikan pegangan untuk bertindak secara konkret. Untuk menentukan pedoman bagi tindakannya, seseorang perlu terlebih dulu menegaskan diri dan posisinya di dalam segala macam percaturan kehidupan. Penegasan diri serta posisi inilah yang sering kali dimengerti sebagai affirmasi-diri. Affirmasi-diri merupakan sikap dasar yang diambil berdasarkan keyakinan yang dipegang oleh seseorang. Jadi, affirmasi bukan hanya sekadar pernyataan-pernyataan sikap terhadap isu tertentu yang sering kali berubah-ubah sesuai dengan keadaan dan tuntutan lingkungan. Affirmasi-diri bukan hanya sekedar reaksi terhadap lingkungan atau sikap defensif terhadap perkembangan yang ada. Affirmasi diri justru menegaskan siapa dirinya dan bagaimana hal itu diterjemahkan di dalam pengambilan-pengambilan sikap berkaitan dengan isu-isu yang sedang berkembang. Dari satu pihak, keyakinan yang mendasari affirmasi diri itu tidak dapat terus-terusan berubah hanya berdasarkan isu dan tuntutan lingkungan yang dihadapinya atau demi solidaritas dengan kelompoknya atau orang lain. Keyakinan yang mendasari affirmasi ini biasanya menjadi pegangan untuk jangka waktu yang tidak terlalu pendek. Keyakinan ini baru dibongkar lagi kalau dirasa sudah tidak mampu mendukung lagi untuk mencakup semua pengalaman penting dan justru dirasa terlalu sempit dan terlalu kecil. Dari lain pihak, memang benar bahwa keyakinan itu juga bukan sesuatu yang mandek dan mati tanpa perubahan atau pergeseran sedikit pun, seperti sikap si keras kepala yang tidak mau menyesuaikan diri dengan apa pun. Keyakinan ini bukanlah harga mati, tetapi mengalami perkembangan dan mungkin perubahan. Perubahan itu biasanya hanya terjadi di dalam momen-momen tertentu yang biasanya sangat monumental dalam kehidupan seseorang.

Keyakinan ini, dari satu pihak, mendasari affirmasi diri yang mau diwujudkan dalam kegiatan-kegiatan konkret. Tetapi, dari lain pihak, keyakinan ini juga dibentuk oleh affirmasi diri tersebut. Pertanyaannya: diri macam apakah yang ingin saya affirmasikan atau ingin saya tegaskan di dalam hidup ini? Diri seperti apakah yang saya gunakan untuk mendasari macam-macam keberpihakan yang saya ambil di dalam kehidupan ini? Sebaliknya, diri ini pun tidak dibangun dari ruang hampa, melainkan dari hidup konkret pada titik sejarah tertentu pada ruang lingkup tertentu. Maka unsur-unsur manakah yang sebenarnya menentukan hakikat diri seseorang? Pertanyaan-pertanyaan ini tidaklah sederhana dan tidak pula mudah dijawab dengan serta merta. Sedikit refleksi akan memperjelas bahwa diri saya sangat tergantung pada kesejarahan di dalam hidup saya. Saya menjadi seperti ini karena saya mempunyai sejarah seperti itu. Demikian juga dengan aspek sosial yang melatari hidup saya.
Saya menjadi seperti ini karena lingkungan hidup saya seperti itu. Tambahan lagi kalau kita perhatikan juga unsur-unsur di dalam diri saya yang membentuk diri saya tersebut: unsur emosional, keyakinan, intelektual, estetis, moral, fisik, material, dst. Masih perlu diingat bahwa masing-masing unsur itu merupakan hasil interaksi dengan lingkungan dan bentukan sejarah. Dengan begitu, aspek historis, sosial, dan penataan unsur-unsur formatif tersebut saling bertali kelindan yang tidak begitu mudah dipisahkan begitu saja dari yang lainnya.

Oleh karena itu, untuk memberi dasar pada affirmasi diri dan sikap keberpihakan untuk memperjuangkan sesuatu secara konsisten perlu dibicarakan secara mendalam mengenai kedirian pribadi manusia. Untuk itu SATUNAMA merancang dan melaksanakan pelatihan HOT II dengan maksud untuk mendalami dan menggulati masalah tersebut, yaitu MEMBANGUN DIRI SEBAGAI
LANDASAN AFFIRMASI DIRI DAN KEBERPIHAKANNYA.

TUJUAN
Tujuan pelatihan ini adalah untuk mendorong peserta bersikap kritis terdahap lingkungan alam dan lingkungan sosialnya, serta terutama terhadap komitment, keberpihakan, dan affirmasi dirinya. Sikap kritis ini didasari pada kemampuan berefleksi secara mendalam agar terbangun kesinambungan antara keyakinan diri, affirmasi diri, serta keberpihakannya pada pelbagai macam isu.

TUJUAN KHUSUS
•Peserta menjadi sadar akan apa yang terjadi di lingkungannya secara konkret: Konflik Kepentingan yang bersumber pada Egoisme – Tribalisme/ sukuisme: Primordialisme
•Peserta menyadari akibat-akibatnya pada tingkat perseorangan, masyarakat, umat manusia, dan lingkungan.
•Peserta tergugah untuk membangun kediriannya, sehingga mampu untuk menegaskan diri di tengah gelombang kehidupan yang tidak menentu, serta menetapkan keberpihakannya.

PESERTA
•Instansi Negara:
o anggota DPR (D);
o pemerintahan
o legislatif
•Kaum professional: dosen dan guru, pengusaha, wartawan, pengamat (sosial, politik, ekonomi, budaya)
•Pemuka-pemuka LSM (khususnya lingkungan hidup, pemberdayaan masyarakat, dst. yang terkait dengan kebijakan), Paguyuban, Ormas, Orpol/Parpol.
•Mahasiswa (sedapat mungkin program S2-S3)
•Pendidikan: sedapat mungkin (minimal) S1

METODE PELATIHAN
Pelatihan dilaksanakan dengan metode pembelajaran orang dewasa dan bersifat partisipatoris. Setiap peserta diharapkan menyumbangkan ide, gagasan, kritik, pendapat, dan refleksinya atas pengalaman. Input, refleksi, dan diskusi merupakan bagian integral dari seluruh proses pelatihan

Tinggalkan komentar