Kritik Terhadap Pergub 112/2014 terkait Tanah Kas Desa

Diskusi perdana program Forum Diskusi Tribun-SATUNAMA dengan tema “Tanah Kas Desa : Tinjuan Kritis atas Pergub No. 112/2014” diadakan pada Selasa (5/5) di Ruang Rapat Redaksi Tribun Jogja, Jl Sudirman, Yogyakarta.

Diskusi yang dihadiri oleh sekitar 40 orang dimulai dengan pembukaan oleh Sulis dari Redaksi Tribun yang mengucapkan selamat datang kepada para peserta dan menyampaikan kerinduan akan tradisi diskusi di Jogja. Untuk itulah Tribun memfasilitasi kerjasama dengan SATUNAMA dan berharap kerjasama ini terus berlangsung.

Pemaparan pertama dilakukan oleh Prof Suhartono W Pranoto, guru besar sejarah Fakultas Ilmu Budaya UGM. Beliau menjelaskan pandangannya tentang Transformasi Sosio Historis atas Pergub No. 112 tahun 2014.

Dengan cara bertutur yang menarik, Prof Suhartono berhasil membawa peserta kembali ke masa lampau, sejak jaman Mataram Kuno, jaman kolonial hingga pasca kemerdekaan. Mataram Kuno yang mendapat pengaruh Hindu menerapkan konsep pemerintahan yang berhubungan dengan  kepemilikan tanah sebagaimana mengikuti Kitab Manawa, “sakurebing langit lan salumahing bumi kagunganing nata” yang artinya apa saja yang ada di bawah langit dan di atas bumi adalah milik raja. Kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif ada di tangan raja, yang nota bene merupakan kekuasaan absolut.

Walaupun memiliki kekuasaan absolut, dalam menjalankan pemerintahan, raja dibantu oleh para birokrat (priyayi) dan asitokrat (sentana). Para pembantu raja ini tidak dibayar dengan uang, melainkan dengan tanah lungguh. Tradisi ini yang kemudian menjadi turun temurun dilakukan, sampai akhirnya ada UU Desa yang menggantikan gaji pemerintah desa dengan uang.

Terkait Pergub No. 112 Tahun 2014 tentang Pemanfaatan Tanah Kas Desa di DIY, Prof Suhartono melihat bahwa Pergub ini dikeluarkan sesuai dengan perkembangan sosio politik yang terbaru. Melalui Pergub ini, pendayagunaan tanah kas desa lebih fleksibel dan dapat dikelola dengan berbagai cara asalkan tetap sebagai pengisi kekayaan desa.

Namun Pergub ini juga mengatur mengenai pendapatan perangkat desa yang berbeda dengan peraturan sebelumnya. Perubahan pendapatan ini dipertanyakan oleh Prof Suhartono, salah satunya, apakah perangkat desa tetap memiliki kuasa dan wibawa setelah pendapatan mereka diganti dengan uang dan bukan hanya tanah lungguh.

Sementara Hari Supriyanto, dosen Fakultas Hukum Atma Jaya lebih menyoroti aspek hukum Pergub ini. Dalam pandangannya, Pergub ini bertentangan dengan UU Keistimewaan terutama PP No. 43 Tahun 2014. Dalam PP disebutkan pendapatan perangkat desa diturunkan dari APBD dan ADD, sedangkan Pergub menyatakan perangkat desa mendapatkan juga tanah lungguh desa sebagai tambahan.

Peserta cukup antusias selama diskusi berlangsung. Ada enam peserta  yang mengajukan komentar saat sesi tanya jawab. Dua di antaranya dilontarkan oleh wakil dari Pemerintah Desa Sendangadi dan Bangunharjo. Dua perangkat desa ini menyoroti tentang gaji perangkat yang masih di bawah UMP, serta adanya tuntutan para Kepala Dusun untuk meminta bagian Tanah Kas Desa.

Penulis : Suharsih
Editor : Ariwan K Perdana

2 pemikiran pada “Kritik Terhadap Pergub 112/2014 terkait Tanah Kas Desa”

Tinggalkan komentar